Aritonang Sites - Selamat Datang...!

Selamat Datang...Kami hadir untuk sekedar bersilahturahmi dengan siapa saja, diskusi apa saja yang positif, dan saling berbagi dalam kebahagiaan!

13 Mei 2009

Resensi Buku
Judul : Identitas Etnik Masyarakat Perbatasan: Kasus di Kecamatan Rao Kabupaten Pasaman.
Penulis : Rois Leonard Arios (roisarios@yahoo.co.id)
Penerbit : BKSNT Padang
Tahun : 2003

Keanekaragaman budaya suatu bangsa merupakan suatu keuntungan sekaligus ancaman. Dikatakan sebagai keuntungan karena budaya-budaya daerah merupakan kekayaan sebuah bangsa dalam membentuk suatu negara yang kuat dan utuh. Namun bila ditangani dengan baik, tidak adanya saling pengertian antar-suku bangsa, perlakuan tidak adil terhadap salah satu suku bangsa tertentu oleh salah seorang/kelompok dari etnis yang berbeda atau oleh penguasa, merupakan sumber utama terjadinya konflik antar-suku bangsa yang pada puncaknya akan melahirkan disintegrasi bangsa.

Secara umum dan alamiah, suku-suku bangsa khususnya di Indonesia memiliki batas-batas daerah kebudayaan yang tegas dengan bepatokan pada alam seperti dibatasi oleh sungai, gunung, hutan, dan lain-lain. Namun sebagai akibat perkembangan peradaban, batas-batas tersebut menjadi semu. Salah satu penyebabnya adalah pembentukan wilayah pemerintahan berdasarkan batas-batas politis tanpa melihat batas-batas budaya yang ada di dalamnya. Sehingga batas-batas daerah kebudayaan lebih dibatasi oleh batas-batas administratif pemerintahan. Sebagai contoh kebudayaan Minangkabau menurut tambo meliputi Provinsi Sumatera Barat, sebagian Jambi, Muko-Muko (Provinsi Bengkulu), sepanjang daerah aliran sungai Batanghari, Indragiri, Siak, Kampar, Rokan, sepanjang pesisir pantai barat Sumatera Utara dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, serta Negeri Sembilan Malaysia.

Ada dua kemungkinan yang terjadi dalam interaksi yaitu saling mempertahankan etnisitasnya atau saling memberi dan menerima unsur-unsur budaya daerah tempat/arena interaksi berlangsung (melting pot). Bila asumsi pertama terjadi, kondisi ini akan memungkinkan terjadinya konflik antar-suku bangsa, sedangkan bila asumsi kedua yang terjadi kemungkinan besar akan melahirkan sebuah variasi budaya baru atau bahkan menciptkan etnis baru sebagai gabungan dari unsur-unsur budaya yang berinteraksi.

Masyarakat perbatasan dapat diartikan sebagai masyarakat yang tinggal dan bersinggungan secara budaya di antara dua atau lebih daerah dengan kebudayaan yang berbeda sehingga memungkinkan terjadinya interaksi antarbudaya yang berbeda. Pada tingkat yang lebih jauh, persinggungan budaya ini dapat mengakibatkan terjadinya budaya baru sebagai hasil pembauran unsur-unsur kebudayaan masing-masing.

Budaya perbatasan akan memunculkan budaya umum lokal atau budaya pasar yang dapat dipakai sebagai acuan dalam menjalin hubungan baik dalam rangka memenuhi kebutuhan fisik maupun psikologis. Pada perkembangannya kebudayaan tersebut akan memunculkan berbagai ketegangan dan pertentangan antarkelompok dalam setiap kesatuan sosial yang disebabkan perbedaan dalam mengembangkan kebersamaan


Kecamatan Rao sebagai daerah perbatasan (marginal area) antara Provinsi Sumatra Barat dengan Provinsi Sumatra Utara dan Provinsi Riau, bersinggungan dengan budaya di masing-masing daerah perbatasan. Salah satunya adalah budaya Mandailing di wilayah Provinsi Sumatra Utara. Sarana transportasi yang lancar turut mendukung interaksi yang terus menerus bagi penduduk di kedua daerah sehingga memungkinkan terjadinya asimilasi. Salah satu contoh sarana pembauran budaya adalah melalui perkawinan campuran (amalgamasi) yaitu antara wanita Mandailing dengan pria Minangkabau atau sebaliknya. Pada kasus ini kedua belah pihak saling memberi dan menerima unsur-unsur budaya mereka yang tentu saja bertolak belakang. Seperti diketahui bahwa pada suku bangsa Mandailing garis keturunan (lineage) bersifat patrilineal bertemu dengan suku bangsa Minangkabau yang matrilineal.

Masyarakat Rao khususnya di Nagari Tarung-Tarung merupakan salah satu contoh pertemuan dua budaya yang berbeda namun tidak menimbulkan konflik. Perbedaan unsur budaya tersebut diakomodir dengan membuat kesepakatan antara pendukung kebudayaan yang berbeda tersebut. Kesepakatan yang diambil dilakukan dengan meminimalisir perbedaan budaya masing-masing. Orang Mandailing sebagai pendatang tetap mampu mempertahankan identitas budayanya. Walaupun orang Minangkabau hidup dalam lingkungan budaya Minangkabau, justru banyak menyerap unsur budaya Mandailing dan dimodifikasi dalam budaya minangkabau.

Perkawinan antara pria minangkabau dengan wanita mandailing akan menghasilkan seorang anak mewarisi suku (dalam budaya Batak Mandailing disebut marga) ibunya menurut adat minangkabau. Sehingga tidak sedikit ditemui di Kecamatan Rao seseorang yang memakai marga Nasution (atau lainnya) yang diperoleh dari ibunya (matrilineal). Sedangkan menurut adat Batak Mandailing, marga hanya dapat diturunkan melalui garis laki-laki (patrilineal). Sistem ini juga mempengaruhi dalam pewarisan yang masih menggunakan sistem pewarisan berdasarkan adat minangkabau. Secara adat, keluarga ini tidak akan mendapat warisan apapun dari kedua orang tua mereka baik secara adat minangkabau (matrilineal) maupun secara adat mandailing (patrilineal). Demikian juga dari segi pengakuan, menurut adat mandailing si anak dianggap keturunan minangkabau, sedangkan menurut adat minangkabau dianggap keturunan mandailing sehingga diberi suku sesuai dengan marga ibunya.

Hal yang berbeda akan terlihat pada perkawinan laki-laki mandailing dengan perempuan minangkabau. Dalam hal ini si anak akan diakui sebagai orang mandailing dan orang minangkabau karena sianak mendapat marga dari ayahnya dan suku dari ibunya. Demikian juga dari warisan akan mendapat dari pihak ayah dan dari pihak ibu (sako dan pusako).

04 Mei 2009

Sistem Pemerintahan Tradisional Rejang: Marga atau Kutei

Revitalisasi Sistem Pemerintahan Marga
di Provinsi Bengkul
u
Rois Leonard Arios -
Staf peneliti di Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang
Untuk kontak: roisarios@yahoo.co.id


Pengantar

Secara konseptual pemerintahan tradisional berarti sistem politik atau tata aturan hubungan antara pimpinan dengan yang dipimpin berdasarkan norma dan adat istiadat yang berlaku dalam suatu suku bangsa. Hal ini berarti setiap suku bangsa di dunia memiliki sistem pemerintahan tersendiri sebelum adanya penyeragaman oleh penguasa yang lebih besar seperti negara.

Suku bangsa Rejang yang mendiami wilayah Kabupaten Rejang Lebong, Lebong, Kepahiyang, Bengkulu Utara, dan beberapa daerah di Provinsi Sumatera Selatan memiliki sistem pemerintahan tradisional yang dikenal dengan Kutai (kuteui/kutei).

Tahun 1861 sistem pemerintahan marga diterapkan di wilayah Bengkulu.
Hukum yang dipakai ketika itu adalah Undang-Undang Simbur Cahaya yang diadopsi dari Undang-Undang Simbur Cahaya di Sumatera Selatan. Sistem pemerintahan marga berlaku hingga tahun 1980 setelah keluarnya UU No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Semua sistem pemerintahan terendah di seluruh Indonesia diseragamkan sehingga marga dan pemerintahan terendah lainnya di seluruh Indonesia diganti dengan sistem pemerintahan desa.

Tahun 1999 keluar UU No. 22 tahun 1999 dan diperbaharui dengan UU no. 32 tahun 2004 tentang sistem pemerintahan daerah. Undang-undang ini memberi peluang bagi setiap daerah untuk menerapkan kembali sistem pemerintahan tradisional mereka dan diakui dalam tata hukum Indonesia.

BMA Kabupaten Rejang Lebong telah membuka wacana dan memberi usul kepada Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong untuk kembali menerapkan sistem pemerintahan marga di wilayah Kabupaten Rejang Lebong.

Marga bukan berasal dari akar budaya rejang, namun karena wacana yang dimunculkan adalah kembali ke sistem marga, maka kita coba diskusikan untung ruginya kalau sistem pemerintahan marga diterapkan termasuk langkah-langkah apa yang harus ditempuh.





Dasar

UUD 1945 amandemen Amandemen tahun 2000 Bab VI Pasal 16 ayat (2) dan Bab I Pasal 2 ayat (9) UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan adanya pernyataan ini merupakan kesempatan bagi setiap daerah untuk menggali kembali aspek-aspek lokalitas sebagai identitas daerah tersebut.

Desa berdasarkan undang-undang ini adalah desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Undang-Undang ini mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa ataupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari Pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedang terhadap desa di luar desa geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi desa akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.


Konsep Marga
Pemerintahan Marga merupakan susunan masyarakat yang berdasarkan adat dan hukum adat, serta mempunyai wilayah tertentu. Marga hidup menurut adat yang berlaku sejak Marga itu mulai dibentuk jauh di waktu yang lampau. Adat menjiwai kehidupan warganya, masyarakat dan pemerintahnya. Selain itu masyarakatnya juga mempunyai ikatan lahir batin yang kuat, yang sejak awalnya telah memiliki hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (Hak Otonom). Dilihat dari bentuk pemerintahannya, Marga merupakan komunitas asli atau yang kita sebut masyarakat adat yang berfungsi sebagai self governing community, yaitu sebuah kominitas sosio-kultural yang bisa mengatur diri sendiri. Mereka memiliki lembaga sendiri, perangkat hukum, dan acuan yang jelas dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, serta tidak memiliki ketergantungan terhadap pihak luar, karena memang mereka bisa melakukan segala sesuatunya sendiri. Selain itu pemerintahan Marga juga memiliki ruang lingkup kewenangan, meliputi kewenangan perundangan, kewenangan pemerintahan/pelaksanaan, kewenangan peradilan dan kewenangan kepolisian. Sehingga sistem pemerintahan Marga ini dapat dipahami sebagai Pertama, Marga adalah masyarakat hukum, berfungsi sebagai kesatuan wilayah pemerintahan terdepan di tingkat lokal; Kedua Marga, berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum adat; Ketiga, susunan pemerintahan Marga ditentukan oleh hukum adat melalui konstitusi/undang-undang Simbur Tjahaja (peraturan tertulis yang dibuat oleh Kesultanan Palembang Darusalam); Kempat, pemerintah Marga didampingi Dewan Marga membuat peraturan dalam rangka kewenangan menurut hukum adat; dan Kelima, pemerintah Marga dapat menetapkan sanksi atas peraturan. Dalam pemerintahan Marga aturan-aturan yang dipakai mengacu pada undang-undang Simbur Cahaya, begitu juga dalam pengaturan pemerintahannya. Pemerintahan Marga dalam undang-undang Simbur Cahaya terdiri dari beberapa dusun, sedangkan dusun terdiri dari beberapa kampung. Masing-masing unit sosial ini dipimpin oleh seorang Pasirah, Kerio dan Penggawa. Pembarap ialah kepala dusun (Kerio) dimana seorang pasirah tinggal. Seorang Pembarap mempunyai kekuasaan untuk menggantikan seorang Pasirah apabila Pasirah berhalangan hadir dalam suatu acara/kegiatan. Pasirah dan Kerio dibantu oleh Penghulu dan Ketib dalam penanganan urusan religius atau keagamaan. Kemit Marga dan Kemit dusun ditugaskan untuk mengatasi permasalahan yang berhubungan dengan urusan keamanan.

Pemerintahan Marga itu sesungguhnya dipahami sebagai: 1) Marga adalah masyarakat hukum, berfungsi sebagai kesatuan wilayah pemerintahan terdepan di tingkat lokal; 2) Marga berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum adat; 3) Susunan pemerintahan Marga ditentukan oleh hukum adat melalui konstitusi Simbur Tjahaja; 4) Pemerintah Marga didampingi Dewan Marga membuat peraturan dalam rangka kewenangan menurut hukum adat; 5) Pemerintah Marga dalam menetapkan sanksi atas peraturan. Dapat dipahami bahwa tugas dan kewenangan Marga meliputi kewenangan peradilan, kewenangan kepolisian, hak ulayat, serta sumber penghasilan Marga

Menurut Abdullah Sidik sistem marga mulai masuk ke Bengkulu pada tahun 1861 yang diterapkan oleh Asisten Residen Belanda, J. Walland yang dipindahkan dari Palembang. Sistem marga ini berasal dari Kesultanan Palembang yang merupakan hasil bentukan Sultan Cindeh Balang (1662 – 1706).

Konsep marga ini diterapkan oleh Belanda untuk mengatur dusun-dusun yang begitu banyak di wilayah suku bangsa Rejang. Untuk pertama kalinya wilayah Lebong dibagi dalam 5 marga, yaitu: Marga Jurukalang, Marga Bermani, Marga Selupu, Marga Suku Semelako, dan Marga Aman. Namun berdasarkan keputusan Residen Bengkulu No. 69 tanggal 18 Februari 1911, Marga Bermani dan Marga Jurukalang disatukan menjadi marga Bermani Jurukalang. Sedangkan wilayah Rejang dibagi dalam 4 marga, yaitu marga merigi, marga selupu, marga bermani, dan marga jurukalang. Berbeda dengan di wilayah Lebong, di wilayah Rejang marga Bermani dipecah menjadi dua marga yaitu Marga Bermani Ulu, dan Bermani Ilir. Demikian juga dengan Marga Selupu dipecah menjadi dua marga yaitu Marga Selupu Rejang, dan Marga Selupu Baru. Sedangkan Marga Merigi juga dipecah menjadi dua marga yaitu Marga Merigi Kelobak, dan Marga Merigi Kelindang. Wilayah Lais dibagi dalam 5 marga, yaitu: Marga Merigi, Marga Bermani, Marga Selupu, Marga Jurukalang, dan Marga Semitul .

Pada tahun 1961, ketika wilayah Bengkulu masih menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Selatan, Abdullah Sidik mencatat ada 25 marga di wilayah Bengkulu, yaitu: Marga Suku IX (di wilayah Lebong), marga Suku VIII (di wilayah Lebong), Marga Bermani Jurukalang ( di wilayah Lebong), Marga Selupu Lebong (diwilayah Lebong), Marga Bermani Ulu (di wilayah Lebong), Marga Selupu Rejang (di wilayah Rejang), marga Merigi (di wilayah Rejang), marga Bermani Ilir (di wilayah Rejang), marga Sindang Beliti (di wilayah Rejang), marga Suku Tengah Kepungut (di wilayah Rejang), marga Selupu Baru (di wilayah Pesisir), marga Selupu Lama (di wilayah Pesisir), marga Merigi Kelindang (di wilayah Pesisir), marga Jurukalang (di wilayah pesisir), marga Bang Haji (di wilayah Pesisir), marga Semitul (di wilayah Pesisir), marga Bermani Sungai Hitam (di wilayah Pesisir), marga Bermani Perbo (di wilayah Lais), marga Bermani Palik (di wilayah Lais), marga Air Besi (di wilayah Lais), marga Kerkap (di wilayah Lais), marga Lais (di wilayah Lais), marga Air Padang (di wilayah Lais), marga Bintunan (di wilayah Lais), marga Sebelat (di wilayah Lais).

Sistem pemerintahan marga dinilai sebagai sistem pemerintahan yang mendukung kearifan lokal "Tumbak Berambai Payung Agung" Rajo Nayung Ngen Payung Agung, Ni'ing Ngen Kojoa Berumbai Raja dipayungi dengan payung kebesarannya yang berwarna kuning emas dan diiringi dengan tombak berumbai.(Payung Agung, teine Rajo kaka ite belindoak ngen belindep, kulo kakae menyaghet, dik benea mbeak saben madeak kebeneane, kunyeu nyabei to'oakne.) Payung Agung artinya bahwa Raja adalah tempat rakyat berlindung dan bersandar, jangan takut mengungkapkan sesuatu yang benar, ikhlaskan nyawa sebagai taruhannya.( Kujua berumboi, teine baso Rajo jemagei anak kutei awei o kulo kutei latet kundei mosoak, semlang anak kutei damai, tun dik saleak timo balesne). Tombak berambai, artinya bahwa Raja menjaga rakyatnya. Raja memberikan jaminan keamanan kepada rakyatnya, demikian juga wilayahnya dari ancaman musuh, menciptakan masyarakat damai, orang yang bersalah, terimalah balasan hukuman sebagai ganjarannya.

Adat Rejang mengajarkan : "Kembin bakoa tuging, bakoa penan melughuk, tuging medik kaleu si ja'ang. Kaleu bepekat kenok tun beilmeu, lot ei dipoa kundei, do'oba tungheu talang. Mbeak megis tun bolon, mbeak kulo kembus barang bik ngembung, kaleu kumu je tetegong adat ca'o yo, keme semerpet. Ayak bepekat minai takot petulung ideu japei magea tun tuwei. ”Bawalah bakul sirih, bakul tempat mengumpulkan hal-hal yang berkenaan dengan adat, diupayakan dirapatkan apabila jarang. Jika sudah sepakat, panggillah orang pintar dari hulu, ilir dan seberang, itulah penghuni dusun. Janganlah menyakiti orang sakit, jangan pula meniup barang yang sudah menggelembung, jikalau kamu berpegang pada adat ini, kami menyertai. Sebelum sepakat mintalah restu kepada para orang tua.


Kembali Ke Pemerintahan Marga: sebuah wacana
Seperti yang telah diusulkan oleh BMA Kabupaten Rejang Lebong untuk kembali ke sistem pemerintahan marga, oleh Pemkab Rejang Lebong belum direspon dalam bentuk aksi sehingga masih sebatas wacana.

Mengacu kepada penjelasan tentang konsep marga dan wacana kembali ke marga, saya justru cendrung mengarahkan bagaimana kalau kembali ke sistem pemerintahan asli rejang dengan beberapa modifikasi tentunya. Karena konsep pemerintahan dan kepemimpinan yang diuraikan tadi merupakan budaya rejang. Bagaimana kalau sistem pemerintahan Kutai (kuteui atau kutei)?

Kutai merupakan sistem kesatuan masyarakat dan juga sistem pemerintahan karena dalam satu kutai terdapat pemimpin beserta perangkatnya dengan sistem hukum yang berlaku di wilayahnya.

Siddik menyebutkan bahwa di daerah Rejang dan Lebong, pembagian marga sejalan dengan pembagian petulai. Oleh karena itu petulai tidak memiliki kekuasaan dalam marga melainkan kuteui. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum adat asli Rejang adalah Kuteui dan bukan Marga . Dengan konsep yang diterapkan oleh Belanda tersebut, maka marga dipakai sebagai konsep kesatuan territorial pemerintahan di wilayah Rejang. Padahal bila dilihat struktur masyarakat Rejang asli, tidak mengenal istilah marga, melainkan kutei. Artinya dalam struktur yang berkuasa di Rejang dan Lebong bukanlah petulai, tetapi kuteui dengan penguasanya Tuwai Kuteui. Abdullah Sidik menegaskan bahwa jika pada mulanya kuteui adalah satu masyarakat Hukum Adat tunggal dan genealogis, dengan pemerintahan yang berdiri sendiri dan bersifat kekeluargaan di bawah pimpinan tuai kuteui, maka sekarang kuteui yang disebut dusun itu merupakan satu masyarakat hukum adat bawahan yang territorial di bawah kekuasaan seorang kepala marga yang bergelar pasirah, kepala dusun disebut proatin atau depati atau ginde, dan semuanya takluk kepada kekuasaan pasirah mereka masing-masing. Sebagai pemimpin kuteui dipilih dari penduduk asli kuteui tersebut, yaitu suku yang membuka perkampungan/dusun, dan diwariskan secara turun temurun.

Pada kesempatan ini, saya serahkan ke forum untuk melihat sistem pemerintahan mana yang bersumber pada budaya rejang. Sistem marga atau kutai sebenarnya bisa dipakai asalkan mengacu pada konsep-konsep budaya rejang. Bila disepakati kutai sebagai satu kesatuan teritorial dan hukum masyarakat rejang yang berdiri sendiri, maka kutai bisa dijadikan sistem pemerintahan terendah di bawah camat. Hal ini terutama dengan telah ditetapkannya pemberlakuan hukum adat dan pembentukan jenang kutai di setiap desa dan kelurahan di Kabupaten Rejang Lebong. Namun bila istilah ini yang dipakai, maka istilah ini hanya berlaku di wilayah Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiyang dan Lebong (bila pemkab sepakat).

Jika dalam rangka penyeragaman di tingkat Provinsi Bengkulu, istilah marga dapat dipakai. Namun sedikit kesulitan mengingat wilayah marga yang pernah ada sudah terbagi dalam beberapa desa dalam satu atau dua kecamatan. Bila beberapa desa/kelurahan tadi dijadikan marga maka wilayah kecamatan menjadi satu marga atau bagaimana desa atau kelurahan yang masuk wilayah kecamatan lain. Saya kira ini penting untuk sama-sama kita diskusikan.

Upaya ke Depan

Perlu ada kesepakatan antara masyarakat adat, pemerintah kabupaten, dan masyarakat umum tentang wacana kembali ke pemerintahan tradisional (option: marga atau kutai).

Terlepas dari istilah apa yang dipilih, diperlukan regenerasi, kaderisasi, dan kepemimpinan sebagai jaminan keberlanjutan institusi adat. Penghapusan sistem kutai tahun 1861, penerapan dan penghapusan marga pada tahun 1980 telah memutus regenerasi yang paham tentang kutai dan marga sehingga harus ditangani oleh para pengurus adat dan perlu menumbuhkan dan mentransformasikan kesadaran lokalitas di kalangan generasi muda berkaitan pergantian kepemimpinan ke depan. Terbangunnya sistem kepemimpinan kuat dan demokratis, dalam konteks pemerintahan tradisional ditandai oleh adanya kepercayaan (trust) dan pengakuan (legitimate) oleh warga masyarakat. Jikalau selama ini kepemimpinan hanya bertradisi kharismatik-tradisional, perlu pula dilengkapi kemampuan manajerial-rasional bersendikan demokrasi komunitas adat. Proses pergantiannya pun dilakukan secara terbuka, sebagaimana tradisi pemilihan pemimpin tradisional.

Dibutuhkan kemampuan organisasi sosial adat untuk mengelola sumber daya ekonomi secara otonom. Terutama berkaitan penyediaan material guna membiayai dan mendanai institusi adat menuju kesejahteraan warganya. Mulai dari kepemilikan kekayaan sumber daya alam berupa tanah, hutan, ladang, perairan, jaringan ekonomi, atau lainnya.

Adanya kapasitas manajemen konflik untuk menjaga dinamika hubungan sosial di lingkungan adat. Organisasi adat (melalui pemangku adat atau warganya) memerlukan pengetahuan dan keterampilan manajemen konflik untuk mengantisipasi sejumlah kecenderungan sengketa yang terjadi di komunitas adat. Mengingat, potensi konflik di masyarakat adat sangat besar jikalau dikaitkan dengan konteks perubahan struktur sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang kian tersegregasi. Baik internal antarwarga masyarakat, antarapenguasa adat dan warganya, atau antaradat satu dengan yang lainnya.

Terciptanya jaringan antaradat menuju kerjasama di tingkat lokal. Jaringan diharapkan akan bermanfaat bagi terbangunnya kerjasama antarkomunitas ketika berinteraksi, sehingga proses ini dapat menghasilkan keuntungan bagi masing-masing adat, terutama mewujudkan kesejahteraan warganya.
Perlunya perencanaan program oleh organisasi adat. Dengan dilakukan secara partisipatif, program-program itu sebagai penopang menjaga keberlanjutan organisasi adat, yang nantinya dimanfaatkan warganya. Kendatipun dalam bentuk yang sederhana, proses ini akan mendidik pemangku dan warga adat agar bisa mandiri dan kuat dalam institusi yang dimilikinya.

Penutup

Sistem pemerintahan adalah sarana untuk me-manage masyarakat. Sistem pemerintahan yang berakar dari budaya masyarakatnya merupakan satu kesatuan kuat.

Wacana kembali ke sistem pemerintahan tradisional harus dipelajari dengan hati-hati karena sistem politik, lingkungan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat tidak sama seperti sistem pemerintahan tradisional tersebut diterapkan sehingga harus ada modifikasi. Sehingga Apa yang dikatakan revitalisasi sistem pemerintahan tradisional dapat tercapai.

Tulisan ini sekedar pengantar diskusi, kesepakatan di forum ini merupakan acuan untuk langkah selanjutnya.

Terima kasih.

Daftar Rujukan

Aniwijaya, Lahmudin. 2004. “Kearifan Tradisional Lembaga Kutei di Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup”. Makalah pada kegiatan Sosialisasi Nilai-Nilai Budaya Daerah Kabupaten Rejang Lebong, yang diselenggarakan oleh BKSNT Padang di Curup 15 – 16 September 2004.

Arios, Rois Leonard. 2008. Kutai : Konsep dan Eksistensinya Pada Masyarakat Rejang. Jakarta : Depbudpar

Benardie, Hakim. 2004. ”Bengkulu dalam Lintasan Sejarah Phamnaläyu”, dalam Sarwit Sarwono, dkk. (ed). 2004. Bunga Rampai Melayu Bengkulu. Bengkulu: Dinas Pariwisata Provinsi Bengkulu. Hal. 322 – 365.

BMA Kabupaten Rejang Lebong. 2005. “Kelpiak Ukum Adat Ngen Riyan Ca’o Kutai Jang Kabupaten Rejang Lebong”. Belum diterbitkan

Delais, H. dan J. Hassan. 1933. Tambo Bangkahoeloe. Batavia Centrum: Balai Pustaka

Hoesein, Mohammad. 1932. Naskah Tembo Rejang Empat Petulai. Tanpa Penerbit.

Hoesin, Kiagoes. 1938. Koempoeloan Oendang-Oendang Adat Lembaga Dari Sembilan Onderafdeelingen Dalam Gewest Bengkoelen. Bengkoelen: Drukkerij “Tjan”.

Hoesin, Mohammad. 1932. Naskah Tembo Rejang Empat Petulai. Tanpa Penerbit
Kadirman. 2004. Ireak Ca’o Kutei Jang. Jakarta: Balai Pustaka.

Setyanto, Agus. 2001. Elite Pribumi Bengkulu : Perspektif Sejarah Abad Ke-19. Jakarta : Balai Pustaka.

Sidik, Abdullah. 1980. Hukum Adat Rejang. Jakarta: Balai Pustaka.

19 Januari 2009

Perjumpaan Kristen dengan Islam

Perjumpaan Kristen dengan Islam, sebuah diskusi yang menarik jika kita saling memahami...

Kaos Petronas untuk anakku


Oleh-oleh dari Negeri Malaysia buat putri dan putraku tercinta...

Menara Petronas
...agus...agus..
agus agus...!

12 Januari 2009

RUMAH RAKITKU ISTANAKU



RUMAH RAKITKU ISTANAKU

- catatan perjalanan menyusuri sungai musi palembang -

Konsep Rumah Rakit

Banyaknya sungai tidak saja berpengaruh terhadap alat transportasinya, tetapi juga pada arsitektur bangunan untuk tempat tinggal para penduduk. Pemilihan lokasi untuk tempat tinggal, misalnya, biasanya mempertimbangkan beberapa faktor diantaranya kedekatan dengan sumber mata air, sumber makanan, dan lokasi mata pencahariannya. Bagi masyarakat Palembang, keberadaan sungai-sungai berfungsi sebagai sumber makanan, mata pencaharian, dan terutama sumber air. Dalam arsitektur yang mempunyai konsep built environment, bangunan selalu dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Dengan kata lain, kondisi alam secara langsung akan mempengaruhi perilaku manusia termasuk dalam merancang bentuk arsitektur rumahnya.[1]

Palembang dikenal sebagai “kota air” karena banyaknya sungai yang terdapat di Kota Palembang. Bahkan menurut data statistik tahun 1985 masih terdapat 117 buah sungai dan anak sungai yang masih aktif, 116 jembatan yang melintasi terdiri dari 80 buah jembatan beton, 7 jembatan besi, dan 29 buah jembatan kayu. Beberapa diantara sungai tersebut sudah banyak yang ditimbun dan dijadikan pemukiman atau jalan raya seperti Sungai Tengkuruk yang kini menjadi jalan raya tepatnya di Jalan Sudirman sekarang hingga ke Jembatan Ampera.

Di sepanjang DAS Musi merupakan pemukiman yang sangat strategis dan mendukung akan kebutuhan hidup masyarakatnya. Sebelum tahun 1990-an pemukiman penduduk terkonsentrasi di Seberang Ilir dan Seberang Ulu baik rumah panggung maupun rumah rakit. Namun setelah tahun 1990-an dilakukan penataan sehingga konsentrasi pemukiman di daerah aliran sungai dipindahkan ke Seberang Ulu. Sebagai proses adaptasi terhadap lingkungan sungai, masyarakat membangun rumah panggung (istilah lain dipakai rumah kolong) dan rumah rakit.

Konsep rumah rakit merupakan istilah yang umum digunakan dalam kosa kata bahasa Indonesia untuk menyebut rumah/tempat tinggal yang terapung di atas air. Istilah ini juga dipakai oleh masyarakat di pinggiran Sungai Musi di Kota Palembang namun dalam pengertian yang lebih luas. Bagi masyarakat Palembang konsep rumah rakit dipakai untuk menyebut segala bangunan yang terapung di atas Sungai Musi baik yang digunakan hanya sebagai tempat tinggal maupun yang dipakai juga sebagai tempat usaha seperti bengkel perahu motor, berdagang, atau usaha jasa lainnya. Namun konsep yang digunakan akan berbeda bila menyebut rumah makan/ restoran atau puskesmas yang berada di atas Sungai Musi. Walau secara substansi (struktur bangunan) pada dasarnya sama, namun sebutan yang dipakai adalah “terapung”, seperti restoran terapung, puskesmas terapung, dan SPBU terapung.

Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu[2] merumuskan konsep rumah rakit sebagai tempat tinggal tetap (tidak berpindah-pindah) yang terapung. Rumah jenis ini terbuat dari kayu dan bambu dengan atap kajang (nipah), sirap dan belakangan ini menggunakan atap seng (bahan yang lebih ringan). Rumah Rakit dibangun di atas sebuah Rakit, baik yang terbuat dari rangkaian balok-balok kayu ataupun dari bambu-bambu. Pintu pada rumah rakit bisanya ada dua, satu menghadap ke sungai dan yang satunya lagi menghadap ke daratan. Jendelanya, biasanya, berada pada sisi kiri dan kanan dinding rumah Rakit, tetapi ada juga yang berada di sisi kanan dan kiri pintu masuk rumah. Rumah Rakit bukan sekadar hunian darurat. Sejumlah rumah Rakit merupakan warisan lintas generasi yang tahan dihuni puluhan tahun, meskipun bambu yang mendasari Rakit dan tiang penambat perlu diganti secara periodik. Agar bangunan rumah Rakit tidak berpindah-pindah tempat, keempat sudutnya dipasang tiang yang kokoh. Ada kalanya untuk memperkokoh posisi dari rumah Rakit, bangunan diikat dengan menggunakan tali besar yang terbuat dari rotan dan diikatkan pada sebuah tonggak kokoh yang ada di tebing sungai. Keberadaan tali tersebut sebagai antisipasi jika tonggak pada keempat pojok rumah rakit rusak atau lapuk.

Konsep lainnya yang dikenal sebagai tempat tinggal di sekitar DAS Musi khususnya di wilayah 1 sampai dengan di 7 Ulu adalah rumah panggung (atau rumah kolong), dan rumah pucuk. Rumah panggung atau sebutan lain rumah kolong adalah rumah yang dibangun di pinggiran Sungai Musi dengan tiang-tiang penyangga yang cukup tinggi. Tinggi bangunan disesuaikan dengan tinggi air Sungai Musi pada saat pasang naik tertinggi. Rumah-rumah ini tidak bersentuhan langsung dengan air Sungai Musi atau terkesan sebagai rumah pucuk pada saat Sungai Musi pasang surut. Rumah-rumah seperti ini sangat banyak di sepanjang DAS Musi di 1 Ulu hingga 7 Ulu[3] Setiap rumah akan dihubungkan oleh jalan layang.[4] Sedangkan untuk naik turun dari perahu ke jalan layang tidak ada tempat/dermaga khusus. Umumnya masyarakat memanfaatkan daerah kosong yang digenangi air sebagai tempat perahu merapat. Agar bisa naik ke jalan layang (jalan laying) dihubungkan dengan tangga bambu atau kayu. Tangga bambu ini terkadang tidak mencukupi tingginya (terlalu pendek) pada saat pasang surut. Pada saat pasang surut inilah rumah-rumah panggung akan tampak sangat tinggi bila dilihat dari sungai dan akan tampak rendah bila pasang naik.

Rumah pucuk adalah rumah yang dibangun di atas tanah kering dan jauh dari DAS Musi. Rumah pucuk dianggap oleh masyarakat di rumah rakit dan rumah panggung sebagai rumah golongan elite karena mampu membeli dan membangun rumah di tanah kering yang harganya menurut mereka sangat mahal. Rumah pucuk ini tidak ada kekhususan karena dari arsitektur tidak berbeda dengan rumah-rumah umumnya di sepanjang jalan raya. Hanya polanya mengikuti alur jalan raya dan penghuninya lebih memilih menggunakan sarana transportasi mobil angutan kota (bis kota) dari pada perahu.

Sedangkan yang dimaksud dengan rumah rakit, pada dasarnya adalah rumah yang terapung di atas air. Namun akibat dari perubahan pasang naik dan pasang surut Sungai Musi, beberapa rumah rakit ada yang berada antara batas ketinggian air rata-rata bila tidak pasang naik dengan tanah. Dengan posisi ini, rumah akan terapung hanya jika sedang pasang naik. Sedangkan saat air sungai pada kondisi normal, maka sebagian bagian rumah berada di darat, bagian lain berada diatas air. Dengan kondisi ini posisi rumah akan kelihatan miring sesuai dengan tekstur tanah.

Penamaan untuk rumah di atas air sejak dahulu adalah rumah rakit. Rumah rakit ditandai dengan banyaknya pintu dan.sambungan pintu menggunakan pasak dari kayu. Rumah rakit ketika air pasang akan ikut naik, namun tidak pernah kebanjiran. Rumah rakit hanya terdapat di daerah Seberang Ulu, sedangkan di Seberang Ilir tidak ada karena menurut penduduk setempat air sungai di Seberang Ulu lebih tenang dari pada di Seberang Ilir yang sering berombak. Namun hal ini lebih dipengaruhi oleh kebijakan Pemerintah Kota Palembang yang melarang membangun atau menambatkan rumah rakit dan juga rumah panggung di daerah Seberang Ilir.

Rumah rakit di Sungai Musi terdapat di Kertapati (daerah 1 dan 2 Ulu), 3, 5, serta 7 ulu sampai ke 12 ulu yang jumlahnya sekitar 1000 lebih. Daerah 1 dan 2 Ulu terbilang banyak rumah rakit.. Puskesmas terapung terdapat di 12 Ulu dan 1 Ulu, serta ada pula puskesmas keliling dengan menggunakan kapal untuk melayani masyarakat pinggir sungai. Juga terdapat SPBU yang menjual bahan bakar solar dan premium untuk kepentingan kapal-kapal barang dan ketek.

Selain di Sungai Musi Palembang, rumah rakit juga terdapat di Sungai Babatan di Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Kumpulan rumah rakit itu telah berkembang menjadi sebuah desa yang diberi nama Desa Cinta Jaya. Saking banyaknya rumah rakit di desa tersebut, kebanyakan orang mengenal Desa Cinta Jaya sebagai desa "rumah rakit". Rumah rakit di desa ini secara bentuk hampir sama dengan rumah rakit di DAS Musi Palembang, yaitu bagian dalam rumah rakit biasanya terdiri dari ruang tamu, ruang tengah yang berfungsi ganda sebagai ruang makan dan ruang keluarga, dua kamar tidur, dan dapur, sedangkan jamban terletak di belakang rumah terpisah dari rumah rakit. Rumah rakit tidak menggunakan pilar satu pun. Keunikannya adalah dalam mengikat rumah rakit, supaya tidak hanyut, beberapa rumah rakit diikat jadi satu, lalu diikat dengan tambang ke pohon kelapa yang tumbuh di tepi sungai. Pada awalnya Desa Cinta Jaya bukan kampung, tetapi hanya terdiri atas beberapa rumah rakit yang mulai didirikan sekitar tahun 1904. Para pendiri rumah rakit adalah penduduk Palembang yang kerap berdagang melalui Sungai Babatan. Sungai itu merupakan penghubung antara Palembang, Ogan Komering Ilir, dan Lampung. Lama-kelamaan kumpulan rumah rakit itu menjadi perkampungan. Sebelum tahun 1950, perkampungan itu bernama Pedamaran I Rakit, kemudian berubah menjadi Desa Cinta Jaya. "Nama Cinta Jaya diusulkan oleh warga. Cinta artinya setiap orang yang datang ke sini enggan pulang, lalu mereka menemukan kejayaan di sini.[5]

Di Sungai Lalan Kecamatan Bayunglencir Kabupaten Musi Banyuasin juga dapat kita temui deretan rumah rakit yang tersusun rapi dan relatif tidak sepadat di DAS Musi Palembang. Bentuk rumah juga tidak beda dengan mengikuti pola limas, atap seng, dengan teras, ruang tamu, dan dapur. Namun sebagian rumah-rumah rakit ini masih terhubung jembatan kayu langsung ke darat dan jumlahnya juga tidak terlalu padat. Beberapa penghuni rumah rakit ada juga yang memanfaatkan sungai sebagai tempat pemeliharaan ikan melalui kerambah.

Di DAS Batanghari Jambi juga dapat kita temui satu komunitas rumah rakit yang menyatu dan terkesan cukup teratur dalam satu kumpulan. Setiap rumah rakit dihubungkan oleh jembatan yang juga terapung. Menurut informasi warga setempat, yang pertama membuat rumah rakit di daerah ini adalah para pedagang Palembang yang awalnya sebagai tempat persinggahan sementara ketika berdagang di Kota Jambi.

B. Sejarah Keberadaan Rumah Rakit

Dalam tulisannya, Bambang Budi Utomo[6] menyimpulkan bahwa pola pemukiman pada masa Kerajaan Sriwijaya hingga masa Kesultanan Palembang Darussalam masih terkonsentrasi di sebelah utara atau di wilayah Seberang Ilir (lihat peta di bawah ini). Masa Śrīwijaya (tahun 680-an) mulai dari 1 Ilir di sebelah timur sampai desa Karanganyar di sebelah barat, mulai dari tepi utara Musi sampai Desa Talang Kelapa di sebelah utara. Sementara itu, wilayah Seberang Ulu (selatan Musi) tidak ditemukan data arkeologis dari Masa Śrīwijaya. Ini berarti kota Palembang yang kala itu masih bernama Śrīwijaya masih menempati areal sisi utara sungai Musi. Luas Palembang pada masa kesultanan tidak jauh berbeda dengan masa Śrīwijaya. Hanya ditambah sedikit dengan wilayah seberang ulu. Namun pusat pemerintahannya tetap di sisi utara Musi. Pusat pemerintahan (keraton tempat tinggal sultan) berpindah-pindah. Mulai dari daerah 1 Ilir (Keraton Palembang Lamo, atau Kuto Gawang), 16 Ilir (Keraton Beringin Janggut), Kuto Lama atau Kuto Batu, dan terakhir Keraton Kuto Besak. Kuto Besak dibangun sekitar 100 meter di sebelah barat Keraton Kuto Lama. Belakangan keraton kesultanan Palembang yang masih tersisa adalah Keraton Kota Besak. Pada masa ini, sudah terdapat penataan kota, misalnya tempat tinggal orang-orang asing terletak di wilaya Seberang Ulu, di sekitar Plaju.

Dari sketsa pola pemukiman tersebut terlihat bahwa daerah pemukiman terkonsentrasi pada daerah Seberang Ilir ke utara Sungai Musi, sedangkan di bagian selatan atau Seberang Ulu adalah daerah rawa-rawa sehingga tidak memungkinkan untuk dijadikan daerah pemukiman. Wilayah selatan Sungai Musi atau Seberang Ulu mulai dijadikan pemukiman sejak masa Kesultanan Palembang Darussalam. Sebagai adaptasi terhadap lingkungan sungai, maka rumah-rumah dibangun dengan tiang-tiang yang tinggi (rumah panggung atau rumah kolong) dan rumah-rumah rakit di atas Sungai Musi. Namun kemungkinan rumah rakit sudah ada sejak zaman Sriwijaya bisa saja terjadi hal ini terlihat dalam komik China seperti Sejarah Dinasti Ming (1368 – 1643) yang telah menyebutkan adanya rumah rakit di daerah Palembang.[7]

Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, rumah rakit memiliki peranan yang istimewa demikian pula wilayah Seberang Ulu sebagai pemukiman. Daerah ini dijadikan pemukiman untuk para pendatang baik pendatang pribumi maupun pendatang dari negara lain (seperti Eropa, Arab, dan China). Seluruh pendatang diwajibkan tinggal di wilayah selatan Sungai Musi ini dengan membangun rumah panggung maupun rumah-rumah rakit. Dalam catatan sejarah pelaut-pelaut Cina mencatat lebih realistis tentang kota Palembang, dimana mereka melihat bagaimana kehiduapan penduduk kota yang hidup diatas rakit-rakit tanpa dipungut pajak. Sedangkan bagi pemimpin hidup berumah di tanah kering di atas rumah yang bertiang.

Hal ini juga diperkuat sumber lain yang mengatakan, Menurut kisah, pada zaman Kesultanan Palembang, semua tanah dimiliki oleh Sultan dan tak ada bangunan yang didirikan tanpa seijin Sultan. Hanya orang Palembang asli yang diperbolehkan bermukim di daratan. Pendatang dan orang-orang asing, misalnya Tionghoa, Eropa, Keling dan Arab hanya boleh tinggal di rumah Rakit. Sumber lain menyatakan bahwa para pemimpin kerajaan tinggal di daratan sepanjang sungai, sementara orang kebanyakan tinggal terpisah di perairan, pada rumah Rakit yang tertambat suatu tiang atau tonggak.[8]

Secara lebih rinci Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu mencatat bahwa pada zaman Kesultanan Palembang semua warga asing harus menetap di atas Rakit termasuk warga Inggris, Spanyol, Belanda, Cina, Campa, Siam, bahkan kantor Dagang Belanda pertama berada di atas Rakit, lengkap dengan gudangnya. Rumah Rakit ini selain sebagai tempat tinggal juga berfungsi sebagai gudang, dan kegiatan ekonomi.[9]

Sesuai kebijaksaan peruntukan lahan bagi para pendatang bukan penduduk asli Palembang, maka pendatang dari Cina ini bertempat tinggal di pinggiran Sungai Musi, yaitu dengan mendirikan rumah-rumah rakit. Rakit-rakit tersebut berada disepanjang Sungai Musi yang letaknya menghadap kearah Keraton atau berseberangan, rakit-rakit tersebut umumnya dibuat dari bahan kayu atau bamboo dengan atap kajang dan sirap.[10] Namun ketentuan ini berubah ketika akhir pemerintahan Kesultanan Palembang. Warga Keturunan Cina ini diberi ijin untuk membangun rumah di darat. Namun hal ini tidak dilakukan oleh semua pendatang dari Cina, sehingga masih terdapat masyarakat keturunan Cina yang bermukim di rumah-rumah rakit. Warga pilihan ini yang menjadi cikal bakal pemukim di Kampung Kapitan.[11] Pada Masa Penjajahan Belanda, terjadi perubahan besar. Seperti yang diungkap oleh Johannes Widodo bahwa struktur kota lama yang dicanangkan oleh Kesultanan Palembang dirubah oleh pemerintahan Belanda. Pembagian peruntukkan lahan tidak lagi warga keturunan Raja atau warga asli Palembang atau warga pendatang tapi berdasarkan suku bangsa. Hal ini sesuai dengan politik ’devide et impera’ dan menjadi tipikal kebijakan permukiman kota kolonial Belanda di Indonesia, sehingga pada masa sekarang kita masih mengenal kawasan Pecinan, Kauman, dan beberapa kawasan lain yang identik dengan suku. Hal ini juga terjadi pada pendatang dari Cina. Mereka ditempatkan pada suatu perkampungan tersendiri yang disebut dengan ’Wijk’ Perkampungan Cina dipimpin oleh seorang pemimpin Kapitan. Dasar pemerintah Belanda membentuk wilayah tersendiri adalah adanya kekuatiran pemerintah Belanda terhadap golongan keturunan Asia Timur ini terutama masyarakat keturunan Cina sehingga dirasakan perlu untuk membatasi ruang geraknya.[12]

Pada masa Kolonial Belanda Sungai Musi berperan sebagai tempat loji Belanda pertama yang dibangun diatas rakit. Loji yang terkenal adalah Loji Sungai Aur yaitu semacam pangkalan dagang VOC di Palembang tahun 1642. Loji ini dibuat berdasarkan kontrak antara Kesultanan Palembang dengan VOC pada tahun 1642. Berdasarkan kontrak, loji tersebut berada di 10 Ulu sekarang. Daerah ini merupakan daerah rawa-rawa yang dikelilingi oleh Sungai Musi, Sungai Aur, Sungai Lumpur, dan terusan dari Sungai Tembok. Karena kesulitan bahan dan tenaga kerja, untuk sementara loji terletak pada sebuah rakit kemudian berupa sebuah bangunan kayu dan selanjutnya tahun 1742 menjadi bangunan permanen.[13] Loji ini menjadi sangat terkenal karena pada dahulu terjadi pembunuhan massal terhadap prajurit dan pegawai Belanda yang bekerja di loji tersebut.

Sejarah juga mencatat pada masa Kesultanan Palembang, di atas Sungai Musi dibangun benteng terapung yang jumlahnya cukup banyak dan ditempatkan di balik cerucup (tonggak kayu yang ditancapkan di dasar sungai untuk menahan laju kapal). Benteng-benteng ini dipimpin oleh seorang komando bernama Cik Nauk kepala suku Bugis dari Lingga.[14] Rumah rakit juga dipakai sebagai ”senjata” menghalau tentara Kolonial Belanda. Untuk menghadang masuknya kapal-kapal perang Belanda, pasukan Kesultanan Palembang membakar puluhan rumah rakit dan dihayutkan ke hilir menuju kapal-kapal perang Belanda akan menyerang Keraton Kuto Gawang. Usaha ini cukup efektif untuk menahan laju pasukan Belanda tersebut.

Ketika kekuasaan Kesultanan Palembang diganti dengan Pemerintahan Kolonial Belanda, daerah Seberang Ulu dan Sungai Musi tetap dijadikan sebagai daerah pemukiman dengan rumah-rumah rakitnya terutama para pendatang non pribumi khususnya Orang China (Tionghoa).[15] Sedangkan daerah Seberang Ilir dijadikan sebagai pemukiman para elite pemerintahan (Belanda), para bangsawan Kesultanan Palembang, pendatang eropa, dan pribumi Palembang.

Orang-orang Tionghoa dan Orang Arab sebagai pendatang ditempatkan di wilayah Seberang Ulu. Pemukiman mereka masih dapat kita lihat hingga saat ini khususnya di 7 Ulu berupa rumah Kapiten China dan di 13 Ulu rumah-rumah arsitektur khas Arab yang lebih dikenal dengan Perkampungan Al Munawar. Djohan Hanafiah[16] menulis bahwa pada masa Kerajaan Kesultanan Palembang Darusalam (abad 16 19) diperlakukan peraturan bahwa di bahagian hilir Palembang, dimana keraton berada, diperuntukkan untuk warga Palembang. Sedangkan orang asing bukan warga Palembang berada di bagian seberang keraton yang disebut bahagian Ulu Palembang. Keadaan ini setidaknya masih berlaku sampai masa Sultan Mahmud

Badaruddin II, dimana Pabrik Belanda berada di seberang Ulu, yaitu di Sungai Aur; rakit-rakit Tionghoa sebagai gudang dan warung perdagangan yang berada seberang ulu. Terdapat beberapa rumah priyai Palembang di seberang Ulu, setelah diijinkan untuk bertempat tinggal di sana.

Saat ini tidak ada lagi rumah rakit milik orang Tionghoa ataupun pendatang bukan penduduk asli Indonesia lainnya. Demikian juga aturan yang mengharuskan pemukiman bagi para pendatang baik Indonesia maupun non Indonesia harus di Seberang Ulu juga telah dihapus. Rumah-rumah rakit demikian juga rumah panggung dibangun atas dasar kebutuhan dan kemampuan penghuni rumah tersebut.

Keberadaan rumah rakit sebagai bukti pemukiman pada masa lalu masih dapat kita lihat satu-satunya di 7 Ulu yaitu rumah rakit Bapak Cholil. Rumah rakit ini dahulunya milik orang Tionghoa yang dibeli oleh orang tua Pak Cholil dari Orang Tionghoa pada tahun 1937. Sedangkan sebelumnya rumah rakit ini diyakini oleh Pak Cholil dibangun tahun 1891 berdasarkan surat tanah dengan nama Oeng Eang Kiat. Pak Cholil merupakan generasi kesembilan yang menempati rumah rakit tersebut.

Rumah rakit yang dimiliki Pak Cholil ini merupakan bukti sejarah keberadaan rumah rakit pada masa dahulu dan dapat dibuktikan dengan berbagai arsitektur dan ornamen (prada) yang terdapat di 6 buah pintu rumah rakit tersebut. Pintu-pintu tersebut masih asli dan belum ada yang diganti termasuk beberapa bagian dinding dan bagian atap rumah rakit. Keistimewaan rumah itu, didalamnya masih terdapat bekas ukiran parada khas Palembang di dinding ruang tamu dan di penyekat kamar. Sebagian besar kayunya berbahan dasar kayu jenis meranti dan unglen, sementara untuk mengapungkan rumah tersebut, terdapat ratusan bambu di lantai dasarnya. Untuk mengapungkan rumah rakit milik Pak Cholil dibutuhkan 7 lanting bambu untuk rumah berukuran 9 x 12 meter. Satu lanting terdiri dari 100 batang bambu.

Ornamen Cina di rumah rakit Pak Cholil merupakan tulisan China yang berupa doa-doa keselamatan yang terdapat di pintu utama, jendela, dan beberapa tempat lainnya. Demikian pula dinding rumah, bentuk, dan bahannya sangat khas. Panjang rumah rakit dahulu rata-rata sekitar 12 meter (sepanjang bambu), dengan ukuran kamar 4 x 4 meter. Jika panjang bambunya 14 meter maka panjang rumah 12 meter. Rumah rakit dibangun menghadap laut,[17] dan tidak ada yang menghadap ke darat. Rumah rakit yang terkecil dengan ukuran 4 m x 12 m, ukuran menengah 5 mx 12 m, dan besar 8 m x 15 m seperti yang ditempati Pak Cholil.

Kebijakan Pemerintah Kota Palembang tahun 1999 sempat membuat para pemilik rumah rakit khawatir karena akan digusur oleh Pemerintah Kota Palembang dalam rangka penataan Sungai Musi. Pada tahun 1999 lalu, pemerintah daerah pernah berupaya mengusur rumah rakit dan merelokasi warganya karena menganggap keberadaan rumah rakit membuat kumuh pemandangan Sungai Musi. Selain itu, rumah rakit juga dituding sebagai sumber dari pencemaran Sungai Musi, karena mereka membuang sampah dan hajat langsung ke sungai sehingga kualitas air Sungai Musi saat ini tidak sebagus dulu.[18]

Pada tahun 1997, Cholil bin Yahman[19], seorang tukang ketek, bersama warga yang tinggal di rumah rakit dan rumah panggung berunjuk rasa menolak rencana penggusuran. Saat itu warga dipimpin Cholil membentuk kelompok yang disebut Koalisi Masyarakat Cinta Musi (KMCM). Akhirnya rencana penggusuran dibatalkan. Bersama warga lainnya, Cholil ingin membuktikan bahwa warga yang tinggal di rumah rakit dan rumah panggung bukan penyebab kekumuhan. Warga pun bersedia diatur dan diajak memperbaiki lingkungan. Tahun 2002 mengalir bantuan melalui proyek rehabilitasi daerah kumuh berupa perbaikan untuk 20 rumah rakit. Pada akhir tahun 2006, bantuan mengalir lagi berupa perbaikan 45 rumah rakit dan bantuan pengecatan untuk 37 rumah rakit sehingga total 82 rumah rakit. Sejak saat itu nama KMCM diubah menjadi Organisasi Masyarakat Sungai Musi (OMSM). Sebagai ketuanya dipercayakan kepada Cholil.[20] Hingga april 2007 di Palembang terdapat sekitar 200 rumah rakit. Rumah rakit terbanyak di Kecamatan Seberang Ulu I sekitar 150 rumah, di Kecamatan Seberang Ulu II sekitar 30 rumah, dan di Kecamatan Kertapati sekitar 30 rumah. Namun satu persatu rumah rakit hilang akibat pemilik rumah rakit tidak mampu lagi memperbaiki terutama pondasi yang terbuat dari bambu.[21] Menurut masyarakat yang tinggal di rumah rakit, saat ini bambu untuk pondasi[22] sangat sulit didapat dan kalaupun ada harganya sudah sangat mahal sehingga berdasarkan hitungan Pak Cholil jumlah rumah rakit sekitar 184 buah.

Pak Cholil termasuk salah seorang yang gigih mempertahankan keberadaan rumah rakit. Dengan dukungan dari berbagai lembaga non pemerintah, akhirnya Pemerintah Kota Palembang mencari solusi untuk menata Sungai Musi sebagai objek wisata tanpa harus mengorbankan rumah rakit. Pak Cholil tinggal bersama seorang isteri dan empat orang anaknya di rumah rakit ini sejak tahun 1993 lalu. Sehari-harinya Kholil bekarja sebagai penyalur bahan bakar minyak (BBM), terdiri dari minyak tanah, premium, dan solar.

Dengan adanya izin dari pemerintah, maka saat ini kawasan Seberang Ulu di sepanjang aliran Sungai Musi mulai dari 1 Ulu di Kertapati hingga 13 Ulu menjadi pemukiman yang tidak ubahnya seperti pemukiman di sepanjang jalan raya di darat. Kita akan menemui rumah-rumah penduduk,[23] warung-warung, SPBU, Puskesmas, bengkel, dan rumah makan yang semuanya terapung dengan perahu ketek sebagai sarana transportasi.

C. Struktur Rumah Rakit

Rumah rakit dahulu sangat berbeda dengan rumah rakit sekarang. Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa pemukiman di atas Sungai Musi dan sepanjang DAS Musi diperuntukkan bagi pendatang. Hal ini berarti bahwa rumah-rumah rakit dahulu bukan milik orang Palembang tetapi para pendatang terutama orang-orang China (Tionghoa).

Dibandingkan dengan rumah milik orang China dahulu, rumah rakit sekarang umumnya lebih sederhana terutama dari segi tata ruang. Demikian pula bahan bangunan yang dipakai lebih gampang rusak dibandingkan rumah rakit buatan orang China dahulu seperti rumah rakit yang ditempati oleh Bapak Cholil yang merupakan rumah rakit asli buatan China sebelum mengalami beberapa perubahan.

Bahan bangunan rumah rakit buatan China dahulu lebih kuat dan tidak sembarangan bahan dipakai. Sebagai contoh, untuk dinding saja dipilih kayu yang cukup keras yaitu kayu Unglen atau merawan demikian juga untuk pintu, dan bagian-bagian lainnya. Sedangkan untuk bambu, dipilih dari bambu yang sudah cukup matang sehingga tahan lama di air. Untuk atap dipilih dari bahan rumbia yang kemudian diganti dengan seng. Setelah menggunakan seng, setiap rumah rakit menggunakan plafon untuk menahan panas. Struktur rumah rakit China dapat dilihat pada rumah rakit milik Pak Cholil di atas.

Saat ini karena semakin sulitnya mencari bahan kayu yang cukup berkwalitas, maka bahan utama kayu yang dipakai untuk rumah rakit adalah kayu sembarang (tidak lagi menggunakan kayu tertentu atau yang melalui proses pengawetan) baik untuk dinding, pintu, atau bagian lainnya.

Panjang rumah rakit lama sekitar 15 meter (sepanjang bambu), dengan ukuran kamar 4 x 4 meter. Jika panjang bambunya 14 maka panjang rumah 12 meter. Rumah rakit yang terkecil dengan ukuran 4 x12 meter, ukuran menengah 5 x 12 meter, dan besar 8 x 15 seperti rumah milik Pak Cholil.

Luas bangunan rumah rakit ada yang besar dan kecil, yang terkecil 12 meter persegi dan terbesar bisa 50 meter persegi. Setiap rumah rakit rata-rata mempunyai 2 kamar dengan ukuran. kamar 4 x 4 meter untuk rumah rakit ukuran umum. Untuk rumah rakit lama (milik orang China dahulu) antara kamar-kamarnya terdapat ruang tamu yang cukup besar dengan 2 kamar di kanan dan 2 kamar di kiri. Setiap kamar menghadap ruang tamu. Dapur rumah terletak di bagian belakang, dan adakalanya pada salah satu kamar belakang. Sedangkan ruang makan terdapat di tengah rumah, menyatu dengan ruang tamu. Di bagian depan terdapat teras yang lebarnya bisa mencapai 2 meter, juga di samping kiri dan kanan, sedangkan bagian belakang langsung dinding,. Tempat mandi dan buang air berada di kiri atau kanan teras. Untuk cuci dan mandi, penghuni rumah rakit biasanya memanfaatkan air sungai, namun untuk makan dan minum menggunakan air bersih yang dibeli air ke darat dan menggunakan dirigen.

Secara garis besar, rumah Rakit dapat dibagi menjadi dua bagian saja, yaitu untuk tempat tidur dan untuk kegiatan sehari-hari. Pada bagian untuk kegiatan sehari-hari, biasanya juga digunakan sebagai tempat menerima tamu. Dapur, jika berada dalam satu bangunan, biasanya berada di sisi luar ruang tidur. Tetapi terkadang ruangan untuk dapur dibangun terpisah.

Ruangan kamar biasanya ditempati oleh orang tua dan anak perempuan, sedangkan anak laki-laki yang masih kecil atau belum kawin tidak memiliki kamar sendiri dan tidur di luar kamar. Jika ada yang telah menikah maka ia akan menempati kamar atau dibuatkan kamar sebelum dia pindah ke rumah lain.

Jendela rumah rakit terletak pada bagian depan, sedangkan bagian samping tidak ada jendela. Jendela kamar tidur terletak di bagian depan berupa jendela kaca atau jendela kayu dengan jerejak dari besi atau kayu sebagai pengaman. Sedangkan pintu masuk berada di bagian tengah termasuk juga rumah rakit yang berfungsi sebagai warung.

Struktur rumah rakit ini akan berbeda dengan struktur bangunan yang dipergunakan sebagai bengkel terapung, puskesmas terapung, restorang terapung, maupun SPBU terapung. Struktur rumah rakit yang disebutkan di atas adalah yang lazim dipakai oleh masyarakat di Kecamatan Seberang Ulu I.

Biaya pembangunan sebuah rumah rakit mencapai jutaan rupiah. Adakalanya untuk sebuah rumah bisa mencapai anggaran sebesar Rp50.000.000,-. Biaya ini dirinci untuk membeli bahan bangunan utama seperti bambu sejumlah 400 batang kira-kira sebesar Rp10.000.000,-.

D. Pemilihan Lokasi dan Pembuatan

1. Pemilihan Lokasi

Pemilihan lokasi untuk pembangunan rumah rakit tergantung situasi. Apabila ada lahan kosong dan tempat naik (longkang) dari getek, maka bisa dibangun rumah rakit dengan sebelumnya minta izin atau memberitahu pada orang yang tinggal di sekitar daerah tersebut. Apabila sudah mendapat lokasi yang sesuai dan disetujui oleh tetangga lalu meminta izin dan mengurus administrasi ke syahbandar (sekarang Dinas Tata Kota Pemerintah Kota Palembang). Tidak ada pantangan dari segi lokasi untuk pembangunan rumah rakit, kecuali jangan pada tempat yang sudah ada yang punya atau daerah yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum oleh pemerintah. Lokasi pendirian rumah rakit ini merupakan status hak pakai, bukan hak milik seperti jual beli tanah di darat. Karena areal ini dikelola oleh Dinas Tata Kota, maka status areal tidak bisa menjadi hak milik. Dengan status hak pakai ini, maka Pemerintah Kota Palembang berhak untuk memanfaatkannya. Walaupun bukan sebagai hak milik, ada juga diantara penduduk yang menjadi juragan yang memiliki beberapa rumah rakit atau kavling yang siap untuk disewakan. Rumah-rumah rakit tersebut disewakan kepada penduduk yang ingin. Demikian juga dengan kavling, penduduk yang ingin membangun atau memindahkan rumah rakit di areal tersebut harus membayar sewa kepada juragan tersebut selanjutnya sang juragan yang akan berurusan dengan Pemko Palembang.

2. Pembuatan Rumah Rakit

Pembuatan rumah rakit merupakan pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus. Tidak semua tukang yang biasa membangun rumah di darat mampu membangun rumah rakit. Kesulitan utama yang dialami para tukang membangun rumah rakit adalah membuat pondasi rumah yaitu bambu sebagai rakit. Membuat pondasi rumah inilah pekerjaan pertama dan utama dalam proses membangun rumah rakit.

Tukang pembuat rumah rakit harus orang yang sudah ahli. Tenaga yang ahli sangat terbatas sehingga tidak heran bila dalam mengerjakan rumah rakit bisa jadi orang yang sama. Waktu pembuatan rumah rakit dari awal hingga selesai bisa memakan waktu 1,5 sampai 2 bulan. Warga lebih mengutamakan bergotong royong dalam lingkungan keluarga atau tetangga untuk membangun rumah rakit untuk semua pekerjaan kecuali untuk tenaga ahli yang tidak semua orang bisa mengerjakannya. Tenaga umum dibutuhkan untuk menyelesaikan bagian-bagian yang membutuhkan tenaga banyak orang, misalnya pembuatan bagian bawah (pelampung) rumah rakit dan pemasangan atap. Disamping itu ada juga warga yang membangun rumah rakitnya dengan mencari tukang dengan sistem borongan dengan upah kerja sekitar 3 juta hingga 5 juta rupiah.

Bagian rumah rakit terdiri dari pondasi yang terbuat dari bambu, saka, bubungan, dan loteng. Bahan utama pembuatan rumah Rakit adalah Bambu sebagai pondasi. Bambu yang digunakan adalah bambu jenis manyan. Bambu ini di samping tahan lama juga besar-besar sehingga cukup bagus digunakan sebagai pelampung agar bisa mengambang di atas permukaan air. Di samping bahan untuk membuat bagian bawah rumah Rakit, bambu juga digunakan untuk membuat dinding, yaitu dengan cara dicacah dan direntangkan yang disebut pelupuh.

Pondasi rumah diganti tidak bersamaan tergantung pada kondisi bambu. Bambu memiliki ketahanan terhadap air yang berbeda sehingga penggantian bambu hanya pada bambu yang telah rusak (busuk). Bambu yang dipilih adalah yang cukup kering karena bambu itu tidak awetkan atau dijemur karena bisa pecah kalau direndam dalam air. Daya tahan bambu itu bisa 4 tahun dengan diselingi pergantian setiap tahun atau enam bulan. Perawatan bambu bisa dilakukan dengan membersihkan dasar bambu dari sampah anorganik dan tidak menambah beban rakit yang berlebihan. Bila ada bambu yang rusak dapat diketahui bila ketinggian rumah dari permukaan air sudah turun (sedikit tenggelam). Kondisi ini disebabkan bambu ada yang sudah kemasukan air.

Penggantian bambu yang rusak dapat dilakukan dengan menyelam untuk mencari bambu yang telah rusak. Bambu yang telah busuk selanjutnya dikeluarkan diganti dengan bambu yang baru dengan menyorongkan. Namun bila bambu sudah sering diganti akibat terlalu banyak yang rusak, maka harus dilakukan penggantian secara menyeluruh. Pada situasi ini rumah dipasang pelampung berupa drum atau sejenis yang bisa menahan rumah agar tidak tenggelam menunggu bambu yang telah dirakit dipasang kembali. Itulah sebabnya rakit bambu tidak boleh terlalu banyak dipasang paku kecuali sekedar melekatkan papan lantai rumah dengan rakit bambu. Hal ini untuk memudahkan penggantian bambu nantinya.

Rakit untuk pondasi rumah disusun hingga empat lapis atau lebih tergantung besar rumah atau beban rakit yang akan dibangun. Bagi rumah berukuran 8 m x 8 m bambunya bisa mencapai 400 buah, satu baris 100 buah dengan 4 lapis. Penyatuan bambu dilakukan dengan mengikat (mengayam) bambu dengan tali nilon yang berukuran cukup besar (biasanya sebesar jari jempol tangan orang dewasa). Nilon dipilih agar lebih awet dibandingkan dengan dahulu yang dipakai adalah tali rotan (lihat gambar 39, dan 40).

Bahan lain yang dipakai adalah balok kayu sebagai pelampung selain mengunakan bambu; Papan dipakai untuk membuat dinding rumah rakit selain menggunakan bambu. Namun saat ini lebih sering menggunakan papan kayu karena sulitnya mencari bambu; Ulit yaitu sejenis daun yang dianyam digunakan untuk membuat atap rumah rakit sebelum diganti dengan seng seperti sekarang; Rotan, rotan yang digunakan ada dua macam, yaitu rotan selinep dan rotan sago. Rotan selinep adalah rotan kecil yang digunakan untuk mengikat bagian atas rumah Rakit, sedangkan rotan sago adalah rotan yang digunakan untuk mengikat bambu-bambu yang digunakan sebagai bahan pelampung sebelum diganti dengan tali nilon seperti sekarang ini.

Penahan rumah rakit dibuat berupa pancang dari kayu miranti atau sejenis yang tahan terhadap air. Pancang dibuat di keempat sudut rumah dengan menanam di dasar sungai sehingga cukup kuat menahan rumah rakit. Tinggi pancang disesuaikan dengan tinggi permukaan air sungai pada saat air pasang tertinggi atau minimal setinggi dengan rumah pada saat ketinggian air sungai normal. Pada pancang inilah keempat sudut rumah ditambatkan dengan tali. Perlu diperhatikan agar tali tidak terikat erat pada kayu pancang (dibuat longgar) namun harus dengan simpul yang cukup kuat agar tidak terlepas. Ikatan sengaja dibuat longgar agar rumah dapat bergerak bebas naik turun mengikuti ketinggian air sungai. Bila ada tali yang terikat erat pada pancang atau terjepit pada salah satu pancang, rumah akan miring atau tenggelam sebagian karena tidak bisa mengikuti ketinggian air sungai (lihat gambar 35 dan gambar 41).

Untuk pematang yang terletak di bawah rumah rakit terbuat dari kayu Merawan sebanyak 5 batang yang berfungsi untuk memperkuat rumah dan tempat rakit bambu ditambatkan (dipaku).

Pantang larang dalam pembuatan dan penataan ruangnya tidak ada, hanya saja ada upacara berupa sesajian pada waktu mulai pekerjaan dan ketika rumah sudah berdiri tegak. Pada tiang rumah yang baru dibangun juga diletakkan seperti pisang, kelapa, benang, kain dan lainnya yang merupakan kebiasaan turun temurun, biasanya disebut dengan alang sunan. Demikian juga, ada mantera yang dipakai karena ada keyakinan bahwa laut banyak penghuninya dari pada di darat. Beda dengan rumah darat yang hanya dilakukan pada waktu tiang pertama didirikan dengan membuat sesajian.

3. Proses Pembangunan Rumah Rakit[24]

a. Musyawarah

Sebelum membangun rumah, satu hal yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah musyawarah antara suami dan istri. Musyawarah ini berkaitan dengan kesiapan finansial untuk membangun rumah. Setelah musyawarah antara suami-istri selesai, dilanjutkan dengan musyawarah dengan keluarga dekat dan tetangga sekitar. Dalam musyawarah tersebut, orang yang hendak mendirikan rumah mengabarkan bahwa dia hendak membangun rumah. Pada saat ini proses ini sudah jarang ditemui. Hal ini disebabkan para penghuni rumah rakit khususnya di Kelurahan 1 Ulu adalah para pendatang dan menyewa rumah rakit milik ”juragan” yang memiliki beberapa rumah rakit untuk disewakan tidak ubahnya seperti rumah kontrakan di darat.

b. Pengadaan bahan

Bambu merupakan bahan utama untuk membuat rumah Rakit. Untuk mendapatkan bambu ada dua cara yang dapat dilakukan, yaitu mencari sendiri di hutan atau memesan kepada pedagang bambu. Bambu yang dicari sendiri ke hutan ataupun dipesan kepada pedagang bambu, ukurannya disesuaikan dengan peruntukannya, misalnya untuk pelampung, dinding atau langit-langit.

Untuk kondisi saat ini, bambu untuk rakit sudah ada dijual di Pasar Kertapati. Sedangkan untuk bambu yang sudah dirakit harus dipesan secara khusus minimal satu minggu sebelum tahap pembangunan rumah dimulai. Karena terbentur harga bambu yang semakin mahal, beberapa pemilik rumah rakit berencana menggantinya dengan pelampung (drum) plastik yang pasti akan lebih awet.[25]

c. Tahap Pembangunan[26]

Setelah semua bahan-bahan terkumpul, pembangunan rumah Rakit dapat segera dilakukan. Pendirian rumah rakit secara garis besar terdiri dari tiga tahap, yaitu: pembangunan bagian bawah, bagian tengah, dan bagian atas. Adapun proses pembuatannya sebagai berikut:

1. Bagian Bawah

Bagian bawah dari rumah Rakit merupakan bagian terpenting. Bagian ini, menentukan kokoh tidaknya rumah Rakit. Oleh karena itu, pembangunan bagian bawah rumah rakit dilakukan secara cermat, mulai dari pemilihan bahan (bambu-bambu) sampai pada proses merangkai bahan-bahan tersebut menjadi pelampung. Adapun prosesnya adalah sebagai berikut:

  1. Bambu-bambu yang dipersiapkan sebagai pelampung dilubangi pada ujung dan pangkalnya.
  2. Setelah itu, kemudian dirangkai dengan memasukkan sepotong kayu sebagai pasak pengikat. Setiap rangkaian bambu terdiri dari 8 sampai 12 batang bambu. Proses merangkai batang bambu ini disebut mengarang.
  3. Jumlah rangkaian batang bambu yang dibuat berjumlah 6 sampai 8 ikatan.
  4. Rangkaian tersebut kemudian ditumpuk menjadi satu ikatan yang tersusun. Susunan bambu tersebut berjumlah 48 sampai 96 batang bambu. Agar ikatan pada rangkaian bambu tersebut semakin kuat, maka selain menggunakan pasak pengikat, juga diikat dengan menggunakan rotan saat ini lebih banyak menggunakan tali nilon.
  5. Kemudian rangkaian bambu tersebut dihubungkan dengan balok-balok kayu yang dipasang melintang sehingga menjadi sebuah lanting (lantai).
  6. Agar ikatan semakin kuat, pada jarak antara setengah sampai satu setengah meter, lanting tersebut diikat dengan rotan atau tali nilon.
  7. Selesainya pengikatan pada lanting, maka pembuatan bagian bawah rumah Rakit sudah selesai.

2. Bagian Tengah

  1. Setelah pembuatan bagian bawah Rumah Rakit selesai, yang ditandai dengan keberadaan lanting, maka proses selanjutnya adalah pemasangan sako. Sako ditegakkan di atas alang yang berada pada bagian atas lanting. Namun sebelum ditegakkan, sako terlebih dahulu diberi puting.
  2. Dilanjutkan dengan pemasangan alang panjang. Alang panjang diletakkan pada bagian atas sako.
  3. Kemudian dilanjutkan dengan pemasangan jenang. Seperti halnya sako, pada ujung jenang diberi puting yang digunakan untuk menghubungkan bagian atas jenang dengan alang panjang.
  4. Dilanjutkan dengan pemasangan sento-sento. Sento menjadi tempat dilekatkannya dinding rumah Rakit.
  5. Setelah jenang dan sento selesai dipasang, selanjutnya adalah pemasangan dinding rumah Rakit. Dinding rumah Rakit dibuat dari pelupuh yang bagian ujung, pangkal dan tengahnya diberi pengapit. Pelupuh adalah bambu yang dicacah dan direntangkan. Pelupuh tersebut dipaku pada jenang dan sento-sento. Untuk saat ini sangat jarang ditemui rumah rakit yang menggunakan pelupuh. Umumnya masyarakat sudah menggunakan papan yang lebih praktis dan tahan lama.
  6. Selanjutnya pemasangan pintu dan jendela. Pada tahap ini juga dibuat ruangan untuk dapur, khususnya jika dapur yang dibuat berada dalam satu bangunan rumah Rakit.
  7. Selesainya pemasangan pintu dan jendela berarti pembangunan rumah Rakit bagian tengah telah selesai.

3. Bagian Atas

Pembangunan bagian atas rumah Rakit ditandai dengan pemasangan alang panjang, kasau, dan atap. Proses pembuatan bagian atas rumah Rakit adalah sebagai berikut:

  1. Pemasangan alang panjang di atas sako dan jenang.
  2. Pemasangan kuda-kuda. Kuda-kuda dipasang di atas alang panjang dan dihubungkan dengan alang sunan.
  3. Dilanjutkan dengan pemasangan kasau. Setelah kasau terpasang semua, kemudian ujung-ujung kasau dipotong agar rata.
  4. Setelah pemasangan kasau selesai, atap segera dipasang. Bahan atap terbuat dari daun nipa. Daun nipa tersebut dilekatkan pada sako dengan cara diikat dengan rotan. Saat ini umumnya telah menggunakan seng sebagai atap rumah.
  5. Dilanjutkan dengan pemasangan langit-langit ruangan (plafon). Langit-lagit ruangan dibuat menggunakan pelupuh atau saat ini telah menggunakan tripleks yang lebih ringan dan praktis.

Selesainya pemasangan langit-langit berarti pendirian rumah Rakit sudah selesai dan rumah sudah siap untuk ditempati. Untuk menempati rumah yang baru selesai dibangun tersebut, pemilik rumah terlebih dahulu mengadakan selamatan dan mencari hari baik.

Proses pembangunan rumah rakit tersebut adalah yang umum dilakukan untuk rumah rakit yang ada di sepanjang DAS Musi. Pembangunan rumah rakit milik orang Tionghoa seperti yang ditempati oleh Pak Cholil di 7 Ulu tidak sesederhana proses tersebut karena harus diperhatikan faktor-faktor non tehnis seperti keyakinan akan feng-shui (kepercayaan tentang untung rugi letak suatu benda atau arah rumah).[27] Disamping itu rumah rakit pada umumnya tidak memiliki hiasan/ornamen. Rumah biasanya dibiarkan polos tanpa cat atau ornamen baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Berbeda dengan rumah rakit Tionghoa dahulu yang di tempat-tempat tertentu terdapat tulisan-tulisan Tionghoa berupa doa-doa keselamatan dan rezeki.

Program Pemerintah Kota Palembang yang menjadikan rumah rakit sebagai objek wisata, telah mengubah penampilan rumah rakit yang dahulunya polos menjadi berwarna warni dan lebih teratur. Demikian juga pembangunan warung legenda sebagai rumah rakit modern di 5 Ulu telah diberi hiasan berupa ukiran timbul khas Palembang (stilisasi daun dan kembang) dengan warna merah hati dan emas yang mencolok agar menarik minat pengunjung dan dari Plaza Benteng Kuto Besak akan terlihat mencolok terlebih pada malam hari.


[1]Rumah Rakit Sungai Musi” www.melayuonline.com

[2]Rumah Rakit Sungai Musi” www.melayuonline.com

[3] Penulis belum mendapatkan data tentang jumlah rumah panggung di Kecamatan Seberang Ulu I. Namun sebagai gambaran dapat dilihat pada sket pemukiman di Kelurahan Seberang Ulu I.

[4] Jalan layang atau jalan laying merupakan sebutan masyarakat setempat yaitu jembatan beton yang cukup panjang sesuai dengan letak rumah. Jalan layang ini dahulu terbuat dari bambu atas swadaya masyarakat yang akan dilalui oleh jembatan tersebut. Namun sekitar tahun 2000-an Pemerintah Kota Palembang mengganti dengan beton sehingga lebih kuat dan aman.

[5]Desa Cinta Jaya: Kampung di Atas Rakit” dalam http://64.203.71.11/ver1/negeriku/KabarNegeriku Kamis, 01 November 2007 - 16:11 wib

[6] Bambang Budi Utomo “Pengembangan Wisata Kota Tua Bersejarah“ dalam www.budpar.go.id

[7] Dari data yang diperoleh penulis, belum ada satu penulispun yang memastikan bahwa rumah rakit sudah ada sejak jaman Sriwijaya. Tentang Sriwijaya secara mendetail dapat dibaca pada Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya. Yogyakarta: LkiS.

[8] Myra P. Gunawan, Pariwisata Tepian Sungai Musi, Palembang, artikel dalam Monumen dan Situs Indonesia, ICOMOS Indonesia, 1999. Hal 144.

[9] “Rumah Rakit Sungai Musi” www.melayuonline.com

[10] Kemas Ari. 2002. Masyarakat Tionghoa Palembang: Tinjauan Sejarah Sosial (1823 – 1945). Palembang: FPSSB dan Paguyuban Sosial Masyarakat Tionghoa Indonesia. Hal. 31

[11] Adiyanto Johannes “Kampung Kapitan Interpretasi ’Jejak’ Perkembangan Permukiman Dan Elemen Arsitektural” dalam http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/ dir.php?DepartmentID=ARS

[12] [12] Kemas Ari. 2002. op.cit. hal. 32.

[13] Bambang Budi Utomo, Djohan Hanafiah, Hasan Muarif Ambari. 2005. Perkembangan Kota Palembang Dari Wanua Sriwijaya Menuju Palembang Modern. Palembang: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Palembang. Hal. 205-206.

[14] Bambang Budi Utomo. Op.cit. hal. 211.

[15] Kota Palembang sejak lama telah menjadi tujuan imigrasi beberapa masyarakat dari berbagai daerah. Pendatang dari Cina diduga masuk Palembang pada masa kehancuran Kerajaan Sriwijaya sampai sebelum Kerajaan Palembang Darussalam berdiri. Atau tepatnya pada tahun 1365-1407, dimana masa ini Palembang dalam keadaan ‘tidak terurus’dan secara de jure tidak ada penguasa. Berita Cina yang menyebutkan bahwa pada masa itu Palembang di kuasai oleh orang-orang dari Nanhai dengan menobatkan Liang Tau-Ming bersama putranya sebagai penguasa tertinggi (Johannes Adiyanto, Kampung Kapitan Interpretasi ’Jejak’ Perkembangan Permukiman Dan Elemen Arsitektural dalam http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?departmentID=ARS

[16] Djohan Hanafiah, Palembang sebagai Ajang Pertemuan Aneka Macam Kebudayaan dalam Dimensi Waktu, makalah yang disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengajaran Sejarah Arsitektur 6, kerjasama LSAI dan Jurusan Arsitektur STT Musi Palembang, 2001.

[17] laut adalah sebutan orang Palembang yang tinggal di pinggiran Sungai Musi untuk menyebut Sungai Musi.

[18] “Jangan Jadi Pisau Bermata Dua: Penataan Rumah Rakit” dalam Harian Sriwijaya Post edisi Minggu, 11 Juni 2006; baca juga “Eksistensi Rumah Rakit Terancam” dalam Harian Sriwijaya Post edisi Minggu, 24 Juni 2007

[19] Pak Cholil kelahiran Sukaraja, Ogan Komering Ilir, tanggal 22 Mei 1959. Setelah sempat berpindah-pindah tempat tinggal, Pak Cholil akhirnya menetap di rumah rakit milik orang tuanya di Kelurahan 7 Ulu, Palembang, sejak tahun 1993.

[20]Cholil Mengangkat Harkat Rumah Rakit”, dalam Kompas, Senin 9 April 2007

[21] Wawancara dengan Bapak Cholil di 7 Ulu. Baca juga Kompas, Senin 9 April 2007.

[22] Untuk keperluan pondasi rumah rakit, tidak sembarang bamboo bisa dipakai, harus diperhatikan panjang bambu, diameter, dan umur bambu. Bambu yang muda akan cepat busuk sehingga harus dicari yang sudah tua.

[23] Pada masa kesultanan, rumah rakit semuanya menghadap ke sungai. Namun sejak pembukaan kawasan pemukiman di darat dengan semakin ramainya pemukiman di darat maka orientasi rumah rakit menjadi menghadap ke darat dan membelakangi Sungai Musi. Oleh Pemerintah Kota Palembang rumah-rumah rakit disarankan agar kembali menghadap ke sungai. Saran ini tidak semuanya diikuti oleh penduduk yang bermukim di rumah rakit sehingga masih dapat kita lihat yang menghadap dan membelakangi Sungai Musi.

[24] Data proses pembangunan rumah rakit ini banyak dikutip dari Rumah Rakit Sungai Musi” dalam www.melayuonline.com dengan menambahkan komentar penulis tentang kondisi saat penelitian dilakukan.

[25] Wawancara dengan Bapak Cholil di 7 Ulu dan Bapak H. Muhammad Ketua RT 48 Kelurahan 1Ulu.

[26] Wawancara dengan Bapak Cholil di 7 Ulu, Bapak H. Muhammad Ketua RT 48 Kelurahan 1 Ulu, Bapak Nansa Ketua RT 07 Kelurahan 5 Ulu, dari kutipan Rumah Rakit Sungai Musi” dalam www.melayuonline.com

[27] Wawancara dengan Pak Cholil di 7 Ulu.