Aritonang Sites - Selamat Datang...!

Selamat Datang...Kami hadir untuk sekedar bersilahturahmi dengan siapa saja, diskusi apa saja yang positif, dan saling berbagi dalam kebahagiaan!

14 Mei 2009

Orang Jawa di Rejang Lebong

Sejarah Perkebunan dan Orang Jawa di Kabupaten Rejang Lebong
Rois Leonard Arios (roisarios@yahoo.co.id)
BPSNT Padang

A. Kedatangan Orang Jawa Ke Barumanis

Sebelum abad ke-20 yaitu sekitar tahun 1800, daerah Bengkulu sudah melakukan hubungan dengan Pulau Jawa terutama pada masa kerajaan-kerajaan masih eksis di Bengkulu seperti Kerajaan Selebar, Kerajaan Sungai Serut yang melakukan hubungan dagang dan politis dengan Kerajaan Banten dan beberapa kerajaan lainnya di Pulau Jawa. Hubungan ini telah membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap kehidupan masyarakat di wilayah Bengkulu. Tidak sedikit diantaranya melakukan perkawinan campur (amalgamasi) antara orang yang datang dari Pulau Jawa dengan penduduk setempat. Bahkan menurut B.J. Karneli perkawinan antara beberapa suku bangsa pendatang seperti Jawa, Bugis, Banten, Palembang, Lembak, dan Lampung dengan penduduk Sungai Lemau telah melahirkan satu suku bangsa baru yang disebut Melayu Bengkulu.

Sebelum Kolonial Belanda menguasai daerah nusantara, di zaman swapraja, para pedagang nusantara (Melayu, Jawa, dan Bugis) pada abad XV menyusuri pantai barat Sumatera dengan kapal-kapal layar. Orang Bugis dengan kapal penisinya setiap tahun datang berdagang ke Sumatera dan dianggap oleh penduduk Sumatera lebih pandai berdagang dan berani dalam pelayaran. Bahasa Melayu merupakan linguafranca yang dipakai di pesisir Sumatera. Para pedagang nusantara ini berhubungan dengan kerajaan-kerajaan yang terdapat di Sumatera. Hal ini terutama karena wilayah Sumatera cukup kaya akan hasil alam seperti lada. Wilayah Bengkulu juga menjadi daerah tujuan perdagangan. Para pedagang datang membeli rempah-rempah dari kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Bengkulu sedangkan para pedagang nusantara membawa barang-barang yang tidak dihasilkan di Bengkulu seperti pakaian dan peralatan rumah tangga lainnya.

Suku bangsa Rejang yang berada di daerah pedalaman dataran tinggi Lebong (sebelum terbentuknya Negara Republik Indonesia) jauh dari daerah pesisir barat Bengkulu tidak mendapat pengaruh langsung dari kedatangan pedagang nusantara tersebut. Namun pengaruh Jawa justru datang dari 4 orang biku (biksu) utusan dari Kerajaan Majapahit jauh sebelum terbentuknya struktur masyarakat Rejang. Keempat orang inilah yang membentuk struktur dan hukum adat masyarakat Rejang hingga dikelompokkan dalam petulai dari masing-masing biku.

Orang Jawa yang berada di Kabupaten Rejang Lebong umumnya keturunan bekas kuli kontrak di perkebunan Belanda pada awal abad ke-20. Terutama di Desa Barumanis dapat dipastikan 90 % penduduknya adalah keturunan langsung mantan kuli kontrak. Pada awalnya terdapat 50 orang yang ditempatkan di perkebunan teh Bukit Daun Afdeeling Barumanis. Nama-nama sebagian kuli kontrak yang didatangkan langsung dari Jawa untuk bekerja di perkebunan teh Bukit Daun adalah Tirto Busari (mantan mandor kebun), Tawirjo, Dirjo, Sijan, Imo Karyo, Salimin, Sapari, Krama Gong, Krama Kaleng, Pamidjo, Sandrijo, Atmo Taruno, Sardam, Jiem, Kemen, Ngatijah, A. Sajak, Sakuni, A. Djaid, Wongso, Paidi, Sandiasak, Munasir, Purwanom, Tjokro Dimejo, Ahamad Dasimin, Darmo (kakek Kepala Desa Barumanis sekarang, Subono), Sarjani, Duriat, Semen Jayo, Trisno, Sakiyem, Sudut, Em Suntuk, Samo Wiyono, Karto Yadi, Dulah Kasmandi, Kusen, dan Suro.

Secara resmi Barumanis dari sebuah afdeeling ondernemingen berubah menjadi desa (awalnya disebut Kampung) sejak tahun 1948 dengan kepala Kampung pertama adalah Tirto Busari mantan mandor besar kebun di perkebunan tersebut. Berikut nama-nama mantan kepala kampung (desa) Barumanis sejak tahun 1948 hingga sekarang (2006).

B. Sejarah Perkebunan Sebelum Kemerdekaan Indonesia
Pada tahun 1830 menerapkan sistem tanam paksa di seluruh wilayah Indonesia yang memberikan keuntungan yang sangat besar bagi Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini mendapat kritikan dari para pengusaha swasta Belanda karena dalam sistem tanam paksa ini seluruhnya dikuasai oleh pemerintah. Tahun 1870 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Undang-Undang Agraria 1870 yang menghapus sistem tanam paksa menjadi penanaman bebas yang dikelola oleh pihak swasta. Dengan undang-undang ini tanah-tanah rakyat yang selama ini dikuasai oleh pemerintah Belanda, dikembalikan ke menjadi hak milik perseorangan. Tidak ada lagi kepemilikan komunal seperti ulayat. Kondisi ini memungkinkan setiap tanah dapat diperjualbelikan oleh pemerintah Belanda dan pengusaha swasta. Dengan undang-undang agraria ini pula ditetapkan adanya pengakuan kepemilikan perseorangan terhadap si pembuka lahan . Untuk mendapat pengakuan tersebut, masyarakat ramai-ramai membuka hutan atau lahan pertanian baru. Kondisi ini menyebabkan hilangnya hak ulayat adat ataupun desa. Menurut data tahun 1882 dari 3,7 juta hekatare tanah pertanian yang ada, baru sekitar 1,7 juta hektare yang dikuasai perseorangan, tetapi setengah abad kemudian, ketika luas tanah pertanian meningkat menjadi 6,6 juta hekatare, penguasaan tanah perorangan telah mencapai 5,4 juta hektare. Sementara tanah-tanah komunal pada periode yang sama telah berkurang yaitu dari 1,3 juta hekatare menjadi 0,89 hektare dan tanah-tanah yang dikuasai pejabat desa juga berkurang dari 0,34 juta hekatere menjadi 0,24 juta hekatare.

Keluarnya Undang-Undang Agraria tahun 1870 telah mengubah sistem penguasaan dan pengusahaan tanah serta pengerahan tenaga kerja. Pada masa sistem tanam paksa, petani hanya diwajibkan menanam seperlima dari lahan yang dimiliki dengan tanaman yang diinginkan oleh Pemerintah Belanda tanpa ada sewa tanah dan pemberian upah. Dengan undang-undang ini, penyerahan tanah dan tenaga kerja dihapus dengan ganti dengan sistem sewa tanah dan sistem perjanjian kerja sukarela melalui sistem upah antara pengusaha dengan rakyat. Sistem inilah menjadi awal munculnya istilah kuli kontrak yang dilanjutkan dengan keluarnya peraturan tentang kuli kontrak (koelie ordonantie) yang dikenal dengan nama poenale sanctie yang memberi ancaman apabila menolak menjadi buruh atau memberi hukuman apabila buruh melarikan diri dari pekerjaannya.

Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda di Bengkulu antara tahun 1870 – 1905, usahawan swasta diberikan peluang penuh untuk menanam modalnya di Jawa dan luar Jawa. Lebih jauh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1889 mengeluarkan Ordonansi Koeli yang terkenal dengan sebutan ”Poenale Sanctie” berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Belanda tanggal 13 Juli 1889 Stbld No. 138 dan diperbaiki lagi tanggal 11 Maret 1898 Stbld No. 70. Ordonansi ini menempatkan perusahaan pertambangan dan perkebunan (ondernemingen) menjadi mirip suatu kerajaan kecil, lengkap dengan petugas keamanan. Sebaliknya kuli kontrak pribumi dianggap sebagai tawanan kerja paksa hingga mirip dengan perbudakan. Sembilan tahun kemudian direvisi dan akhirnya dihapuskan pada awal abad ke-20 setelah mendapat banyak kecaman dari Parlemen Belanda. Ordonansi ini merupakan peraturan-peraturan tentang hubungan kerja kuli kontrak dengan memberikan jaminan kepada para majikan terhadap kemungkinan pekerja melarikan diri sebelum kontrak kerja habis dan melindungi para pekerja dari tindakan sewenang-wenang dari sang majikan. Isi kontrak yang dibuat atas nama si kuli yang menandatangani, berisi bahwa si kuli harus bekerja selama 10 jam dalam satu hari, dibuat untuk masa tiga tahun, dan pada saat kedatangannya di tempat tujuan ia akan dicatat oleh pemerintah daerah setempat sehingga terikat oleh hukum yang berlaku di sana. Selain itu si kuli harus melaksanakan pekerjaan yang ditugaskan dengan sebaik-baiknya dan tanpa izin tertulis dilarang meninggalkan onderneming serta yang memberi pekerjaan dapat memberikan pas keterangan bila buruh hendak mengadukan perlakuan ondernemer yang tidak sesuai dengan ketentuan. Para kuli diberi fasilitas tempat tinggal, upah, makan selayaknya, dan MCK. Bila kontrak selesai, si kuli dapat meminta agar dikembalikan ke kampung asalnya. Si kuli dapat dihukum bila melarikan diri, mengancam atasannya, mengganggu ketenangan, menghasut, desersi, melawan perintah, berkelahi, dan bermabuk-mabukan. Setelah menandatangani kontrak, si kuli diberi uang panjar. Uang panjar inilah sebagai pengikat si kuli, karena umumnya diantara para kuli belum pernah menerima uang yang banyak dan umumnya para kuli menghabiskan uangnya di meja judi dan minum-minuman keras. Inilah yang diingini oleh pihak perkebunan sehingga para kuli harus bekerja diperkebunan tanpa bisa melakukan perlawanan. Isi kontrak tentang hak dan kewajiban para kuli dan ondenemer hanya sebatas kertas tidak pernah dijadikan acuan dalam hubungan kerja antara buruh dan pengusaha perkebunan. Para buruh dipaksa bekerja seperti budak dan para pekerja pribumi yang melarikan diri dari perkebunan (ondernemingen) dapat ditangkap oleh polisi dan dibawa kembali ke perkebunan (ondernemingen) dengan kekerasan jika mengadakan perlawanan. Hukuman lain dapat berupa kerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum tanpa pembayaran atau perpanjangan masa kerja yang melebihi ketentuan kontrak kerja. Kepada majikan diberikan hak pengawasan hukuman terhadap kuli kontrak .

Perkembangan pesat dibidang ekonomi bagi pemerintahan Belanda di Residen Bengkulu terutama pada tahun 1904 setelah daerah Rejang Lebong dimasukkan dalam wilayah Residensi Bengkoelen. Daerah Rejang Lebong yang subur telah menarik minat perusahaan-perusahaan bidang perkebunan untuk membuka lahan. Berdasarkan data pada tahun 1890 hingga 1929 permintaan terhadap tanah persil untuk perkebunan meningkat. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Perkebunan yang cukup besar pada masa pemerintahan kolonial Belanda adalah Perkebunan Suban Ayam (Soeban Ajam) yang lebih dikenal dengan nama Perkebunan Sindang-Redjang yang terletak di Desa Suban Ayam Marga Selupuh Rejang (sekarang masuk dalam wilayah Kecamatan Selupuh Rejang). Perkebunan ini terletak di dataran tinggi Bukit Kaba dengan ketinggian 3000 meter di atas permukaan laut dan luas 3.448 bau. Beberapa perkebunan lainnya yang terdapat di wilayah Onderafdeeling Rejang Lebong dapat dilihat pada tabel berikut.

Perkebunan lain yang cukup besar adalah perkebunan Pematang Danau yang dikelola oleh perusahaan Belanda dengan nama Land Cyndicate Nederlands Handel Maatchappy Kina Onderneming Pematang Danau Tjoeroep Resident Bengkulen. Daerah ini berada di daerah Bukit Barisan tepatnya berada di kaki Bukit Kaba dan Bukit Kelam dengan ketinggian sekitar 1940 meter dari permukaan laut dan sekitar 18 kilometer dari pusat kota Curup ibukota Kabupaten Rejang Lebong.

Dari tabel tersebut terlihat bahwa kondisi tanah yang berjenis tanah vulkanis di wilayah Onderafdeeling Rejang sangat sesuai untuk tanaman kopi, teh, dan kina sehingga tanaman utama perkebunan adalah kopi. Hingga saat inipun kopi dari wilayah Kabupaten Rejang Lebong cukup terkenal.

Para pekerja di seluruh perkebunan umumnya adalah kuli kontrak yang berasal dari Jawa. Perekrutan pekerja ini dilakukan oleh agen tenaga kerja umum (beroepswerving) dan agen tenaga kerja milik perusahaan (eigenwerving). Umumnya para pekerja tidak pernah diberitahu pekerjaan apa yang akan mereka kerjakan di daerah Sumatera. Mereka dikumpulkan dan dibawa dalam satu kapal laut hingga tiba di Pelabuhan Bengkulu selanjutnya disebar ke berbagai perkebunan yang telah memesan dengan menggunakan transportasi pedati yang ditarik lembu, truk (prahoto/vrachtautomobielen), bahkan ada yang berjalan kaki hingga berhari-hari. Menurut beberapa informan bekas kuli kontrak, untuk ukuran kehidupan ekonomi pada saat itu, upah yang mereka terima sudah cukup untuk hidup sehari-hari namun tidak bisa untuk membeli keperluan lain. Upah ini tidak sepenuhnya dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup karena akan berkurang atau bahkan bisa habis pada saat gajian. Karena pihak perkebunan membuka arena judi dan hiburan tari-tarian disertai minum-minuman alkohol. Permainan judi yang pernah ada pada waktu itu antara lain adalah dadu putar, dadu kuncang, dan kartu cong. Sedangkan beberapa minuman alkohol yang laris saat itu antara lain adalah bogma, zenever, dan wisky.

Penghasilan antara kuli kontrak laki-laki dan perempuan selalu dibedakan karena pekerjaan laki-laki dianggap lebih berat dari pada pekerjaan perempuan sehingga gaji kuli laki-laki lebih tinggi. Beberapa perbandingan gaji kuli kontrak dan harga beras di beberapa perkebunan pada tahun 1921 dapat dilihat pada tabel berikut.

Kondisi seperti ini juga dialami oleh para buruh perkebunan (kuli kontrak) di Sumatera Utara pada zaman kolonial. Buruh kebun di daerah ini menerima uang gaji dan beras sebagai tambahan. Mengutip tulisan Syafri Sairin , Gubernur Sumatera Timur dari tahun 1933 – 1936 melaporkan bahwa pada tahun 1933 seorang buruh laki-laki menerima pembagian beras 11 liter tiap 14 hari. Seorang buruh perempuan menerima beras 9 liter tiap 14 hari. Dengan jumlah ini maka dalam satu bulan seorang buruh laki-laki menerima 22 liter beras dan buruh perempuan 18 liter beras. Sebagai perbandingan besar gaji buruh perkebunan dan harga beras di Sumatera Timur dapat dilihat pada tabel berikut.

Pada masa berkembangnya perusahaan perkebunan (ondernemingen)di wilayah Onderafdeeling Rejang, pada saat itu pulalah tenaga kerja banyak dibutuhkan. Pada tahun 1928 pada 10 perusahaan saja jumlah kuli kontrak terdapat 4.534 orang kuli laki-laki dan 3.292 orang kuli perempuan dengan rincian sebagai berikut.

Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda di Bengkulu antara tahun 1870 – 1905, usahawan swasta diberikan peluang penuh untuk menanam modalnya di Jawa dan luar Jawa. Lebih jauh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1888 mengeluarkan Ordonansi Koeli yang terkenal dengan sebutan ”Poenale Sanctie”, yang menempatkan perusahaan pertambangan dan perkebunan (ondernemingen) menjadi mirip suatu kerajaan kecil, lengkap dengan petugas keamanan. Sebaliknya kuli kontrak pribumi dianggap sebagai tawanan kerja paksa hingga mirip dengan perbudakan. Sebilan tahun kemudian direvisi dan akhirnya dihapuskan pada awal abad ke-20 setelah mendapat banyak kecaman dari Parlemen Belanda. Ordonansi ini merupakan peraturan-peraturan tentang hubungan kerja kuli kontrak dengan memberikan jaminan kepada para majikan terhadap kemungkinan pekerja melarikan diri sebelum kontrak kerja habis dan melindungi para pekerja dari tindakan sewenang-wenang dari sang majikan. Disebutkan dalam poenali sanctie bahwa pekerja pribumi yang melarikan diri dari perkebunan (ondernemingen) dapat ditangkap oleh polisi dan dibawa kembali ke perkebunan (ondernemingen) dengan kekerasan jika mengadakan perlawanan. Hukuman lain dapat berupa kerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum tanpa pembayaran atau perpanjangan masa kerja yang melebihi ketentuan kontrak kerja. Kepada majikan diberikan hak pengawasan hukuman terhadap kuli kontrak .

Di bidang pendidikan dapat dikatakan tidak ada sarana dan kesempatan yang diberikan oleh Pemerintah Hindia Belanda kepada kuli kontrak. Pada tahun 1940 atas permintaan para kuli kontrak, Pemerintah Hindia Belanda menyediakan Sekolah Rendah bagi anak-anak kuli kontrak namun tidak berlangsung lama. Pada tahun 1942 tentara Jepang menguasai daerah Bengkulu termasuk daerah Rejang. Sekolah Rendah tersebut dijadikan asrama bagi tentara Jepang selama kurang lebih 6 bulan kemudian sekolah tersebut aktif kembali. Namun materi pelajaran yang diberikan sudah berbeda digantikan dengan sistem Jepang. Untuk kelas I pelajaran yang diberikan adalah belajar huruf Katakana, kelas II belajar Hiragana, dan kelas III belajar Honzi. Anak-anak yang mendapat pendidikan yang lumayan hanya sebatas pada anak-anak kerani (pegawai adminitrasi perkebunan) dan para bawahan tuan besar ondernemingen .

Pada tahun 1927 Pemerintah Hindia Belanda membuka perkebunan (ondernemingen) di daerah perbukitan yang diberi nama Bukit Daun dalam wilayah Onderafdeeling Rejang Lebong (Kabupaten Rejang Lebong sekarang). Para pekerja didatangkan oleh Belanda dari Pulau Jawa terutama dari daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Tenaga kerja yang didatangkan tersebut diikat dengan sistem kontrak. Awalnya para pekerja ini dijanjikan akan dipekerjakan di perkebunan tembakau Deli (Kota Medan Sumatera Utara sekarang), tetapi nyatanya mereka langsung ke daerah Rejang Lebong.

Sistem kontrak yang diberlakukan adalah selama 3 tahun dan dapat diperpanjang bila diperlukan. Namun oleh Belanda, karena sudah mendapatkan tenaga kerja yang murah, maka diatur strategi agar tenaga kontrak tersebut tidak meninggalkan kebun dan bekerja terus pada mereka. Strategi yang dilakukan adalah melegalkan judi dan minuman keras pada saat gajian kecil dan gajian besar. Gajian kecil adalah gajian pada pertengahan bulan, sedangkan gajian besar adalah gajian pada awal bulan. Pada saat gajian inilah para buruh kontrak dipaksa bermain judi oleh para kaki tangan perkebunan. Dengan segala cara, biasanya para buruh kontrak selalu kalah dan gajinya habis di tempat tersebut. Pihak perkebunan dengan senang hati selalu memberi pinjaman kepada buruh sebagai alat untuk mengikat agar si buruh tidak meninggalkan kebun karena pinjaman tersebut dibayarkan dengan sistem potong gaji. Demikian seterusnya hingga akhirnya para buruh kontrak tetap bekerja dan tidak bisa pulang ke desa asalnya karena terikat hutan walaupun kontraknya sudah habis terpaksa diperpanjang. Lokasi perkebunan yang terisolir membuat para buruh tidak mendapat informasi tentang perkembangan dunia luar demikian juga interaksi dengan masyarakat luar.

Pada tahun 1920-an saat Belanda akan memperluas areal kebunnya hingga melewati jalan pasar Barumanis sekarang (dahulu areal kebun meliputi daerah Bukit Daun hingga areal jalan raya di Pasar Barumanis sekarang), mendapat perlawanan dari penduduk Talang Gambir (Desa Sukarami sekarang) karena ada kebun penduduk asli Rejang yang cukup luas yang disebut Talang Barneo dan Talang Plimo, sehingga batas areal kebun teh milik Belanda berbatasan dengan jalan Pekan Sabtu Barumanis. Pemukiman penduduk Desa Barumanis sekarang (bagian atas) dahulunya adalah kebun teh Belanda.

Tahun 1943 Belanda menyerah kepada Jepang sehingga areal kebun ditinggalkan Belanda dan dikuasai Jepang. Ketika Jepang berkuasa, masyarakat cukup menderita, pakaian terbuat dari kulit kayu, makanan sejenis umbi-umbian, jagung dan lain-lain tidak boleh dimanfaatkan secara bebas dan harus diolah secara tersembunyi agar tidak disita oleh Jepang.

Pada masa perkebunan Belanda, jabatan tertinggi Orang Jawa hanya sebatas mandor kebun, selebihnya hanya sebagai buruh pemetik, pemupuk, penyemprot, pembersih areal, dan lain-lain yang sifatnya pekerjaan kasar. Sedangkan Orang Rejang dipekerjakan sebagai staf administrasi dengan penghasilan yang lebih besar dari buruh-buruh kebun.

C. Setelah Indonesia Merdeka

Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, Jepang meninggalkan daerah Barumanis, namun tahun 1948 Belanda kembali untuk menguasai melalui agresi militer I namun mendapat perlawanan dari rakyat dan tentara Indonesia. Akhirnya Belanda meninggalkan areal kebun tersebut untuk dikelola oleh Indonesia. Sepeninggal Belanda areal perkebunan tersebut terlantar karena kekosongan kekuasaan secara politis maupun pengelola perusahaan. Para bekas buruh perkebunan menggarap beberapa areal perkebunan untuk ditanami tanaman pangan seperti jagung dan umbi-umbian. Tanaman teh yang terlantar tumbuh tidak terurus hingga batangnya cukup tinggi dan cukup besar dengan diameter batang mencapai 25 centimeter.

Beberapa bekas buruh perkebunan teh tersebut mencoba mengelola perkebunan dengan membersihkan areal perkebunan dan mengganti tanaman teh yang sudah cukup tua dengan tanaman pangan seperti ubi, jagung, sayur-sayuran, dan tomat. Di areal kebun yang digarap tersebut dibangun rumah-rumah penduduk yang cukup sederhana dengan berlantai tanah, dinding papan atau gedek (dinding terbuat dari anyaman bambu), dan atap terbuat dari rumbia atau belahan bambu yang disusun sedemikian rupa. Ada juga yang sudah dapat membangun rumah yang lebih bagus dengan dinding papan, lantai semen, dan atap seng, namun untuk pertama kalinya pada saat itu hanya terdapat dua buah rumah yaitu rumah milik Mandor Tirto Busari (bekas mandor kebun).

Hingga tahun 1958 sudah sekitar 30 kepala keluarga yang menggarap areal bekas perkebunan teh tersebut terutama oleh keluarga Tirto Busari (mantan mandor besar di perkebun teh). Pada tahun 1958 terjadi peristiwa PRRI di wilayah Bengkulu hingga masuk ke Desa Barumanis. Masuknya para pemberontak PRRI ke desa ini menimbulkan ketakutan warga terutama setelah salah seorang warga di Dusun Trimulyo tewas tertembak oleh Tentara Hitam yang dicurigai sebagai anggota PRRI. Peristiwa ini membuat seluruh warga mengungsi ke Curup dengan menumpang di rumah-rumah keluarga atau kenalan Orang Rejang seperti keluarga Pak Parjiman yang menumpang di rumah keluarga Pak Abdullah Sani (mantan Pasirah), dan Pak Dalimin yang menumpang di rumah kerabatnya. Ada pula yang mengungsi hingga ke Lampung dan tidak kembali lagi ke Bengkulu atau ke Desa Barumanis.

Tahun 1960 suasana politik sudah mulai kondusif, pemberontak PRRI sudah tidak ada lagi. Penduduk kembali ke Desa Barumanis dan menempati rumah masing-masing yang sudah 2 tahun ditinggalkan sehingga sudah ada yang rusak dan ditumbuhi oleh tumbuhan liar. Rumah-rumah yang tidak ditempati lagi karena penghuninya tidak kembali lagi, diambil alih oleh warga tanpa proses ganti rugi.

Para penduduk boleh menggarap areal eks perkebunan semampu mereka karena pada saat itu penduduk tidak seberapa, maka satu keluarga ada yang memiliki lahan hingga lebih dari dua hektar, sedangkan rumah dan kebun yang ditinggalkan oleh pengungsi yang tidak kembali lagi dapat diambil alih oleh warga lain dengan melapor kepada Kepala Dusun yang selanjutnya dilaporkan ke pasirah .

Pada tahun 1960, sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 10 Tahun 1960, maka lahan garapan penduduk mulai ditertibkan dengan melakukan pengukuran dan pembuatan sertifikat hak milik atas tanah yang digarap. Dalam UUPA ada lima prinsip utama yang diatur yaitu pertama, sesuai dengan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, negara berhak menguasai seluruh kekayaan alam dan berwenang untuk mengatur kekayaan itu untuk menyejahterakan rakyat, antara lain dengan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaannya (pasal 2 UUPA 1960). Kedua, negara membatasi luas maksimal pemilikan tanah untuk menghindari tumbuhnya tuan tanah yang mengisap tenaga kerja petani melalui sistem sewa dan gadai (Pasal 7 jo Pasal 17 UUPA 1960). Pengaturan batas minimal ditujukan agar keluarga petani tidak hidup denganluas lahan yang kecil sebab sempitnya pemilikan luas tanah berakibat kecilnya pendapatan akibat rendahnya produktivitas (Pasal 13 jo Pasal 17 UUPA 1960). Jika tanah didistribusikan secara adil, petani akan mendapatkan tanah secara merata. Luas maksimal tanah yang dapat dimiliki adalah seperti yang terlihat pada tabel berikut.

Ketiga, negara mempunyai wewenang untuk mengeluarkan sertifikat atas tanah bagi warga negara Indonesia tanpa membedakan jenis kelamin dan berdasarkan prinsip nasionalitas (Pasal 9 jo Pasal 21 UUPA 1960). Negara juga membatasi hak warga negara asing untuk menguasai tanah di Indonesia. Keempat, tanah harus dikerjakan sendiri secara aktif (Pasal 10 UUPA 1960) dan melarang pemilikan tanah pertanian yang tidak dikerjakan sendiri karena akan menimbulkan tanah terlantar (absentee) atau meluaskan relasi buruh tani dan pemilik tanah yang mempunyai kecendrungan memeras (Pasal 10 ayat 1 jo Pasal 11 Ayat 1 UUPA 1960). Kelima, negara memberi bukti kepemilikan hak atas tanah untuk memberi kepastian hukum kepada petani pemilik tanah.

Selanjutnya penduduk yang sudah menetap mengajak kaum kerabatnya untuk tinggal bersama karena areal masih cukup luas untuk dikelola. Demikian seterusnya penduduk Desa Barumanis semakin banyak hingga saat ini berjumlah 430 kepala keluarga yang merupakan keturunan langsung dari buruh kontrak di perkebunan Belanda dan beberapa penduduk yang datang pada periode berikutnya.

Tahun 1986 dibuka perkebunan kopi oleh PT. Sembada Nabracom. Perusahaan ini beroperasi hanya sampai tahun 2003 setelah Hak Guna Usaha atas lahan perkebunan dicabut oleh Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong. Selanjutnya pada tahun 2003, PT. Kartini salah satu perusahaan perkebunan dari daerah Pekalongan juga berencana akan membuka perkebunan, namun tidak jadi. Tidak diperoleh informasi yang jelas mengapa perusahaan tersebut tidak jadi beroperasi. Terakhir pada tahun 2004, PT. Agro Tea membuka perkebunan teh di bekas areal perkebunan Belanda tesebut atau bekas perkebunan kopi milik PT. Sembada Nabracom. Areal perkebunan perusahaan ini meliputi Desa Sentral Baru dan Desa Barumanis (lihat peta). Dibukanya perusahaan perkebunan ini telah memberi lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitar. Namun tidak semua penduduk desa setempat mau bekerja di perusahaan tersebut. Hanya penduduk beberapa desa saja yang mau bekerja yaitu Desa Kampung Sajad, Desa Air Bening, Sentral Baru, Pal VIII, Pal IX dan 2 orang dari Desa Barumanis yang bekerja sebagai operator di pabrik teh.

Dalam beberapa media massa, perusahaan perkebunan ini mendapat sorotan yang tajam. Hingga saat ini, luas kerusakan hutan lindung di Bukit Daun Register V Desa Ujan Mas, Rejang Lebong, Bengkulu, sudah mencapai 31.280 hektare atau sekitar 34,5 persen dari keseluruhan luas hutan itu, yang tercatat 90.804 hektare.
Kerusakan hutan lindung Bukit Daun, yang menjadi areal tangkapan air bagi PLTA Musi akibat dijadikan perkebunan kopi, karet, berbagai jenis tanaman keras lainnya, serta penebangan kayu secara liar. Sekitar 105 dari 150 hektare kawasan hutan lindung register 37 Bukit Daun, di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu kini sudah dibuka oleh PT Agro Tea (AT), padahal izin pinjam pakai dari Departemen Kehutanan belum turun. PT AT sebelumnya mendapatkan izin pembukaan kebun teh dari Pemkab Rejang Lebong seluas 600 Ha di kaki Bukit Daun, namun lahan itu ternyata kurang 150 Ha, karena itu kawasan hutan lindung yang sudah menjadi semak belukar di sekitar itu terpaksa dipakai untuk menutupi kekurangan tersebut. Kawasan hutan lindung yang dirambah perusahaan itu luasnya sekitar 150 Ha, sampai sekarang 105 Ha di antaranya sudah ditanami teh, kawasan hutan lindung yang dibuka perusahaan itu lokasinya berbatasan dengan lahan yang diberikan izin oleh Pemkab sekitar tahun 2003 .

Ketahanan Pangan Mentawai

Ketahanan Pangan dan Budaya Masyarakat Mentawai
Rois Leonard Arios (roisarios@yahoo.co.id)
BPSNT Padang


Pendahuluan

Permasalahan pangan dan ketahanan pangan merupakan sesuatu yang sering dibicarakan pada akhir-akhir ini. Hal ini wajar mengingat jumlah penduduk semakin tinggi sedangkan luas areal penghasil (sumber) pangan semakin sempit. Di sisi lain semakin tingginya pencitraan terhadap salah satu makanan menyebabkan diversifikasi makanan mulai hilang dan cendrung mengkonsumsi satu jenis makanan yang berlaku secara umum.

Sebagai contoh apa yang terjadi di Indonesia, tidak sedikit pemberitaan tentang adanya kelaparan yang terjadi di beberapa daerah. Kita tentu masih ingat kasus di Yahokimo Papua, di Nusa Tenggara Timur, dan bahkan daerah Mentawai termasuk daerah rawan pangan. Tetapi ada pertanyaan yang muncul, apa yang dijadikan parameter suatu masyarakat disebut rawan pangan. Secara umum diperoleh gambaran, ternyata masyarakat dianggap rawan pangan bila tidak mampu lagi mengkonsumsi beras (nasi) sehingga harus mengkonsumsi jagung atau sagu atau ubi talas atau makanan lain yang bukan sumber beras. Padahal bila kita perhatikan beberapa daerah justru pangan utama masyarakatnya bukan beras seperti jagung (di NTT) dan sagu dan talas keladi (di Papua dan Mentawai).

Mengutip tulisan Jonatan Lassa Ketahanan Pangan (food security) adalah paradoks dan lebih merupakan penemuan dunia modern. Secara prosentase, lebih banyak produsen pangan di masa lalu ketimbang masa kini; tetapi dunia hari ini lebih aman pangan ketimbang masa lalu. Paradoks ini bisa terlihat jelas di banyak negara maju, salah satunya adalah Ingggris Raya; prosentase populasi pertanian di UK tahun 1950 adalah 6 % dan terus menurun secara drastis hingga 2 % di tahun 2000, dan berdasarkan prediksi FAO (Food and Agriculture Organisation), jumlah populasi pertanian di Inggris akan terus turun menjadi 1% di tahun 2010. Sederhananya, sekitar 896,000 petani akan memberi makan sedikitnya 60 juta penduduk. Indonesia saat ini memiliki 90 juta petani (seratus kali dari Inggris) atau sekitar 45% penduduk “memberi makan” seluruh pendududuk (sekitar 230 juta orang). Tetapi fakta-fakta dari Nusa Tenggara Barat (yang kerap dikenal sebagai daerah lumbung padi) serta daerah semi arid seperti Nusa Tenggara Timur di semester pertama tahun 2005, justru menghadapi ketahanan pangan yang rapuh, terbukti dengan tingginya tingkat kekurangan pangan dan gizi buruk.

Di Indonesia jumlah konsumsi padi-padian cenderung terus meningkat, dan cenderung menjadikan beras sebagai bahan makanan pokok utama. Padahal sejak dulu makanan pokok masyarakat lokal tidak hanya padi. Berbagai bukti etno-arkeologi dan sejarah menunjukkan bahwa wilayah Indonesia bagian barat pada masa lampau menjadikan sagu dan ubi (ubi jalar, keladi dan gadung) sebagai bahan makanan pokok.

Konsep Pangan dan Ketahanan Pangan
Konsep pangan sering diartikan secara sempit. Ketika kita berbicara makanan, yang terbayang adalah makanan dari beras (nasi). Gambaran ini wajar muncul pada setiap suku bangsa sebagai dampak dari sosialisasi dan pencitraan terhadap beras yang semakin tinggi. Makan beras (nasi) dianggap sudah makan, sedangkan bila belum makan nasi dianggap belum makan.

Bila mengacu pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan PP No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Dari defenisi tersebut jelas bahwa sumber pangan sangat beragam jadi tidak bisa diartikan bersumber dari satu jenis saja.

Sedangkan ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau (Pasal 1 ayat (2) PP No. 68 tahun 2002). Konsep ini merupakan konsep yang secara resmi dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia yang disesuaikan dengan kondisi geografis, demografis, dan sosial budaya daerah setempat.

Berbicara tentang konsep ketahanan pangan secara lebih luas saya mengutip tulisan Jonatan Lassa. Pendefinisian ketahanan pangan (food security) berbeda dalam tiap konteks, waktu dan tempat. Sedikitnya ada 200 definisi ketahanan pangan (Lihat: FAO 2003 dan Maxwell 1996) dan sedikitnya ada 450 indikator ketahanan pangan (Hoddinott 1999). Istilah ketahanan pangan (food security) sebagai sebuah konsep kebijakan baru pertama kali muncul pada tahun 1974, yakni ketika dilaksanakannya konferensi pangan dunia (Sage 2002). Maxwell (1996) mencoba menelusuri perubahan-perubahan definisi tentang ketahanan pangan sejak konferensi pangan dunia 1974 hingga pertengahan decade 90an; perubahan terjadi pada level global, nasional, skala rumah tangga dan individu; dari perspektif pangan sebagai kebutuhan dasar (food first perspective) hingga pada perspektif penghidupan (livelihood perspective) dan dari indikator-indikator objektif ke persepsi yang subjektif. (Lihat: Maxwell & Frankenberger 1992). Maxwell and Slater (2003) juga turut mengevaluasi definisi ketahanan pangan sepanjang waktu dan menemukan bahwa wacana (diskursus) mengenai ketahanan pangan berubah sedemikian cepatnya dari fokus pada ketersediaan-penyediaan (supply & availability) ke perspektif hak dan akses (entitlements). Sejak tahun 1980an awal, diskursus global ketahanan pangan didominasikan oleh hak atas pangan (food entitlements), resiko dan kerentanan (vulnerability). Buku The Poverty & Famines-nya Amartya Sen (1981) dianggap sebagai salah satu pelopor utama perubahan perspektif ketahanan pangan (Maxwell &Slater, 2003; Boudreau & Dilley, 2001).

Secara umum, situasi ketahanan pangan nasional pada periode tahun 2000 - 2005 menunjukkan kecenderungan yang semakin baik. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa indikator ketahanan pangan, antara lain: (1) produksi beberapa komoditas pangan penting cenderung meningkat; (2) pergerakan harga-harga pangan lebih stabil, baik secara umum maupun pada saat menjelang hari-hari besar nasional (Puasa, Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru); (3) pendapatan masyarakat meningkat diukur dari nilai upah (baik upah buruh tani maupun upah pekerja informal di sektor industri); (4) rata-rata nilai tukar petani meningkat; (5) kualitas konsumsi masyarakat meningkat; (6) peran serta masyarakat dan pemerintah daerah meningkat, yang ditunjukkan oleh semakin beragamnya kreativitas pemerintah daerah dalam menangani ketahanan pangan, serta meningkatnya partisipasi masyarakat yang ditunjukkan dengan meningkatnya tabungan kelompok; dan (7) proporsi penduduk miskin dan rawan pangan semakin menurun. Berbagai indikasi yang terukur tersebut menunjukkan bahwa berbagai upaya dan kebijakan ketahanan pangan yang dilakukan selama ini telah memberikan dampak yang positif.

Amartya Sen berhasil menggugat kesalahan paradigma kaum Maltusian yang kerap berargumentasi bahwa ketidak-ketahanan pangan dan kelaparan (famine) adalah soal produksi dan ketersediaan semata. Sedangkan dengan mengangkat berbagai kasus di India dan Afrika, Sen mampu menunjukan bahwa ketidak-tahanan pangan dan kelaparan justru kerap terjadi karena ketiadaan akses atas pangan (entitlements failures) bahkan ketika produksi pangan berlimpah, ibarat “tikus mati di lumbung padi”. Kasus busung lapar di Nusa Tenggara Barat adalah salah satu bukti. Sedikitnya ada empat element ketahanan pangan berkelanjutan (sustainable food security) di level keluarga yang diusulkan oleh Maxwell (1996), yakni: pertama, kecukupan pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat. Kedua, akses atas pangan, yang didefinisikan sebagai hak (entitlements) untuk berproduksi, membeli atau menukarkan (exchange) pangan ataupun menerima sebagai pemberian (transfer). Ketiga ketahanan yang didefinisikan sebagai keseimbangan antara kerentanan, resiko dan jaminan pengaman sosial. Keempat: fungsi waktu manakala ketahanan pangan dapat bersifat kronis, transisi dan/atau siklus.

Dari gambaran tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ketahanan pangan dapat tercapai bila empat komponen dasar dipenuhi oleh sebuah kelompok masyarakat atau daerah. Empat komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu:
1. kecukupan ketersediaan pangan;
2. stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun.
3. aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta
4. kualitas/keamanan pangan

Pada tatanan nasional, kemandirian pangan diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduk memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman, dan halal, didasarkan pada optimasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya domestik. Salah satu indikator yang dapat mengukur kemandirian pangan adalah besaran ketergantungan impor terhadap ketersediaan pangan nasional


Ketahanan Pangan dan Budaya Mentawai

Kepulauan Mentawai terdiri dari empat pulau besar dan berpenghuni yaitu siberut, sipora, pagai utara, dan pagai selatan. Luas keempat pulau ini sekitar 7.000 km2. Setelah Indonesia merdeka dan sistem pemerintahan nasional berlaku, wilayah kepulauan Mentawai ini masuk dalam Kabupaten Padang Pariaman yang dibagi dalam 4 kecamatan yaitu Kecamatan Siberut Utara, Kecamatan Siberut Selatan, Kecamatan Sipora, dan Kecamatan Pagai Utara Selatan.. Tahun 1999, Kabupaten Padang Pariaman dimekarkan dengan terbentuknya Kabupaten Kepulauan Mentawai berdasarkan UU No. 49 tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Kepulauan Mentawai yang diperbaharui dengan UU No. 9 tahun 2000. Pada awal pembentukannya, wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai hanya terdiri dari keempat kecamatan tersebut. Saat ini sudah dimekarkan menjadi 11 kecamatan.

Penduduk kabupaten ini memiliki kebudayaan tersendiri yang sangat berbeda dengan kebudayaan Minangkabau termasuk dari segi fisik. Kebudayaan masyarakat Mentawai sudah mendapat perhatian orang-orang luar termasuk dari luar Indonesia sejak abad ke-18. Ketertarikan mereka terutama dari segi fisik yang mirip dengan orang Kepulauan Hawaii, Tahiti dan Kepulauan Polynesia yang jauh terletak di sebelah timur. Kunjungan berupa wisata maupun penelitian oleh orang-orang luar (bukan mentawai) masih tetap dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa Kebudayaan Mentawai masih dianggap “eksotik” disamping adanya program-program pendampingan dalam pembangunan Mentawai. Salah satu contoh adalah yang dilakukan oleh Yayasan Citra Mandiri yang telah menghasilkan paling tidak 5 judul buku yaitu Uma (2007), Saumanganya (2004), Saureinu’ (2004), Salappa’ (2004), dan Mongan Poula (2004).

Komoditi Kabupaten Kepulauan Mentawai datang dari sektor perikanan, perkebunan, pertanian, dan industri. Di sektor perikanan, produksi perikanan tangkap memanfaatkan lahan seluas 105.400,4 ha dengan total produksi mencapai 211.821 ton di tahun 2006. Di sektor perkebunan, terdapat kelapa sawit, dengan total produksi mencapai 137.270 ton pada tahun 2006. Kepulauan Mentawai juga mendapat pemasukan dari sektor pertanian, di tahun 2006 dihasilkan jagung dengan total produksi 118.169 ton dan total produksi untuk buah-buahan mencapai 101.997 ton.Berbagai sektor industri yang terdapat di Kabupaten Kepulauan Mentawai antara lain: industri pengalengan ikan, industri ikan beku, industri pakan ternak jagung dan industri pengolahan buah. Industri ini didukung oleh tersedianya bahan baku di kota ini.

Sejak diberlakukannya otonomi daerah, orientasi pemerintah daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai dipahami sebagai wilayah dari orang Mentawai, dan ini tampaknya mencakup seluruh kepulauan Mentawai yang terdiri dari Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan. Secara mitologi dan juga batas wilayah orang Mentawai secara kebudayaan hanya mencakup Pulau Siberut saja yang ditandai dengan ti’ti sebagai batas kewilayahan, sedangkan Pulau-pulau lainnya adalah sebagai daerah tempat bermigrasinya orang Mentawai. Tetapi kemudian sebagai batas administrasi, seluruh wilayah kepulauan Mentawai ditetapkan sebagai sebuah Kabupaten dan ini mendorong suatu pengakuan yang datang kemudian dari orang-orang Mentawai yang sudah menyebar di seluruh kepulauan tersebut menjadi wilayah orang Mentawai dan harus mengacu pada kebudayaan Mentawai. Sedangkan orang-orang yang berasal dari sukubangsa selain Mentawai dianggap sebagai pendatang, baik yang sudah dianggap orang Mentawai (sioyake) maupun yang masih tetap dianggap sebagai pendatang (sasareu).

Berbicara tentang pangan bagi masyarakat Kabupaten Kepulauan Mentawai, harus dibedakan antara masyarakat yang berlatar belakang budaya Mentawai dengan yang bukan Mentawai. Demikian juga pada masyarakat yang berlatar belakang budaya Mentawai sendiri harus pula dibedakan antara yang berada di pedalaman maupun yang sudah berdiam di daerah pantai timur. Bagi warga yang bukan Mentawai sudah tentu berbeda pangan utama yang dikonsumsi dengan yang dikonsumsi oleh orang Mentawai secara umum. Pembahasan ini akan difokuskan pada pangan utama masyarakat Mentawai, kecendrungan perubahan, dan ketahanan pangan.

Makanan pokok Orang Mentawai pada awalnya diperoleh dari hasil berburu dan meramu. Mengambil hasil dari alam dengan sedikit sentuhan dalam pengolahan, maka masyarakat sudah dapat menikmati makanan. Beberapa makanan yang penting dalam kehidupan orang Mentawai adalah sagu (Metroxylon sagu), umbi-umbian (seperti keladi), dan buah-buah (seperti pisang). Protein hewani diperoleh dari hasil berburu babi hutan maupun babi yang sudah diternakkan. Dalam hal pengolahan dan pengelolaan sumber pangan tersebut juga melibatkan status gender yang berarti bahwa kaum perempuan mempunyai lahan dan jenis pekerjaan yang berbeda dengan pekerjaan laki-laki.

Beberapa tahun terakhir ini telah terjadi kecendrungan perubahan pola makan bagi orang Mentawai. Pangan lokal seperti sagu dan keladi bukan lagi makanan utama bagi sebagian orang Mentawai. Pangan ini digantikan oleh beras yang didatangkan dari tanah tepi (daratan Sumatra – Padang). Pada sebuah Focus Group Discussion di Padang tanggal 4 september 2008 lalu tergambar bahwa telah terjadi pergeseran pandangan di kalangan masyarakat Mentawai terhadap sagu baik pengolahan maupun pengkonsumsian terutama pada masyarakat Mentawai di Siberut. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan kerawanan pangan bagi masyarakat Mentawai khususnya di Seberut. Masyarakat sudah mengalihkan lahan pohon sagu mereka dengan tanaman perkebunan seperti kakao dan pemukiman penduduk. Tanaman perkebunan ini dipicu oleh nilai ekonomi yang cukup menjanjikan dengan memperoleh uang yang dapat dibelikan berbagai kebutuhan hidup termasuk salah satunya beras. Pembelian beras ini merupakan dampak dari program raskin (beras miskin) yang masih tetap berlangsung di Kepulauan Mentawai dan sosialisasi yang dilakukan berbagai pihak termasuk media massa yang mencitrakan bahwa makan nasi dianggap lebih bergengsi.

Ketergantungan masyarakat terhadap beras merupakan ancaman serius terhadap ketahanan pangan di Kabupaten Kepulauan Mentawai khususnya di Siberut. Beras tidak diproduksi di Siberut, melainkan didatangkan dari Padang. Sedangkan transportasi Padang – Kepulauan Mentawai tidak dapat dipastikan lancar karena tergantung cuaca. Sementara bila mencetak sawah baru tidak berhasil seperti yang terjadi pada tahun 1980-an. Sekali lagi ketergantungan beras merupakan ancaman kerawan pangan.

Apakah kita memiliki potensi sumber daya pangan nonberas yang memadai jika masyarakat misalnya beralih sebagian ke pangan non beras tersebut? Pertanyaan ini saya kira sangat gampang dijawab tapi sulit untuk dilaksanakan. Kenapa gampang? Kita lihat saja potensi Kepulauan Mentawai yang sudah diberkahi dengan ribuan batang sagu dan tanaman pangan lainnya termasuk pangan sumber hewani dan terbukti sudah ratusan tahun orang Mentawai dapat eksis di Kepulauan Mentawai dengan memanfaatkan hasil alamnya.

Dengan mengutip tulisan Frans R. Siahaan , ada beberapa alasan mengapa kita harus tetap mempertahankan sagu di Siberut dan tidak menggantinya dengan beras. Pertama, hanya sedikit lahan di Siberut yang sesuai untuk tanaman padi, yaitu sekitar 7%-10% dari luas total Siberut. Lahan ini umumnya lahan gambut yang terdapat pada satuan lahan (land unit) alluvial dan marin di pesisir timur Siberut. Itu pun tidak semua tanah pada kedua satuan lahan tersebut dapat dibuat persawahan. Pada tanah Hydraquents, Tropohemists, dan Troposamments pembuatan sawah sama sekali tidak direkomendasikan. Kalaupun pada kedua satuan lahan tersebut dibuka menjadi persawahan, maka harus mengeluarkan investasi yang cukup besar untuk pembiayaan masukan teknologi berupa pengaturan tata air, pengendalian erosi, pelumpuran dan banjir, peningkatkan kesuburan tanah, dan tindakan konservasi. Karena kedua satuan lahan ini memiliki sistem drainase yang buruk, kandungan unsur hara yang miskin, serta sangat rawan terhadap erosi, pelumpuran dan banjir yang berasal dari satuan lahan di atasnya. Dengan demikian investasi pembukaan sawah dan biaya perawatan yang harus dikeluarkan untuk budidaya padi tidak sebanding dengan produksi beras yang dihasilkan. Kita harus belajar dari kasus kegagalan mega proyek penuh ambisius yang dilakukan oleh Soeharto pada pembukaan lahan sejuta hektar di lahan gambut Kalimantan Tengah, karena persoalan keterbatasan daya dukung lahan (carrying capacity) dan pembiayaan.

Kedua, tanaman sagu, kebun campuran, bakau, dan semak belukar umumnya terdapat pada satuan lahan alluvial dan marin. Ekosistem pada kedua satuan lahan ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan ekosistem lainnya yang terdapat di Siberut. Perubahan ekosistem karena ketidakcermatan dalam pembukaan lahan sawah untuk tanaman monokultur padi akan mempengaruhi ekosistem lainnya, dan pada gilirannya akan merusak karakter hidro-orologis Siberut yang memang sangat rawan. Pada akhirnya kerusakan ini bukan hanya berdampak pada manusia, flora, fauna, dan bencana alam, tetapi juga akan turut menyusutkan luasan P. Siberut dalam jangka panjang.

Ketiga, Sagu merupakan makanan pokok yang merupakan bagian dari budaya masyarakat asli Siberut yang telah diwariskan sejak turun temurun. Tidak ada budaya menamam padi bagi masyarakat asli Siberut. Kalaupun ada yang mencoba menanam padi, itu karena proyek pemerintah dan pengaruh dari para pendatang, itu pun umumnya tidak berhasil. Seorang bapak dari Salappa’ yang sudah biasa ke Padang mengatakan bahwa rasanya belumlah makan kalau belum makan sagu. Sama seperti orang Jawa yang merasa belum makan kalau belum makan nasi. Membiasakan makan nasi bagi masyarakat Siberut hanya akan membuat masyarakat sangat tergantung pada beras. Padahal kalaupun sawah dibuka, maka hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan beras masyarakat Siberut saja pun tidak mencukupi karena keterbatasan luasan lahan dan daya dukung lahan, sehingga mau tidak mau beras harus diimpor dari luar. Padahal harga beras di Siberut sangat tinggi dan daya beli masyarakat masih sangat rendah. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi kemudian jika masyarakat telah terbiasa dengan beras, sementara untuk membeli beras tidak sanggup, maka ancaman kelaparan akan terbuka lebar.


Penutup

Berbicara tentang pangan dan ketahanan pangan tidak dapat dengan mudah diubah, tergantung pada selera dan trend yang berlaku. Namun bagi masyarakat Mentawai khususnya Siberut bila ketergantungan terhadap pangan dari luar daerahnya tetap berlangsung akan sangat mengancam ketahanan pangan mereka. Karena ketersediaan beras belum tentu dapat memenuhi pangan masyarakat karena tergantung aksebilitas masyarakat (termasuk daya beli) untuk memilikinya seperti criteria ketahanan pangan di atas.

Solusi yang mungkin dapat ditawarkan adalah mencoba mengembalikan citra pangan local kepada masyarakat. Bahwa pangan local sama baiknya atau bahkan lebih tinggi kadar gizinya dari pada pangan dari luar daerahnya. Pangan local seperti sagu dapat dimodifikasi pengolahannya sehingga tidak hanya sebatas dalam bentuk makanan sagu seperti yang biasa mereka makan. Diversifikasi pangan juga harus ditingkatkan dengan memanfaatkan, mengolah, dan mengkonsumsi sumber pangan lainnya yang mungkin sudah terlupakan. Dalam hal ini peranan pemerintah daerah sangat diharapkan untuk memahami dan menanamkan konsep pangan dan ketahanan pangan bagi masyarakat di Kepulauan Mentawai.

Proses perubahan kembali selera asal memang memerlukan proses yang panjang dan lama, tapi bila tidak dilakukan ancaman kerawan pangan di Mentawai bisa menjadi kenyataan.

Daftar Pustaka

Brotoisworo, Edy. “Beberapa Aspek Ekologi Manusia di Mentawai”. Dalam Gerard Persoon dan Reimar Schefold (ed). Pulau Siberut. 1985. Jakarta: Bhratara Aksara
Flach, M. “Kemungkinan Untuk Menambah Hasil Pohon Sagu” Dalam Gerard Persoon dan Reimar Schefold (ed). Pulau Siberut. 1985. Jakarta: Bhratara Aksara
Hernawati S, Tarida. 2004. Mogan Poula: Nuansa Kebudayaan Samar-Samar. Padang: YCM
-------------------,. 2004. Saureinu’: Sesuatu Yang Hilang. Padang: YCM
-------------------,. 2004. Salappa’: Antara Alam, Kehidupan, dan Jiwa. Padang: YCM
-------------------, 2004. Saumanganya’: Mau Ke Mana?. Padang: YCM
Hidayah, Zulyani. “Ketahanan Pangan Masyarakat Mentawai:Menuju Revitalisasi Ketahanan Pangan Lokal”. Makalah pada Seminar Kebudayaan Mentawai : Menyikapi Kebudayaan Mentawai Masa lalu, Kini dan Masa Depan, tanggal 2 – 3 Mei 2007, Rocky Hotel, Padang, Sumatera Barat.
Persoon, Gerard. “Pemimpin Lokal di Siberut: Suatu Kreasi yang Belum Sempurna”. Dalam Philip Quarles van Ulford. (ed). 1988. Kepemimpinan Lokal dan Implementasi Progam. Jakarta: Gramedia.
Rudito, Bambang. “Fungsi Upacara Bebeitei Uma Pada Orang Mentawai” Makalah pada Seminar Kebudayaan Mentawai : Menyikapi Kebudayaan Mentawai Masa lalu, Kini dan Masa Depan, tanggal 2 – 3 Mei 2007, Rocky Hotel, Padang, Sumatera Barat.
Saifuddin, Ahmad Fedyani. 2006. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Sajogyo (penyunting). 1982. Ekologi Pedesaan: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Rajawali Pers.
Schefold, Reimar. “Kebudayaan Tradisional Siberut”. Dalam Gerard Persoon dan Reimar Schefold (ed). Pulau Siberut. 1985. Jakarta: Bhratara Aksara
--------------------. 1991. Mainan Bagi Roh: Kebudayaan Mentawai.. Jakarta: Balai Pustaka.
Whitten, Anthony J. dan J. Whitten. “ Tanaman Sagu dan Pengolahannya di Pulau Siberut” Dalam Gerard Persoon dan Reimar Schefold (ed). Pulau Siberut. 1985. Jakarta: Bhratara Aksara
“Mengapa Harus Beras Dan Meminggirkan Sagu?” dalam franssiahaan.blogspot.com. Diunduh Tanggal 28 September 2008.
Jonatan Lassa, “Politik Ketahanan Pangan Indonesia” 1952-2005
Kebijakan Umum Ketahanan Pangan III. “Keragaman Ketahanan Pangan Nasional Tahun 2000–2005”

13 Mei 2009

Kutai: Sistem Pemerintahan Tradisional Rejang

Kutai : Eksistensi Sistem Pemerintahan Tradisional di Era Otonomi Daerah
Rois Leonard Arios (roisarios@yahoo.co.id)
BPSNT Padang

Pendahuluan
Otonomi daerah yang digulirkan dengan keluarnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan keluarnya UU No. 32 tahun 2004 telah mengubah paradigma birokrat tentang sistem pemerintahan sentralistrik yang cendrung « Top – Down » sejak berlakunya UU No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Undang-undang baru ini memungkinkan setiap daerah untuk menggali dan menfaatkan potensi budaya daerah masing-masing termasuk dalam sistem pemerintahan. Hal ini ditegaskan dalam UU No. 32 tahun 2004 Bab I Pasal 2 ayat (9) bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebuah bangsa dan negara tidak terlepas dari sistem nilai budaya atau adat istiadat masing-masing pendukung kebudayaannya terutama bangsa Indonesia yang kaya akan suku bangsa dan budaya. Kontjaraningrat (1986:190) merumuskan bahwa nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Karena nilai-nilai budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat tadi.

Dengan adanya sistem nilai budaya, setiap warga dari suatu suku bangsa telah memiliki norma. Norma ini muncul dari hasil kesepakatan antarwarga yang disadari atau tidak disadari. Pada tingkat yang lebih kompleks dibentuk suatu lembaga adat dengan beberapa orang yang bertugas sebagai pengayom pelaksanaan adat tersebut baik yang bersifat permanen maupun tentatif. Lembaga adat yang terbentuk dalam suatu suku bangsa merupakan bagian dari organisasi sosial. Dalam konsep antopologi, organisasi sosial antara lain terdiri dari sistem kekerabatan dan organisasi politik. Haviland (1988:160-163) menggabarkan organisasi politik dari tingkat yang paling sederhana hingga yang paling kompleks. Disebutkan bahwa organisasi politik merupakan sarana untuk memelihara tertib sosial dan mengurangi kesimpangsiuran. Organisasi politik tersebut terbagi dalam empat kategori, yaitu: 1) kelompok tidak menetap (band), 2) suku (tribe), 3) masyarakat berpemimpin (chiefdom), dan negara. Band dan tribe dikelompokkan pada sistem politik yang tidak berpusat, sedangkan chiefdom dan negara dikelompokkan pada sistem politik yang berpusat. Khusus organisasi kesukuan mempersatukan sejumlah gerombolan atau unit sosial lain karena adanya faktor-faktor yang meliputi seluruh suku itu, seperti persatuan antarkelompok kekerabatan seperti klen yang mempersatukan orang-orang dari gerombolan atau komunitas, atau kelompok umur, atau asosiasi yang terpisah-pisah dan yang menembus garis kekerabatan dan batas-batas daerah. Keputusan kelompok biasanya diambil atas dasar mufakat, di mana orang yang paling berpengaruh biasanya memikul tanggung jawab yang lebih besar atas keputusannya dari pada orang-orang lain. Dalam banyak masyarakat kesukuan, unit organisasi dan pemegang kekuasaan adalah klen yaitu asosiasi orang-orang yang menganggap dirinya keturuan dari leluhur yang sama. Di dalam klen, para sesepuh/kepala bertanggung jawab atas pengaturan urusan para anggotanya dan mewakili klen dalam hubungan dengan klen lain. Sebagai kelompok, para sesepuh dari semua klen dapat merupakan sebuah dewan yang mengambil tindakan di dalam suku atau atas nama suku dalma hubungan dengan pihak luar.

Dengan penjelasan Haviland tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam sistem pemerintahan tradisional, umumnya lebih mengutamakan hubungan atau kedekatan pribadi (personalized relationship). Pemimpin melakukan kontak langsung dengan para warganya. Demikian pula dalam pengambilan keputusan adat dan pembuatan ketentuan adat lebih diutamakan kesepakatan bersama, yang dengan demikian para warga akan mematuhi ketentuan adat yang telah disepakati bersama. Penghormatan pemimpin didasarkan karisma serta kemampuan yang dimiliki. Kondisi digambarkan oleh Abegg (dalam Setyanto, 2001:78 – 79) dengan melihat kondisi di wilayah Bengkulu, bahwa hubungan antara kepala pribumi atau kepala adat dengan anak buahnya (rakyatnya) sangat akrab, penuh persaudaraan, saling menghormati, dan hubungan kemasyarakatannya diatur melalui lembaga adat yang telah berlaku secara turun temurun. Pelayanan terhadap kepala dilakuka oleh anak buah atas dasar kesetiaan dan suka rela. Kesetiaan yang dilakukan oleh anak buah terhadap kepalanya antara lain menyambut kedatangannya di dusun, menyediakan makanan, dan peralatan dalam perjalanan keliling atau dalam kesempatan pesta, menyebarkan undangan pesta perkawinannya, memenuhi undangannya, membatu mengolah ladangnya, membantu membangun rumahnya, serta membantu sejumlah pekerjaan kecil lainnya.

Sebagai sebuah lembaga adat tidak terlepas dari kepemimpinan seorang pemimpin karena kepemimpinan merupakan suatu proses interaksi antara pemimpin dengan anggota-anggota lain dalam kelompoknya. Dalam struktur sosial seorang pemimpin umumnya menduduki posisi yang menjadi titik penentu (local point) pembuat keputusan. Untuk melihat posisi pemimpin tradisional dalam kehidupan masyarakat, Max Weber (dalam Tatik Kartikasari dan Binsar Manulang, 1997: 3 – 4) membedakan atas kekuasaan tradisional yang tuntutan keabsahannya didasarkan suatu kepercayaan yang telah ada (estabished) pada kesucian tradisi yang amat kuno; kekuasaan yang rasional atau berdasarkan hukum (legal) yang didasarkan pada kepercayaan-kepercayaan terhadap peraturan-peraturan untuk mengeluarkan perintah-perintah; kekuasaan karismatik atau pribadi yang didapatkan dari pengabdian diri terhadap kesucian, kepahlawanan tertentu atau sifat yang patut dicontoh dari seseorang dan dari corak-corak tata tertib yang diperlihatkan olehnya.

Tidak sedikit sistem pemerintahan tradisional yang pernah atau masih bertahan di Indonesia. Umumnya kekuasaan diperoleh dengan pewarisan, adanya keyakinan yang dimantapkan oleh kesucian tradisi yang diterima, dan adanya hubungan darah baik secara affinal maupun consanguinal. Sebagai gambaran dapat dilihat pada suku bangsa Batak Toba. Masyarakat Batak Toba mengenal konsep bius sebagai prinsip teritorial dan hukum adat. Situmorang (2004:57) menggambarkan bahwa dalam sistem bius, prinsip territorial sangat diutamakan. Prinsip territorial membawahi hubungan darah, walaupun tidak melenyapkannya secara mutlak. Paham bius adalah sebuah ideologi territorial yang mencakup kesadaran patrilineal/kesadaran sedarah keturunan dari marga-marga konstituennya.

Di samping konsep bius tersebut, orang Batak Toba juga mengenal konsep huta sebagai lembaga adat dan kekuasaan. Dalam Situmorang (2004:486) disebutkan bahwa huta secara harafiah berarti “kota” atau “kuta”, yaitu pemukiman berupa benteng bertembok, selalu berbentuk bujur sangkar, rata-rata berukuran lima puluh kali tujuh puluh meter persegi. Huta adalah milik pendirinya dan secara turun temurun diperintah oleh keturunannya secara patrilineal sebagai tingkat pemerintahan bius yang terbawah.

Konsep-konsep tersebut di atas merupakan salah satu contoh aplikasi nilai-nilai budaya daerah dalam struktur pemerintahan tradisional di Indonesia sebelum berlakunya penyeragaman sistem pemerintahan daerah dan pemerintahan desa/kelurahan. Bagaimana halnya dengan Bengkulu? Umumnya masyarakat secara nasional maupun di daerah Bengkulu tahu dan menganggap bahwa sistem pemerintahan tradisional yang pernah berlaku di Bengkulu adalah sistem Marga dengan kepalanya disebut Pasirah. Secara umum pula hal ini bisa diterima dan dianggap benar, karena sistem marga sudah popular dan begitu mengakar di setiap daerah. Secara khusus, dengan tidak menyangkal keberadaan marga tersebut, tulisan ini mencoba mendiskusikan keberadaan kutai pada masyarakat Rejang pada masa lalu dan masa sekarang.


Sejarah Pembentukan Provinsi Bengkulu
Bila kita mencoba kembali melirik sejarah terbentuknya Provinsi Bengkulu, secara garis besar dapat dibagi dalam enam periode , yaitu:
1. Periode I, sebelum tahun 1685 daerah Bengkulu di bawah pengaruh atau mengadakan kontak dagang kesultanan Banten;
2. Periode II, tahun 1685 – 1824 daerah Bengkulu di bawah kekuasaan pemerintah Inggris sebagai daerah jajahan;
3. Periode III, tahun 1824 – 1942 daerah Bengkulu di bawah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda sebagai daerah jajahan kolonial Belanda;
4. Periode IV, tahun 1942 – 1945 daerah Bengkulu di bawah kekuasaan Jepang;
5. Periode V, tahun 1945 – 1968 daerah Bengkulu telah menjadi bagian wilayah Provinsi Sumatera Selatan;
6. Periode VI, tahun 1968 kerisedenan Bengkulu melepaskan diri dari wilayan Sumatera Selatan dan menjadi daerah Tk.I Bengkulu.

Pada tahun 1967 dengan berlakunya UU No. 9 tahun 1967 yang direalisasikan dengan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1968, maka sejak tanggal 18 November 1968 Keresidenan Bengkulu diresmikan menjadi Provinsi Bengkulu dengan ibukota Bengkulu. Sebelum menjadi ibukota provinsi, Bengkulu merupakan kota kecil di bawah pemerintahan Sumatera Selatan dengan luas 17,6 km2 sesuai dengan UU No. 6 tahun 1956. Selanjutnya kota kecil tersebut merubah menjadi Kota Praja yang meliputi 4 wilayah kedatukan dengan membawahi 28 kepemangkuan sesuai dengan UU No. 1 tahun 1957 .

Hingga tahun 1980, sistem pemerintahan terutama pada tingkat terendah masih menggunakan sistem pemerintahan tradisional (marga) dengan 4 wilayah kedatukan (marga). Dengan keluarnya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, maka Kota Praja Bengkulu berubah menjadi Kotamadya Bengkulu. Lima tahun kemudian keluar UU No. 5 tahun 1979 yang mengatur sistem pemerintahan desa dan kelurahan, yang dengan sendirinya sistem marga dan pemangku tidak berlaku lagi di Bengkulu diganti dengan sistem pemerintah desa atau kelurahan.

Sistem Pemerintahan Tradisional Bengkulu

Berbicara tentang sistem pemerintahan tradisional Bengkulu tidak terlepas dari eksistensi suku bangsa Rejang (Orang Rejang) di Bengkulu. Rejang merupakan suku bangsa yang terbesar dan dianggap paling awal mendiami wilayah Bengkulu, serta telah memiliki tulisan sendiri yang disebut dengan aksara Rencong atau aksara KaGaNga.. Mengacu pada Naskah Tembo Rejang Empat Petulai disebutkan:
Bangsa Redjang ini ialah satoe bangsa jang mendiami onderafdeeling Lebong, Redjang, Lais, sebahagian onderafdeeling Bengkoelen, onderafdeeling Tebing Tinggi, Rawas, dan sebahagian dari onderafdeeling Moesi Oeloe dan jang ± 150.000 djiwa banjaknya.

Menurut sejarahnya ketika daerah Lebong masih bernama Renah Sekalawi atau Pinang Belapis, Palembang masih bernama Selebar Daun, dan Bengkulu masih bernama Limau Manis atau Sungai Serut, suku bangsa Rejang masing-masing dipimpin oleh seorang Ajai yang berasal dari 4 petulai. Ajai inilah yang memimpin mereka dalam setiap kegiatan menyangkut kepentingan bersama, dalam mempertahankan diri terhadap gangguan dari luar, dalam menghindarkan diri dari bencana yang datang dari orang-orang halus, dan dalam menjamin berlakunya adat istiadat mereka (Sidik, 1980: 32).
Para ajai yang pernah memimpin tersebut adalah:
1. Ajai Bitang, yang memimpin di daerah Pelabai;
2. Ajai Begelam Mato, yang memimpin di daerahKutei Bolek Tebo;
3. Ajai Siang, yang memimpin di daerah Siang Lakat;
4. Ajai Tiea Keteko, yang memimpin di daerah Bandar Agung

Pada masa ajai inilah datang 4 orang biku dari kerajaan Majapahit ke Ranah Sekalawi. Mereka adalah Biku Sepanjang Jiwo, Biku Bembo, Biku Bejenggo, dan Biku Bermano. Keempat biku ini diterima dengan baik oleh para ajai dan masyarakat karena kearifan dan kesaktian mereka. Kemudian para biku diangkat oleh keempat ajai dengan persetujuan rakyat untuk menggantikan para ajai untuk memimpin mereka. Biku Sepanjang Jiwo menggantikan Ajai Bitang dan berkedudukan di Pelabai; Biku Bembo menggantikan Ajai Siang yang berkedudukan Sukanegeri dekat Tapus sekarang; Biku Bejenggo menggantikan Ajai Bagelam Mato yang berkedudukan di Batu Lebar dekat Anggung Rejang di Kesambe sekarang; dan Biku Bermano menggantikan Ajai Tiea Keteko yang berkedudukan di Kutei Rukam dekat Tes sekarang.

Pada perkembangan selanjutnya, masing-masing biku diberikan nama petulai yang diwariskan turun temurun secara patrilineal. Nama-nama tersebut adalah:
1. Petulai Biku Sepanjang Jiwo diberi nama Tubeui (dari kata berubeui-ubeui = berduyun-duyun);
2. Petulai Biku Bembo diberi nama Jurukalang (dari kata kalang = galang);
3. Petulai Bejenggo diberi nama Selupuei (dari kata berupeui-upeui = bertumpuk-tumpuk);
4. Petulai Bermano diberi nama Bermani.

Dengan telah diberikannya masing-masing petulai kepada keempat biku tersebut, maka setiap masyarakat dikelompokkan dalam setiap petulai berdasarkan hubungan darah dan dipimpin oleh masing-masing petulainya. Peristiwa ini juga ditandai dengan disepakatinya penggantian nama Renah Sekalawi menjadi Lebong yang menurut sejarah berasal dari peristiwa berkumpulnya keempat biku di satu tempat untuk menebang pohon Binuang Sakti yang dihuni oleh seekor kera. Ketika mereka berkumpul Biku Bermano berkata “pio bah kumu telebong” (disini kiranya saudara berkumpul). Sehingga Lebong diartikan sebagai tempat berkumpul. Menurut perkiraan A. Sidik (1980) peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1377 ketika Sriwijaya mulai runtuh.

Menurut beberapa informasi yang diperoleh baik lisan maupun tulisan, kesatuan masyarakat Rejang dikelompokkan dalam kutai . Sistem kutai ini masih berlaku hingga masuknya sistem Marga pada tahun 1861, ketika masuknya colonial Belanda yang memarjinalkan peranan kutai sebagai unit territorial maupun sebagai unit politik. Menurut Abdullah Sidik sistem marga mulai masuk ke Bengkulu pada tahun 1861 yang diterapkan oleh Asisten Residen Belanda, J. Walland yang dipindahkan dari Palembang. Sistem marga ini berasal dari Kesultanan Palembang yang merupakan hasil bentukan Sultan Cindeh Balang (1662 – 1706) .

Konsep marga ini diterapkan oleh Belanda untuk mengatur dusun-dusun yang begitu banyak di wilayah suku bangsa Rejang. Untuk pertama kalinya wilayah Lebong dibagi dalam 5 marga, yaitu: Marga Jurukalang, Marga Bermani, Marga Selupu, Marga Suku Semelako, dan Marga Aman. Namun berdasarkan keputusan Residen Bengkulu No. 69 tanggal 18 Februari 1911, Marga Bermani dan Marga Jurukalang disatukan menjadi marga Bermani Jurukalang. Sedangkan wilayah Rejang dibagi dalam 4 marga, yaitu marga merigi, marga selupu, marga bermani, dan marga jurukalang. Berbeda dengan di wilayah Lebong, di wilayah Rejang marga Bermani dipecah menjadi dua marga yaitu Marga Bermani Ulu, dan Bermani Ilir. Demikian juga dengan Marga Selupu dipecah menjadi dua marga yaitu Marga Selupu Rejang, dan Marga Selupu Baru. Sedangkan Marga Merigi juga dipecah menjadi dua marga yaitu Marga Merigi Kelobak, dan Marga Merigi Kelindang. Wilayah Lais dibagi dalam 5 marga, yaitu: Marga Merigi, Marga Bermani, Marga Selupu, Marga Jurukalang, dan Marga Semitul .

Dalam catatan sejarah, penduduk Bengkulu membentuk suatu komunitas yang merupakan konfederasi dari beberapa marga yang bersifat genealogis. Marga-marga dalam suatu komunitas tersebut membentuk suatu kerajaan masing-masing. Beberapa kerajaan yang pernah ada di Bengkulu adalah Kerajaan Sungai Lemau, Kerajaan Sungai Itam, dan Kerajaan Silebar (Setyanto, 2000:1) .

Dengan mengutip beberapa tulisan Setyanto (2001: 1-2) menyebutkan bahwa kepala komunitas yang membawahi konfederasi dari beberapa marga disebut kalipa atau chalipah, sedangkan kepala marganya disebut pasirah. Di bawah pasirah adalah pembarab yang berperan sebagai pembantu pasirah untuk mengatasi permasalahan dalam marganya. Setiap marga biasanya mempunyai beberapa dusun atau kampong. Masing-masing dusun dikepalai oleh seorang kepala dusun yang biasanya disebut depati atau proatin. Disamping sebutan para kepala adat, juga ada beberapa gelar yang dipakai antara lain bagindo, raja, depati, pangeran, dan lain sebagainya. Khusus gelar depati umumnya dipakai oleh kalipa, pasirah, maupun sebagai pembarab. Sementara di Muko-Muko kepala wilayah adalah sekaligus sebagai kepala adat dengan sebutan sultan, yang dibantu oleh beberapa menteri, pembarab, dan proatin.

Berkaitan dengan hal tersebut, Siddik menyebutkan bahwa di daerah Rejang dan Lebong, pembagian marga sejalan dengan pembagian petulai. Oleh karena itu petulai tidak memiliki kekuasaan dalam marga melainkan kutei. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum adat asli Rejang adalah Kutei dan bukan Marga . Dengan konsep yang diterapkan oleh Belanda tersebut, maka marga dipakai sebagai konsep kesatuan territorial pemerintahan di wilayah Rejang. Padahal bila dilihat struktur masyarakat Rejang asli, tidak mengenal istilah marga, melainkan kutei. Artinya dalam struktur yang berkuasa di Rejang dan Lebong bukanlah petulai, tetapi kuteui dengan penguasanya Tuwai Kuteui. Abdullah Sidik menegaskan bahwa jika pada mulanya kuteui adalah satu masyarakat Hukum Adat tunggal dan genealogis, dengan pemerintahan yang berdiri sendiri dan bersifat kekeluargaan di bawah pimpinan tuai kuteui, maka sekarang kuteui yang disebut dusun itu merupakan satu masyarakat hukum adat bawahan yang territorial di bawah kekuasaan seorang kepala marga yang bergelar pasirah, kepala dusun disebut proatin atau depati atau ginde, dan semuanya takluk kepada kekuasaan pasirah mereka masing-masing. Ginde di tempat atau di dusun pasirah disebut pembarap. Sebagai pemimpin kuteui dipilih dari penduduk asli kuteui tersebut, yaitu suku yang membuka perkampungan/dusun, dan diwariskan secara turun temurun .

Dalam perkembangan selanjutnya dengan telah semakin kuatnya konsep marga, maka suatu dusun tidak lagi dihuni oleh orang Rejang, tetapi juga dihuni oleh siapa saja yang mau menetap di daerah tersebut atas izin pasirah. Sehingga konsep kuteui yang hanya didiami oleh orang Rejang tidak berlaku lagi dan posisinya semakin rendah di bawah marga. Sehingga marga menjadi kesatuan territorial pemerintahan yang terdiri dari beberapa dusun. Seorang pasirah tidak lagi harus penduduk asli, dan tidak turun temurun melainkan hasil dari pemilihan masyarakat di marga tersebut.

Pada tahun 1961, ketika wilayah Bengkulu masih menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Selatan, Abdullah Sidik mencatat ada 25 marga di wilayah Bengkulu, yaitu : Marga Suku IX (di wilayah Lebong), marga Suku VIII (di wilayah Lebong), Marga Bermani Jurukalang ( di wilayah Lebong), Marga Selupu Lebong (diwilayah Lebong), Marga Bermani Ulu (di wilayah Lebong), Marga Selupu Rejang (di wilayah Rejang), marga Merigi (di wilayah Rejang), marga Bermani Ilir (di wilayah Rejang), marga Sindang Beliti (di wilayah Rejang), marga Suku Tengah Kepungut (di wilayah Rejang), marga Selupu Baru (di wilayah Pesisir), marga Selupu Lama (di wilayah Pesisir), marga Merigi Kelindang (di wilayah Pesisir), marga Jurukalang (di wilayah pesisir), marga Bang Haji (di wilayah Pesisir), marga Semitul (di wilayah Pesisir), marga Bermani Sungai Hitam (di wilayah Pesisir), marga Bermani Perbo (di wilayah Lais), marga Bermani Palik (di wilayah Lais), marga Air Besi (di wilayah Lais), marga Kerkap (di wilayah Lais), marga Lais (di wilayah Lais), marga Air Padang (di wilayah Lais), marga Bintunan (di wilayah Lais), marga Sebelat (di wilayah Lais)

Kutai Sebagai Unit Teritorial

Setelah masuknya sistem marga, konsep kutei semakin memudar dan diistilahkan dengan dusun serta merupakan bagian dari struktur marga. Padahal pada tingkat kutai segala norma, aktivitas masyarakat diatur sehingga peranan kutai sangat penting bagi masyarakat Rejang, seperti pelanggaran adat yang dikenakan denda kutai, dan pelaksanaan perkawinan diatur oleh kutai. Intinya pada tingkat kutai-lah segala aspek kehidupan masyarakat diatur termasuk dalam pengaturan pola pemukiman. Sidikmenyebutkan bahwa kutai berasal dari kata kuta yang berarti dusun yang berdiri sendiri yang genealogis dan tempat berdiamnya jurai-jurai, sedangkan petulainya adalah patrilineal eksogam. Di Bengkulu pada tahun 1859 masih dijumpai petulai-petulai Merigi dan Selupu. Sedangkan petulai Jurukalang masih dapat dijumpai hingga tahun 1916 .

Sebagai unit teritorial, kutai dapat diartikan sebagai sadei (dusun) yang merupakan sekumpulan masyarakat yang mendiami suatu daerah. Prinsip teritorial dalam kutai sangat penting dan memiliki ketentuan sangat ketat. Dalam kutai, ideologi teritorial mencakup kesadaran patrilineal atau kesadaran sedarah, dan seketurunan dari warga kutai (anak kutai). Artinya, yang menjadi warga kutai adalah keturunan langsung (hubungan darah) atau hubungan akibat perkawinan dengan keluarga mulo jejai (pembuka kutai).

Teritorial kutai sangat exclusif ditandai dengan pembuatan benteng di sekeliling pemukiman yang berfungsi sebagai batas kutai (gais pigai) dan pertahanan dari gangguan musuh ataupun binatang buas. Benteng dengan tinggi sekitar 2 meter ditanami bambu berduri (reduai). Di dalam kutai tersebut terdapat beberapa bagian dari pemukiman, yaitu balei hulu (balei ai) bangunan untuk penguasa sadei (dusun) dan tempat bersidangnya para elit; balei tengeak/donok (balai tengah) yang berfungsi sebagai tempat mengadakan perayaan-perayaan bujang gadis, menari, berpantun, maupun tempat kenduri; balei ilo (balai hilir) sebagai tempat alim pedito mengerjakan kepercayaan dan keyakinannya; unen yaitu tempat mandi, mengambil air minum, dan mencuci. Unen dibagi dua yaitu unen slawei dan unen smanei (tempat untuk laki-laki dan perempuan); Tuwoa yaitu bangunan yang dibuat di belakang rumah tempat menyimpan padi; Buteu Bejemoa (batu berjemur) yaitu batu yang dipakai para orang tua untuk berjemur diri di pagi atau sore hari; Datet (Natet) Libea yaitu halaman yang cukup lebar yang dipakai sebagai tempat latihan pencak silat atau kegiatan lainnya; koboa yaitu areal kuburan yang dibuat di luar benteng dan diseberang sungai agar arwah yang meninggal tidak mengganggu masyarakat; niyoa pinang (pohon pinang) yang ditanam di sekitar halaman rumah. Hal ini menggambarkan daerah itu telah mempunyai hukum adat lengkap dengan perangkat penguasanya seperti tuwai sukau, tuwai kutai,dan pdito; umeak; balei pujei. Beberapa kutai juga membuat dua sampai tiga benteng yang berjarak antara sekitar 100 m dan di tengahnya tinggal plimo sebagai penjaga kutai. Di bagian lain merupakan jalan keluar masuk kutai sekaligus jalan ke tempat pemandian.

Proses pembentukan kutai tidak terlepas dari pembentukan dusun (sadei) karena kutai merupakan bagian dari dusun itu sendiri. Sebelum terbentuk menjadi dusun harus melalui beberapa tahapan berikut.
1. Talang
Talang adalah suatu daerah yang letaknya jauh dari dusun, karena itu antara talang dan dusun itu karena jauh tempatnya dibuatlah satu tempat istirahat pontok tidak berdinding, di muka tempat duduk, biasanya di kening tebing yang dinamakan pudau. Talang tersebut terdiri dari beberapa pondok tempat menginap, sehingga nama talang yang diberikan sesuai dengan orang yang mengerjakannya, atau nama daerah, atau nama pematangnya. Contoh Talang Pematang, dan Talang Tik Belew. Bila tanah di talang tersebut cukup subur, maka akan semakin banyak pula orang yang akan membuat pondok sehingga ada kemungkinan berkembang menjadi sosokan .

2. Sosokan
Sosokan adalah satu daerah kecil yang baru terdapat beberapa rumah dan pondok, belum ada balai ulu, balai tengah, dan balai ilo juga kelengkapan lainnya belum ada, dan belum ada parit (benteng) untuk pertahanan. Sosokan belum tentu bisa menjadi dusun, karena harus melalui ramalan, dan perhitungan dari segi penyerangan oleh musuh. Bila memungkinkan dan segala aspek seperti yang telah diuraikan tentang pembentukan dusun (kutai) di atas, maka resmilah tempat tersebut menjadi dusun ditandai dengan ditanamnya pohon niyoa pinang (pinang), seperti dalam ungkapan: Biak nyoa pinang adat temtung gais pigai, adat niyen lembago niyen (adat di bawah pohon kelapa pinang, adat meniti sepanjang garis parit, adat sebenarnya adat, adat berlembaga) .

Warga kutai sangat ditentukan oleh hubungan darah dan hubungan perkawinan. Karena yang menjadi warga sebuah kutai adalah keturunan langsung dari pembuka kutai (mulo jijai) dan orang lain yang menjadi kerabat karena perkawinan. Hukum adat perkawinan suku bangsa Rejang pada awalnya menganut sistem patrilineal dan patrilokal yang dikenal dengan istilah kawin jujur dengan membayar uang leket. Artinya garis keturunan ditarik dari pihak laki-laki dan adat menetap setelah menikah di lingkungan kerabat laki-laki. Dengan prinsip ini, maka perempauan akan keluar dari kutai-nya dan masuk dalam kutai suaminya dengan segala hak dan kewajibannya.

Dalam hukum adat Rejang perkawinan yang dilarang adalah antara orang yang sepetulai, sesuku, parallel cousin, dan cross cousin. Setiap orang yang melanggar ketentuan ini akan didenda berupa uang (mas kutai) dan memotong seekor kambing untuk upacara kenduri “membasuh dusun” dari noda akibat pelanggaran tersebut. Dengan larangan endogami ini, maka perkawinan yang lazim terjadi adalah orang yang berada di kutai berbeda.

Pada perkembangan selanjutnya, pengaruh budaya Minangkabau mulai mempengaruhi adat jujur pada orang Rejang, yaitu dengan mulai berlakunya adat Kawin Semendo. Berlakunya adat Semendo berawal dari sebuah keluarga yang hanya memiliki satu orang anak dan kebetulan perempuan, bila dilakukan perkawinan jujur, maka hilanglah jurai keluarga tersebut, maka disepakati dengan membuat hukum adat baru yaitu kawin semendo tambik anak. Adat perkawinan jujur dan semendo tambik anak – menurut laporan pembesar Inggris – mulai tampak terutama pada orang Rejang di daerah Lais pada tahun 1823 . Kawin semendo tambik anak berkembang lagi menjadi tiga jenis yaitu
1. tidak beradat, pihak laki-laki tidak mampu atau hanya mampu membayar kurang dari setengah uang pelapik. Dalam hal ini tidak boleh menarik garis keturunan dari keluarga laki-laki dan harus tinggal di lingkungan kerabat perempuan;
2. kurang beradat, pihak laki-laki hanya mampu membayar setengah uang pelapik. Dalam hal ini hanya salah satu anak laki-laki atau perempuan yang boleh mengikuti garis keturunan laki-laki dan tinggal di lingkungan pihak kerabat laki-laki.
3. beradat, pihak laki-laki telah membayar secara penuh uang pelapik. Dalam hal ini keturunannya telah mengikuti prinsip patrilineal dan boleh menetap di lingkungan kerabat laki-laki, namun harus melalui persetujuan istri.

Adat perkawinan semendo beradat berkembang menjadi adat perkawinan semendo rajo-rajo, dimana istri – suami bebas memilih prinsip patrilokal, matrilokal, neolokal, atau unilokal. Sedangkan anak-anaknya boleh mengikuti prinsip patrilineal atau matrilineal. Hal ini pernah dicatat dalam Aturan Adat Kawin di wilayah Lais pada tanggal 18 oktober 1911 No. 412 ayat 7a dan 7b, bahwa di pasar berlaku hanya kawin semendo rajo-rajo atau juga disebut kawin semendo beradat, sedang di dalam marga berlaku kawin semendo rajo-rajo dan kawin semendo tak beradat .

Dengan prinsip perkawinan tersebut akan mempengaruhi status seseorang dalam kutai. Karena untuk dapat diangkat sebagai ketua suku, ketua kutai, atau raja haruslah keturunan langsung dari mulo jijai dan bukan pendatang ataupun menantu. Dalam hukum adat Rejang juga disebutkan bahwa dalam sebuah kutai terdiri dari empat buah suku yang berkaitan dengan filosofi Orang Rejang: pat petulai (empat petulai) ditambah satu raja. Hal ini berarti dalam sebuah kutai tidak boleh lebih atau kurang dari 4 suku yang ditarik secara patrilineal. Bila dalam satu kutai yang baru dibuka hanya terdiri dari 3 suku, maka salah satu harus membelah sehingga jadi 4. Demikian pula bila terdapat lebih dari 4 suku, maka suku lainnya harus melebur kedalam salah satu suku yang lebih berpengaruh.

Kutai Sebagai Unit Politik

Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa sebuah dusun (sadei) dianggap resmi berdiri apabila sudah terbentuk lembaga adat ditandai dengan ditanamnya kelapa pinang (nyioa pinang). Lembaga adat yang dimaksud adalah kutai dan merupakan sekaligus sebagai lembaga pemerintahan. Sebagai lembaga pemerintahan merupakan sebuah unit politik yang mengatur hubungan sesama warganya, dan hubungan dengan kutai lain.

Setiap dusun bersifat otonom yang dipimpin oleh tuwai kutai. Pada perkembangan selanjutnya para tuwai kutai memakai gelar depati. Tuwai Kutai Rukam Takhta Tunggal Terguling Sakti dari petulai Bermani memakai gelar Depati Pasak Bumi, tuwai kutai Suka Negeri Rio Setanggai Panjang dari petulai Jurukalang memakai gelar Depati Raja Besar, tuwai kutai Atas Tebing Ajai Malang dari petulai Selupu memakai gelar Depati Tiang Alam, tuwai kutai Karang Anyar Ki Pati dari pecahan petulai Tubeui (suku VIII) memakai gelar Depati Kemala Ratu, dan adiknya Ki Pandan tuwai kutai Bandar Agung dari pecahan petulai Tubeui (suku IX) memakai gelar Rajo Depati. Kelima depati ini membentuk satu federasi yang menentukan bahwa pemerintahan atas suku bangsa Rejang dilakukan bersama, sehingga dikenal dengan nama Pemerintahan Depati Tiang Empat Lima dengan Rajo Depatinya. Namun selanjutnya karena kesulitan kordinasi akhirnya para depati menjalankan pemerintahan kutai sendiri-sendiri.

Tuwai kutai dipilih secara intern oleh dan dari anggota keluarga keturunan patrilineal pembuka kutai (mulo jijai). Jabatan tersebut bersifat turun temurun dan menganut prinsip hak waris berada di tangan putra sulung (primogeniture) dengan memperhatikan syarat-syarat sebagai seorang pemimpin menurut adat Rejang. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. orang berasal; yaitu keturunan dari orang yan mendirikan kutai;
2. orang berwibawa; mempunyai jiwa kepemimpinan dan karisma;
3. orang berakal; yaitu orang yang bijaksana sehingga tidak terpengaruh oleh pikiran-pikiran orang lain;
4. orang berilmu; sehingga tidak mengikuti kata orang lain;
5. orang berharta; karena pemimpin harus dapat membantu warganya sehingga harus mempunyai harta, disamping itu juga agar pemimpin tidak tamak;
6. orang sabar; yaitu bertabiat baik, tidak kasar, dan tidak pendendam untuk mencegah sikap ketidakadilan atau penganiayaan terhadap warganya.

Secara sederhana struktur kutai sebagai unit politik terdiri dari Tuwai Kutai dan Tuwai sukau. Hal ini menggambarkan filosofi orang Rejang yang selalu mengacu pada angka 5 (pat petulai ditambah 1 raja). tuwai kutai merupakan jabatan tertinggi dalam kutai. Tuwai Kutai sebagai jabatan tertinggi di Kutai mengkordinir warganya melalui keempat tuwai sukau (ketua suku) karena dalam pelaksanaan sehari-hari, yang berhubungan langsung dengan masyarakat adalah para tuwai sukau masing-masing suku. Segala sesuatu aktivitas masyarakat yang menyangkut kepentingan orang banyak harus dilaporkan kepada Tuwai kutai melalui ketua suku. Ketua Kutai, Ketua Suku, dan Pdito (pengurus “agama”) merupakan elit kutai yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Pegawo atau istilah lain plimo merupakan pembantu sekaligus pengawal ketua kutai, sedangkan olingan adalah pesuruh ketua kutai. Kedua orang ini ditunjuk langsung oleh tuwai kutai dari orang-orang yang dapat dipercaya. Menurut adat Rejang hak tuwai kutai merupakan hak yang bersifat kekal yang berkaitan dengan fungsi tuwai kutai sebagai pengayom hak ulayat kutai dan pembawa nama kutai.

Tuwai sukau dipilih oleh para anggota sukunya berdasarkan kriteria senioritas, karisma, dan pengetahuan adat. Perlu diperhatikan senioritas dalam hal ini bukan mutlak dilihat dari usia, tetapi juga dari tingkatan generasi. Artinya bisa saja usia seseorang masih 20 tahun namun dari tingkatan generasi sudah cukup tinggi. Tugas tuwai kutai adalah bertanggungjawab terhadap keberadaan warga sukunya.

Sistem pemerintahan dijalankan secara kekeluargaan dan demokratis. Segala keputusan selalu diambil atas dasar musyawarah dengan para tuwai sukau (ketua suku). Dengan demikian tuwai kutai tidak berhak mengubah, mengurangi, atau menambah hukum adat yang sudah ada atau yang sudah berlaku tanpa persetujuan dengan para ketua suku. Ketua suku sendiri merupakan fasilitator aspirasi seluruh warga kutai kepada tuwai kutai. Setiap warga menyampaikan seluruh permasalahan termasuk dalam bidang perkawinan ataupun tindakan pelanggaran adat (kejahatan) kepada ketua suku yang bersangkutan untuk selanjutnya disampaikan kepada tuwai kutai. Tuwai kutai akan mengundang tuwai sukau lainnya untuk membicarakan laporan tersebut, dan bila itu pelanggaran adat, hukuman apa yang akan diberikan. Bila laporan tersebut mengenai rencana perkawinan maka akan dibicarakan tentang layak tidaknya pasangan tersebut dari segi sumbang kawin menurut adat dan meminta warga untuk bergotong royong membantu pelaksanaan pesta.

Eksistensi Kutai Saat Ini

Eksistensi kutai telah mengalami kemunduran terutama sejak diterapkan sistem marga di wilayah Bengkulu oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1861. Berbagai perubahan telah terjadi, dimana Belanda membagi-bagi wilayah suku bangsa Rejang dalam marga yang melingkupi beberapa dusun sehingga hak otonom kutai diambil alih oleh marga. Dengan demikian kutai tidak memiliki lingkungan tanah sendiri melainkan tanah marga. Akibatnya hak bersama dalam kutai berubah menjadi hak bersama beberapa kutai (dusun) dalam suatu marga.

Proses tersebut terus berlangsung seiring dengan berbagai perubahan sistem politik di Indonesia, bahkan dengan penyeragaman sistem pemerintah desa/kelurahan sejak tahun 1979 hingga 1999 menghilangkan eksistensi marga yang dianggap masih bagian dari budaya Rejang.

Bila kita lihat kondisi wilayah suku bangsa Rejang khususnya di Kabupaten Rejang Lebong (termasuk pemekarannya) sungguh sangat tidak memungkinkan untuk mengembalikan sistem kutai ke konsep asal mengingat struktur masyarakat dan pemerintahan saat ini sangat majemuk. Menyikapi hal ini pemerintah Kabupaten Rejang Lebong telah menerbitkan Surat Keputusan Bupati No. 58 tahun 2005 tanggal 12 Maret 2005 tentang Pelaksanaan Hukum Adat Rejang di Wilayah Kabupaten Rejang Lebong yang mengaktifkan kembali eksistensi kutai sebagai lembaga adat, dan Surat Keputusan Bupati No. 93 tahun 2005 tanggal 17 maret 2005 tentang Kumpulan Hukum Adat Bagi Masyarakat Adat dalam Wilayah Kabupaten Rejang Lebong (Kelpiak Ukum Adat Ngen Riyan Ca’o Beak Nyoa Pinang Lem Kabupaten Rejang Lebong).

Dalam kumpulan hukum adat tersebut telah memodifikasi hukum adat asli Rejang yang tidak memungkinkan lagi untuk dilaksanakan saat ini. Dikatakan bahwa yang dimaksud warga kutai (anok kutai) adalah setiap orang yang ada dalam suatu dusun/desa/seluruh masyarakat dalam satu desa. Hal ini berarti ketentuan tidak hanya berlaku pada orang Rejang tetapi termasuk juga yang bukan orang Rejang. Sedangkan secara teritorial, saat ini yang menjadi wilayah kutai adalah desa atau kelurahan sehingga yang menjadi raja sebagaimana struktur kutai dipegang oleh kepala desa atau lurah.

Sebagai ketentuan bahwa dalam satu kutai harus terdapat empat suku, maka desa atau kelurahan yang dianggap kutai harus terdiri dari 4 suku dengan ketentuan kalau kurang salah satu suku harus memecah, dan kalau lebih harus bergabung dengan suku lain. Sedangkan untuk para pendatang yang bukan orang Rejang, dimasukkan dalam satu kelompok suku yaitu suku tepek (suku orang pendatang). Sebagai contoh di Desa Kesambe terdapat suku Radjo Lilo, suku Djako, suku Anak Dalam, dan suku Tepek; di Desa Air Putih Baru terdapat suku Aliasar, suku Milon, suku Serungan, dan suku Bedu.

Ketentuan lainnya yang telah ditetapkan adalah pembentukan Jenang Kutai (hakim desa/kelurahan). Jenang kutai berasal dari masing-masing ketua suku di desa/kelurahan tersebut sehingga masing-masing desa/kelurahan terdiri dari 4 orang jenang kutai yang bertugas menyelesaikan setiap permasalahan hukum adat, pelanggaran hukum di desa/kelurahan. Artinya setiap pelanggaran adat termasuk yang dianggap tindak pidana terlebih dahulu harus diselesaikan secara hukum adatoleh jenang kutai dan apabila tidak dapat diselesaikan selanjutnya diserahkan ke kepolisian untuk ditindaklanjuti dengan hukum positif Indonesia. Pedoman yang dipakai oleh jenang kutai dalam mengadili perkara adalah Kumpulan Hukum Adat Bagi Masyarakat Adat dalam Wilayah Kabupaten Rejang Lebong (Kelpiak Ukum Adat Ngen Riyan Ca’o Beak Nyoa Pinang Lem Kabupaten Rejang Lebong) yang telah berkekuatan hukum.

Eksistensi kutai yang telah diuraikan disini merupakan sebagian kecil dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong dan hingga makalah ini ditulis masih dalam tahap penyiapan perangkat kutai dan belum berjalan sebagaimana diharapkan.

Penutup
Suku bangsa Rejang merupakan salah suku bangsa di Provinsi Bengkulu yang menarik untuk dipelajari baik dari segi sejarah maupun budaya. Tidak sedikit para pakar pada masa lalu dari luar negeri yang mencoba untuk menggali budaya orang Rejang karena dianggap sangat maju dalam mengatur tata kehidupan masyarakatnya baik dalam hubungan sesama orang rejang, dengan orang luar, dengan alam, dan dengan Tuhannya.

Salah satu bentuk pengaturan tersebut terlihat dalam bentuk sistem kutai yang berfungsi sebagai lembaga adat dan lembaga politik. Sistem kutai merupakan sistem pemerintahan yang sangat tua yang pernah ada di Bengkulu karena hingga saat ini belum diketahui sejak kapan mulai berlaku sistem tersebut. Walaupun sistem kutai secara nyata sudah tidak ada lagi, namun jiwa dan prilaku masyarakat Rejang masih dipengaruhi oleh hukum adat Rejang yang mengacu kepada kutai.

Usaha Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong untuk mengaktifkan kembali lembaga kutai dan perangkatnya merupakan usaha yang sangat positif. Disamping untuk memunculkan kembali identitas diri orang Rejang, juga sebagai tameng menghadapi pengaruh negatif budaya luar sehingga dikhawatirkan melupakan identitas budayanya sendiri. Hal ini sudah mulai tampak pada generasi muda yang tidak lagi bisa berbahasa Rejang asli. Di sisi lain juga dirasakan hukum positif Indonesia tidak selalu sejalan dengan kondisi budaya masyarakat Rejang sehingga dengan adanya lembaga adat tersebut dapat menjembatani kepentingan berbagai pihak.
(Pada Seminar Pemanfaatan Sejarah dan Budaya Bengkulu Dalam Rangka Pembinaan dan Pelestarian Sejarah dan Budaya Daerah. Diselenggarakan oleh BKSNT Padang dan Dinas Pariwisata Provinsi Bengkulu, di Bengkulu 27 – 28 Juli 2005.)


Kepustakaan


Aniwijaya, Lahmudin. 2004. “Kearifan Tradisional Lembaga Kutei di Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup”. Makalah pada kegiatan Sosialisasi Nilai-Nilai Budaya Daerah Kabupaten Rejang Lebong, yang diselenggarakan oleh BKSNT Padang di Curup 15 – 16 September 2004.
BMA Kabupaten Rejang Lebong. 2005. “Kelpiak Ukum Adat Ngen Riyan Ca’o Kutai Jang Kabupaten Rejang Lebong”. Belum diterbitkan.
Haviland, William A. 1988. Antropologi Jilid 2 Edisi Keempat. Jakarta: Erlangga.
Hoesein, Mohammad. 1932. Naskah Tembo Rejang Empat Petulai. Tanpa Penerbit.
Kadirman. 2004. Ireak Ca’o Kutei Jang. Jakarta: Balai Pustaka.
Kartikasari, Tatik. dan Binsar Manulang. 1997. Sistem Pemerintahan Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Depdikbud.
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Ramli, M. 1980/1981. Pola Pemukiman Penduduk Pedesaan Daerah Bengkulu. Jakarta: Depdikbud.
-------------------, 1980/1981. Sejarah Pendidikan Daerah Bengkulu. Jakarta: Depdikbud.
Sani, A. 1956. “Hukum Adat Rejang”. Tidak Diterbitkan.
Sani, A. 1983. "Jurai Adat Rejang "Tidak Diterbitkan.
Sarwono, Sarwit., dkk. 2001. Kisah Kejadian Manusia dan Semesta dari Masyarakat Rejang di Provinsi Bengkulu : Analisa Struktur dan Fungsi. Jakarta : Pusat Bahasa Depdiknas.
Setyanto, Agus. 2001. Elite Pribumi Bengkulu : Perspektif Sejarah Abad Ke-19. Jakarta : Balai Pustaka.
Sidik, Abdullah. 1980. Hukum Adat Rejang. Jakarta: Balai Pustaka.
Situmorang, Sitor. 2004. Toba Na Sae : Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII – XX. Jakarta: Komunitas Bambu.
Wijaya, Andi. 2000. “Rejang Style, Rumah Sedee (Dalam Rentang Waktu)”. Curup: LSPKD.

Interaksi Antarsuku Bangsa

Interaksi Antarsuku Bangsa di Kawasan Pelabuhan Pulau Baai Bengkulu

Rois Leonard Arios (roisarios@yahoo.co.id)
BPSNT Padang

Pendahuluan
Interaksi yang terus menerus antarsuku bangsa di suatu lokasi dapat berdampak positif maupun negatif. Dampak positif terlihat dari adanya kerja sama, dan saling pengertian. Sedangkan dampak negatif dapat kita lihat beberapa kasus yang terjadi di Ambon, Poso, Aceh, dan Papua. Kasus ini muncul akibat ketidakseimbangan pelayanan sosial, paradigma keagamaan yang disalah artikan, etnosentrisme yang berlebihan dari salah satu suku bangsa terhadap suku bangsa lain sehingga menimbulkan ‘pergesekan’ pada tingkat ideologi yang bermuara pada munculnya konflik.

Secara teoritis interaksi dapat diartikan sebagai suatu kesadaran akan adanya pihak lain yang mempengaruhi perasaan seseorang sehingga memberikan suatu kesan yang nantinya akan menentukan tindakan apa yang akan dilakukannya baik positif maupun negatif. Dikaitkan dengan interaksi antarsuku bangsa, kesan yang muncul dari individu sangat dipengaruhi oleh etnosentrisme dan streotip yang terdapat dalam alam pikiran individu tersebut. Dengan pandangan demikian akan menentukan tindakan apa yang akan dilakukan atau bagaimana bertingkah laku dengan suku bangsa lain.

Interaksi muncul apabila ada kontak sosial dan komunikasi yang akan memberikan reaksi terhadap pihak yang berinteraksi . Kontak sosial adalah berlangsungnya interaksi secara langsung antarindividu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok yang saling bertemu muka, dan secara fisik saling bersentuhan (kontak fisik). Sedangkan komunikasi dapat diartikan sebagai tindakan saling berbicara baik dengan tatap muka langsung, melalui sarana komunikasi seperti telepon, maupun melalui surat. Kontak sosial yang positif akan melahirkan kerja sama dan saling pengertian. Sedangkan kontak sosial yang negatif cendrung melahirkan pertentangan (konflik).

Dalam kaitannya dengan hubungan antaretnis dalam sebuah masyarakat multicultural, ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan yaitu pertama, kelompok etnis yang dominant (super ordinate-group), dan kedua kelompok yang tidak dominant (sub ordinate-group). Pengertian dominan sendiri sangatlah relative yang dapat dilihat dari sudut kuantitatif yaitu berdasarkan jumlah nominal anggota kelompok etnis. Disamping itu dapat juga dilihat dari sudut kualitatif yang didasarkan dominasi beberapa sector seperti politik, dan ekonomi walaupun jumlah anggota kelompok etnis minoritas. Bruner mengatakan bahwa ada tiga faktor kelompok etnis disebut berstatus dominan, yaitu faktor demografis, faktor politis, dan faktor budaya lokal. Sedangkan menurut Royce ada tiga faktor yang menentukan corak hubungan antarkelompok etnis dalam suatu masyarakat majemuk, yaitu kekuasaan (power), persepsi (perception), dan tujuan (purpose). Kekuasaan merupakan faktor utama dalam menentukan situasi hubungan antaretnis tersebut, sedangkan faktor-faktor lainnya ditentukan oleh faktor utama ini. Kelompok etnis yang memegang kekuasaan disebut juga sebagai dominant group atau kelompok yang banyak menentukan ‘aturan permainan’ dalam masyarakat majemuk. Tetapi kelompok ini sangat jarang merasa sebagai salah satu dari sekian kelompok etnis masyarakat di mana mereka berada.

Pemukiman merupakan sebuah bentuk masyarakat dimana setiap anggota masyarakatnya saling berhubungan dengan yang lain. Suatu interaksi sangat erat hubungannya dengan struktur sosial masyarakat itu sendiri. Bila struktur sosial masyarakat itu telah mantap, maka interaksi antara anggota masyarakatnya akan membentuk suatu kehidupan yang harmonis. Pada masyarakat desa dengan sistem kekerabatan yang telah berakar dan hubungan anggota masyarakatnya diatur oleh struktur sosialnya, maka kehidupan di desa sangat harmonis .

Kondisi dan Sejarah Pemukiman di Kawasan Pulau Baai
Pelabuhan Pulau Baai merupakan pelabuhan laut utama bagi Provinsi Bengkulu. Secara administrative pemerintahan, daerah ini termasuk dalam Kelurahan Kandang, Kecamatan Silebar, Kota Bengkulu. Berada di bagian selatan Kota Bengkulu dengan tipologi memanjang dari arah utara ke selatan. Secara astronomis Kecamatan Silebar berada pada posisi 102° - 103° BT, dan 3° - 19° LS dengan luas kecamatan 17,33 Km2 . Sebagai daerah maritim, Kelurahan Kandang dikelilingi oleh sungai Jenggalo dan Laut Samudra Indonesia di bagian barat. Dengan demikian daerah ini menyerupai sebuah pulau yang cukup besar. Hal ini pulalah yang menyebabkan kelurahan ini termasuk Kelurahan Padang Sarai disebut sebagai kawasan Pulau Baai. Nama Pulau Baai sendiri diberikan oleh orang Jenggalo sebagai penduduk asli di daerah tersebut yang berarti pulau induk. Kelurahan Kandang berbatasan dengan Kelurahan Pagar Dewa di sebelah utara, dengan Kelurahan Padang Sarai di sebelah selatan, dengan Kelurahan Sukaramai di sebelah timur, dan dengan samudra Indonesia di sebelah barat.

Curah hujan relative besar dengan rata-rat 3684 mm pertahun dimana hampir setiap bulannya turun hujan walaupun tidak merata. Khusus bulan april 2004 berdasarkan data pada stasiun Klimatologi Pulau Baai Bengkulu tercatat curah hujan 278,0 m3/jam, sedangkan untuk bulan mei 2004 yang baru berjalan 6 hari telah mencapai 202,0 m3/jam dengan suhu rata-rata 26°C - 27°C. Angka ini menggambarkan curah hujan di Kota Bengkulu naik sampai tiga kali lipat.

Kawasan pelabuhan ini dapat dicapai dengan menggunakan angkutan umum maupun pribadi dari berbagai tempat. Dengan ibukota kecamatan berjarak ± 6 km, dari ibukota Bengkulu ± 11 km. Bila menggunakan angkutan umum harus melalui terminal Panorama atau yang lebih dikenal dengan istilah Lingkar Timur. Angkutan ini cukup tersedia setiap hari mulai pukul 05.00 – 21.00 yang melayani trayek Terminal Panorama – Pulau Baai (oleh masyarakat setempat pelabuhan disebut dengan istilah lokal). Memasuki kawasan ini, setelah melewati areal perkantoran seperti kantor Administrator Pelabuhan, Pos Polisi, Pusat Karantina, Pangkalan TNI Angkatan Laut, dan lain-lain, kita akan menemui gapura dengan tulisan di kiri dan kanan gapura “Pelabuhan Samudra Pulau Baai Bengkulu”. Selepas gapura kita akan menemui deretan warung di sepanjang jalan menuju pelabuhan lokal. Sebelah kiri merupakan kawasan pemukiman RT 13, RT 15, RT 38, dan RT 39 dalam wilayah RW 03 hingga di pangkal jembatan, sedangkan sebelah kanan adalah PPI (Pusat Pelelangan Ikan) sebagai tempat pendaratan ikan tangkapan nelayan bagan. Selepas jembatan kita akan tiba di pelabuhan yang berjarak ± 600 m dari gapura. Di sebelah kiri jalan menuju pemukiman penduduk Kampung Bahari, sebelah kanan adalah pelabuhan, sedangkan bila jalan lurus terus akan tiba di Teluk Sepang, pemukiman penduduk yang relative masih terisolir karena transportasi terbatas.

Penduduk kawasan ini berasal dari berbagai latar belakang suku bangsa yaitu Bugis, Lahat , Madura, Minangkabau, Batak, Aceh, dan Cina. Sedangkan penduduk asli Bengkulu tidak ditemui di tempat ini. Pada umumnya pekerjaan penduduk adalah nelayan modern (umumnya Orang Bugis, dan Orang Batak sebagai nelayan pukat harimau) dan tradisional (umumnya Orang Lahat, Madura, dan sebagian Bugis), pedagang warung makan atau kelontong (umumnya orang Minangkabau), pedagang ikan, supir, pegawai negeri di kantor lurah. Dengan jumlah penduduk menurut data di Kantor Kelurahan Kandang maret 2003 sebesar 15.060 jiwa yang terdiri dari 7.417 jiwa laki-laki, dan 7.632 jiwa perempuan, ditambah 7 laki-laki dan 4 perempuan warga Negara asing.

Kecamatan Silebar awalnya merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Utara. Dengan adanya pengembangan wilayah kotamadya Bengkulu dari awalnya hanya seluas 17 km2 menjadi 144,52 km2 tahun 1986. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 46 tahun 1986, maka sebagian wilayah Kecamatan Talang Empat menjadi wilayah Kotamadya Bengkulu. Desa-desa di Kecamatan
Talang Empat yang terkena pemekaran dan menjadi wilayah Kotamadya Bengkulu ketika itu adalah Desa Tanjung Agung, Desa Tanjung Jaya, Desa Semarang, Desa Mentiring, dan Desa Surabaya. Seluruh desa ini dimasukkan dalam satu wilayah kecamatan baru yaitu Kecamatan Gading Cempaka. Sedangkan desa-desa lainnya di wilayah Kecamatan Talang Empat yang masuk ke wilayah Kotamadya Bengkulu, yaitu Desa Pagar Dewa, Desa Kandang, Desa Padang Sarai, Desa Pekan Sabtu, dan Desa Sukaramai, ditambah dengan satu desa dari Kecamatan Seluma Kabupaten Bengkulu Selatan yaitu Desa Bentungan, dimasukkan dalam satu kecamatan baru yaitu Kecamatan Selebar.

Sebelum bernama Kecamatan Selebar, wilayah ini merupakan sebuah kecamatan perwakilan dari Kecamatan Perwakilan Pagar Dewa dan masih bagian dari wilayah Kabupaten Bengkulu Utara. Pada bulan juli 1987 wilayah kecamatan ini menjadi kecamatan defenitif dengan nama Kecamatan Selebar dan masuk dalam wilayah Kotamadya Bengkulu (sekarang berbentuk Kota). Proses penetapan nama kecamatan menjadi Kecamatan Selebar merupakan hasil kesepakatan berbagai pihak. Nama Selebar diusulkan oleh para kepala desa kepada DPRD tingkat II Bengkulu untuk mendapat pengesahan. Dalam musyawarah DPRD tingkat II Bengkulu tahun 1987 diajukan dua calon nama kecamatan yaitu Muara Dua dan Selebar. Dengan pertimbangan fakta sejarah bahwa di wilayah Desa Kandang (sekarang Kelurahan Kandang) dan Pulau Baai dulunya pernah berdiri sebuah kerajaan yaitu Kerajaan Selebar yang menentang penjajah Belanda dan Inggris, maka disepakatilah nama Selebar menjadi nama kecamatan tersebut. Disamping itu Desa Kandang ketika masa pemerintahan Kerajaan Selebar juga menjadi markas Maskapai Dagang Belanda (VOC) pada tahun 1720.

Jauh sebelum Kecamatan Silebar defenitif, tahun 1971 kawasan Pulau Baai saat ini masih berbentuk hutan sekunder, sebagian besar masih rawa-rawa, penuh dengan pohon-pohon besar, binatang buas seperti babi hutan, beruang, macan, dan belum ada penduduknya. Secara administrative pemerintahan waktu itu, daerah ini merupakan wilayah marga Porwatin Dua Belas Kabupaten Bengkulu Utara dengan pusat pemerintahan di Dusun Kandang (sekarang Kelurahan Kandang). Ketika itu pemukiman penduduk hanya sebatas sekitar kantor lurah sekarang, jalan dari dan ke Kota Bengkulu masih aspal kasar serta angkutan umum sangat terbatas hanya hingga pukul 18.00. Terbukanya kawasan ini merupakan hasil rintisan rombongan Pak Laode yang berjumlah 21 orang pada tahun 1972. Pada tahun 1971, Pak Laode mendapat informasi dari Pak Amin Malinta (Kepala PMD Provinsi Bengkulu saat itu) bahwa ada daerah yang masih tertutup tanpa pemilik dan bagus untuk dijadikan sawah. Lalu Pak Laode mengumpulkan teman-temannya sesama Orang Bugis di Palembang dan Bengkulu, serta orang Bengkulu hingga berjumlah 21 orang untuk meninjau lokasi yang dimaksud serta menentukan batas-batas areal garapan. Pada tahun 1972 areal tersebut mulai digarap yaitu areal yang menjadi tempat pelabuhan berdiri sekarang ini. Awalnya areal ini dikenal dengan nama Teluk Belanak. Hingga tahun 1978 seluruh rumah masih berbentuk panggung dengan arsitektur khas daerah masing-masing.

Tahun 1977 pemerintah berencana memindahkan Pelabuhan Laut Tapak Paderi di Kelurahan Malebro ke Pulau Baai, lalu dilakukan pengukuran luas areal yang dibutuhkan sekitar 1.200 ha, sehingga para penggarap dipindahkan ke tempat lain yang tidak termasuk areal pelabuhan (daerah RT 13, 15, 38, dan 39, serta daerah Kampung Bahari sekarang) dengan ganti rugi Rp.50.000,- per hektar. Namun akibat tidak tuntasnya proses ganti rugi yang dilakukan pihak pelabuhan (Departemen Perhubungan) pada waktu itu sedangkan penduduk telah menyerahkan tanah garapannya untuk pelabuhak, mengakibatkan konflik yang berkepanjangan antara penduduk setempat dengan pihak pelabuhan hingga saat ini.

Streotip Etnik, Arena Interaksi, dan Potensi Konflik
Kawasan Pulau Baai merupakan pemukiman yang dibuka oleh para penggarap yang berasal dari luar Bengkulu. Kedatangan penduduk ini umumnya karena alasan ekonomi seperti pedagang, dan pencari kerja sebagai nelayan yang secara psikologis dipengaruhi oleh ikatan primordial dari para pendahulu mereka yang satu daerah asal.

Aristoteles pernah berkata bahwa manusia adalah zoon politikon, yaitu makhluk sosial yang hanya menyukai hidup bergolongan atau sedikitnya mencari teman untuk hidup bersama . Kondisi ini menimbulkan suatu interaksi antarindividu dalam golongan atau kelompok tersebut. Melalui interaksi tersebut menimbulkan penilai atau anggapan antara satu individu dengan individu lain maupun antarkelompok tentang sikap dan sifat individu maupun kelompok tersebut (streotip etnik). Dengan adanya streotip etnik tersebut menjadi pedoman bagi individu maupun kelompok dalam melakukan interaksi. Sehingga dapat dikatakan bahwa interaksi dapat menimbulkan adanya streotip etnik atau adanya streotip terhadap satu kelompok ataupun individu tertentu dapat menimbulkan terjadinya interaksi.

Secara teoritis ada dua macam streotip, yaitu yang bersifat positif dan negatif. Bersifat positif biasanya jarang menjadi permasalahan yang mengemuka, sedangkan streotip negatif terdiri dari streotip superego (the superego stereotype), dan streotip id (the id stereotype). Streotip superego melihat bahwa suatu kelompok mempunyai sifat-sifat pribadi tertentu, seperti berambisi, rajin, penuh usaha, cerdas, dan tidak jujur. Di pihak lain streotip id melihat bahwa suatu kelompok cenderung berada pada lapisan bawah masyarakat, seperti tidak berambisi, malas, dan lain-lain . Pada masyarakat di kawasan Pelabuhan Pulau Baai, suku bangsa Bugis dianggap sebagai suku bangsa yang dominant baik dari segi jumlah maupun dominasi di bidang politik tingkat RW (Rukun Warga) seperti pemilihan ketua RT maupun ketua RW, dominasi di bidang ekonomi seperti penguasaan beberapa sektor usaha nelayan tradisional maupun modern, dan penguasaan di bidang proverti. Oleh karena itu ada kecendrungan untuk lebih menghormati orang Bugis dan dianggap sebagai penguasa tanah di daerah tersebut. Hal ini juga dipengaruhi faktor psikologis bahwa orang Bugis merupakan pembuka lahan pertama. Orang Bugis memandang orang Batak sebagai suku bangsa yang disatu sisi sangat kasar seperti berbicara sangat keras, senang minum-minum, dan bermain gitar hingga larut malam, dan di sisi lain adalah orang yang sangat bersahabat seperti pekerja keras, setia kawan, dermawan, dan senang menolong siapa saja walaupun beda suku bangsa dan agama. Hal ini juga dirasakan suku bangsa lainnya. Sementara orang Batak memandang orang Bugis tidak terlalu istimewa kecuali sebagai penggarap pertama. Siapa saja dianggap sama dengan adanya perasaan sesama orang rantau wajib membantu dan menghormati satu sama lain.

Orang Madura memandang orang Bugis dan Orang Lahat sebagai suku bangsa yang memiliki ambisi yang tinggi terutama dalam hal jabatan politis seperti ketua RT, dan RW. Hal ini terlihat dari beberapa jabatan ketua RT dan RW di Kelurahan Kandang umumnya dijabat Orang Bugis dan Orang Lahat. Ada kebiasaan orang Bugis dan Orang Lahat yang dianggap Orang Madura kurang baik yaitu bila terjadi keributan antara anak-anak mereka dengan anak-anak etnis lain, para orang tua bukan membantu menyelesaikan masalah malah menambah keruh suasana. Menghadapi kondisi ini Orang Madura dan Orang Batak cendrung untuk berdiam diri tidak ikut campur. Sementara etnis lainnya memandang Orang Madura sebagai etnis yang tidak terlalu berambisi terhadap kondisi sosial politik yang terjadi di daerah tersebut, dan hanya terlalu sibuk bekerja menyelam mencari teripang (holothurioidea).

Arena interaksi dapat diartikan sebagai tempat ataupun ruang publik individu, kelompok, dan masyarakat saling berinteraksi. Arena interaksi cenderung memunculkan corak interaksi yang berbeda. Arena interaksi masyarakat di Kawasan Pelabuhan Pulau Baai dapat dibedakan atas arena formal dan informal. Dalam arena interaksi formal setiap individu menanggalkan simbol-simbol kesukubangsaannya seperti penggunaan bahasa Indonesia. Hal ini tercipta karena adanya peraturan protokoler yang mengatur pola interaksi antarindividu. Suasana formal ini dapat berlangsung di instansi pemerintah, sekolah, maupun pada acara-acara tertentu yang bersifat nasional. Sedangkan arena interaksi informal tidak diatur oleh tata aturan protokoler seperti lembaga-lembaga resmi. Di arena ini setiap individu bebas menunjukkan simbol-simbol kesuku bangsaannya baik disengaja maupun tidak disengaja. Tindakan sengaja muncul bila telah terjalin suasana akrab atau mempunyai latar belakang yang relatif sama. Sedangkan yang tidak disengaja muncul pada suasana yang kurang akrab dimana setiap individu memiliki latar belakang budaya dan sosial yang berbeda, namun simbol-simbol tersebut muncul sebagai dampak dari penggunaan simbol kesukubangsaan dalam kehidupan sehari-hari di dalam keluarga. Arena yang sering berlangsung interaksi baik anak-anak muda maupun orang tua adalah warung kopi. Di arena ini tidak ada lagi pembatasan etnisitas, saling berbagi pengalaman baik mengenai pekerjaan di laut atau hal lain, minum kopi, dan main domino. Orang Batak merupakan etnis yang paling sering dan paling banyak memanfaatkan warung sebagai tempat beristirahat sambil menunggu pekerjaan lain atau untuk sekedar berbagi pengalaman dengan sesama orang Batak maupun dengan etnis lain, bahkan ada yang main gitar dan bernyanyi hingga larut malam dan tidur di kursi atau meja warung. Disamping itu arena interaksi lainnya adalah PPI (Pusat Pelelangan Ikan) dan gudang-gudang ikan tempat pembeli melakukan transaksi. Dalam proses transaksi latar belakang budaya akan memberi pengaruh antara penjual dan pembeli. Tempat-tempat arena permainan bilyard juga menjadi arena interaksi khususnya bagi para pemuda dan tidak jarang di tempat ini menjadi sumber konflik antarpemain ataupun dengan pemilik tempat. Sementara kaum ibu-ibu dan remaja putri lebih sering menghabiskan waktu mereka dengan melakukan aktivitas rumah tangga seperti mencuci dan memasak termasuk mempersiapkan bekal suami berangkat melaut.

Pada tingkat RT kegiatan arisan setiap bulan dan pengajian majelis taklim merupakan arena interaksi bagi masyarakat yang dimanfaatkan untuk saling bertukar informasi tentang pengalaman sehari-hari. Secara khusus pada Orang Bugis khususnya dan masyarakat yang berasal dari Provinsi Sulawesi Selatan telah membentuk organisasi kerukunan yang disebut KKSS (Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan) yang melakukan pertemuan setiap bulan pada tanggal 10 secara bergiliran. Organisasi lainnya juga terdapat pada Orang Batak, Minangkabau, dan Madura, namun hanya pada orang Batak yang lebih aktif karena berkaitan dengan kekerabatan dan marga. Pertemuan-pertemuan seperti ini merupakan salah satu cara untuk tetap menguatkan ikatan primordial dan memperkuat ikatan dengan daerah asal.

Pribadi maupun kelompok yang menyadari adanya perbedaan-perbedaan misalnya dalam ciri-ciri badaniah, emosi, unsur-unsur kebudayaan, pola-pola prilaku dan seterusnya – dengan pihak lain. Ciri tersebut dapat mempertajam perbedaan yang ada hingga menjadi suatu pertentangan atau pertikaian (conflict). Konflik merupakan suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang fihak lawan yang disertai dengan ancaman dan atau kekerasan. Ada beberapa penyebab terjadinya konflik, yaitu: perbedaan antara individu-individu – perbedaan pendirian dan perasaan mungkin akan melahirkan bentrokan antara mereka; perbedaan kebudayaan – perbedaan kepribadian dari orang perorangan tergantung pula dari pola-pola kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan serta perkembangan kepribadian tersebut. Seseorang secara sadar maupun tidak sadar sedikit banyaknya akan terpengaruh oleh pola-pola pemikiran dan pola-pola pendirian dari kelompoknya. Selanjutnya keadaan tersebut dapat menyebabkan terjadinya pertentangan antara kelompok; perbedaan kepentingan. Perbedaan kepentingan antarindividu maupun kelompok merupakan sumber lain dari pertentangan. Wujud kepentingan dapat bermacam-macam ada kepentingan ekonomi, politik, dan lain-lain; perubahan sosial. Perubahan sosial yang berlangsung cepat untuk sementara waktu akan mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan perubahan sosial juga akan mengakibatkan terjadinya disorganisasi pada struktur sosial. Kondisi ini sangat jelas terlihat pada masyarakat di Pulau Baai, keanekaragaman budaya, dan kepentingan merupakan potensi konflik yang bisa muncul. Perbedaan kepentingan seperti arogansi pihak PT. Pelabuhan Indonesia II Cabang Bengkulu dalam menguasai lahan garapan penduduk, tidak jarang telah menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara pihak pelabuhan dengan masyarakat penggarap.

Di sisi lain konflik dengan pihak pelabuhan telah memunculkan perasaan yang oleh Soerjono Soekanto disebut perasaan komuniti (community sentiment) yaitu adanya seperasaan, sepenanggungan, dan saling memerlukan . Dengan perasaan komuniti ini telah memunculkan konsep kami dan mereka. Kami berarti seluruh penduduk di Kawasan Pelabuhan Pulau Baai tanpa membedakan suku bangsa, agama, dan asal-usul. Sedangkan mereka ditujukan kepada orang/kelompok yang bukan kelompoknya dan mengganggu kepentingan mereka, termasuk juga pihak pelabuhan.

Mengacu pada penyebab terjadinya konflik di atas, Kawasan Pelabuhan Pulau Baai merupakan pemukiman yang sangat rawan konflik, baik antarsuku bangsa maupun dengan pihak lain. Konflik intern dapat dikendalikan dengan adanya perasaan komuniti, toleransi antarsuku bangsa dan agama, dan adanya suatu sistem ekonomi yang saling menguntungkan dan saling membutuhkan. Penghargaan antara satu etnis dengan etnis lain yang terwujud dalam saling mengunjungi dalam kegiatan suka dan duka.

Penutup
Kawasan Pelabuhan Pulau Baai merupakan daerah yang sangat potensial bagi Pemerintah Kota Bengkulu khususnya dan Pemerintah Provinsi Bengkulu umumnya. Sebagai daerah pelabuhan merupakan pintu keluar masuk berbagai komuditas dan menciptakan berbagai lapangan kerja dan kesempatan berusah. Hal ini mengundang penduduk dari berbagai daerah dan latar belakang budaya untuk mencari nafkah sekaligus menetap di daerah ini. Pada akhirnya membentuk suatu pemukiman yang cukup besar yang terdiri dari beberapa RT.

Daerah ini dapat dijadikan contoh masyarakat yang masih terjalinnya interaksi positif antarpenduduk yang sebenarnya mengandung potensi konflik yang cukup besar. Sementara konflik dengan pihak pelabuhan justru memperkuat ikatan mereka. Dengan kondisi masyarakat seperti ini adanya pengelolaan potensi konflik dari instansi pengambil kebijakan agar potensi konflik tidak muncul. Pontensi konflik dapat dikendalikan dengan memberikan pelayanan yang sama dan kesempatan di bidang ekonomi bagi setiap penduduk tanpa membedakan latar belakang budaya dan agama. Disamping itu perlu pula penegasan status hukum areal pemukiman mereka yang hingga saat ini masih berstatus tanah garapan dan merupakan pemicu terjadinya konflik dengan pihak pelabuhan.
Kepustakaan

Arios, Rois Leonard, dan Ajisman. 2003. “Etos Kerja Masyarakat Nelayan di Kecamatan Silebar Kota Bengkulu Provinsi Bengkulu”. Laporan Penelitian BKSNT Padang

Bachtiar, M. Ono. 1989. “Studi Antropologi Budaya Masyarakat Nelayan di Kotamadya Bengkulu”. Laporan Penelitian Balai Penelitian Universitas Bengkulu

Darta, Effed. 1994. “Analisis Tinjauan Ekonomi Pembangunan Pelabuhan Pulau Baai Bengkulu”. Laporan Penelitian Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu

Sanusi. 1989. “Pemukiman Sebagai Salah Satu Sarana Komunikasi Antarsuku Bangsa dan Pembauran”, dalam Interaksi Antarsuku Bangsa Dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta: Depdikbud

Soekanto, Soerjono. 1993. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: RajaGrafindo Persada

Shadily, Hasan. 1989. Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Bina Aksara

Pelly, Usman. 1989. “Hubungan Antar Kelompok Etnis, Beberapa Kerangka Teoritis dalam Kasus Kota Medan”. Dalam Interaksi Antarsuku Bangsa Dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta: Depdikbud

__________ “Masalah Batas-Batas Bangsa”. Makalah pada Widyakarya Nasional Antropologi dan Pembangunan. Hotel Indonesia Jakarta 26 – 28 Agustus 1997

Pranowo, M. Bambang, dkk. 1988. Steriotip Etnik, Asimilasi, Integrasi Sosial. Jakarta: Pustaka Grafika Kita

Widyanto, Y. Sigit, dan Triana Wulandari. 2000. Strategi Menciptakan Pembauran Pada Masyarakat Multietnik di Perumnas Kanten Palembang. Jakarta: Depdiknas