Aritonang Sites - Selamat Datang...!

Selamat Datang...Kami hadir untuk sekedar bersilahturahmi dengan siapa saja, diskusi apa saja yang positif, dan saling berbagi dalam kebahagiaan!

14 Mei 2009

Ketahanan Pangan Mentawai

Ketahanan Pangan dan Budaya Masyarakat Mentawai
Rois Leonard Arios (roisarios@yahoo.co.id)
BPSNT Padang


Pendahuluan

Permasalahan pangan dan ketahanan pangan merupakan sesuatu yang sering dibicarakan pada akhir-akhir ini. Hal ini wajar mengingat jumlah penduduk semakin tinggi sedangkan luas areal penghasil (sumber) pangan semakin sempit. Di sisi lain semakin tingginya pencitraan terhadap salah satu makanan menyebabkan diversifikasi makanan mulai hilang dan cendrung mengkonsumsi satu jenis makanan yang berlaku secara umum.

Sebagai contoh apa yang terjadi di Indonesia, tidak sedikit pemberitaan tentang adanya kelaparan yang terjadi di beberapa daerah. Kita tentu masih ingat kasus di Yahokimo Papua, di Nusa Tenggara Timur, dan bahkan daerah Mentawai termasuk daerah rawan pangan. Tetapi ada pertanyaan yang muncul, apa yang dijadikan parameter suatu masyarakat disebut rawan pangan. Secara umum diperoleh gambaran, ternyata masyarakat dianggap rawan pangan bila tidak mampu lagi mengkonsumsi beras (nasi) sehingga harus mengkonsumsi jagung atau sagu atau ubi talas atau makanan lain yang bukan sumber beras. Padahal bila kita perhatikan beberapa daerah justru pangan utama masyarakatnya bukan beras seperti jagung (di NTT) dan sagu dan talas keladi (di Papua dan Mentawai).

Mengutip tulisan Jonatan Lassa Ketahanan Pangan (food security) adalah paradoks dan lebih merupakan penemuan dunia modern. Secara prosentase, lebih banyak produsen pangan di masa lalu ketimbang masa kini; tetapi dunia hari ini lebih aman pangan ketimbang masa lalu. Paradoks ini bisa terlihat jelas di banyak negara maju, salah satunya adalah Ingggris Raya; prosentase populasi pertanian di UK tahun 1950 adalah 6 % dan terus menurun secara drastis hingga 2 % di tahun 2000, dan berdasarkan prediksi FAO (Food and Agriculture Organisation), jumlah populasi pertanian di Inggris akan terus turun menjadi 1% di tahun 2010. Sederhananya, sekitar 896,000 petani akan memberi makan sedikitnya 60 juta penduduk. Indonesia saat ini memiliki 90 juta petani (seratus kali dari Inggris) atau sekitar 45% penduduk “memberi makan” seluruh pendududuk (sekitar 230 juta orang). Tetapi fakta-fakta dari Nusa Tenggara Barat (yang kerap dikenal sebagai daerah lumbung padi) serta daerah semi arid seperti Nusa Tenggara Timur di semester pertama tahun 2005, justru menghadapi ketahanan pangan yang rapuh, terbukti dengan tingginya tingkat kekurangan pangan dan gizi buruk.

Di Indonesia jumlah konsumsi padi-padian cenderung terus meningkat, dan cenderung menjadikan beras sebagai bahan makanan pokok utama. Padahal sejak dulu makanan pokok masyarakat lokal tidak hanya padi. Berbagai bukti etno-arkeologi dan sejarah menunjukkan bahwa wilayah Indonesia bagian barat pada masa lampau menjadikan sagu dan ubi (ubi jalar, keladi dan gadung) sebagai bahan makanan pokok.

Konsep Pangan dan Ketahanan Pangan
Konsep pangan sering diartikan secara sempit. Ketika kita berbicara makanan, yang terbayang adalah makanan dari beras (nasi). Gambaran ini wajar muncul pada setiap suku bangsa sebagai dampak dari sosialisasi dan pencitraan terhadap beras yang semakin tinggi. Makan beras (nasi) dianggap sudah makan, sedangkan bila belum makan nasi dianggap belum makan.

Bila mengacu pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan PP No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Dari defenisi tersebut jelas bahwa sumber pangan sangat beragam jadi tidak bisa diartikan bersumber dari satu jenis saja.

Sedangkan ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau (Pasal 1 ayat (2) PP No. 68 tahun 2002). Konsep ini merupakan konsep yang secara resmi dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia yang disesuaikan dengan kondisi geografis, demografis, dan sosial budaya daerah setempat.

Berbicara tentang konsep ketahanan pangan secara lebih luas saya mengutip tulisan Jonatan Lassa. Pendefinisian ketahanan pangan (food security) berbeda dalam tiap konteks, waktu dan tempat. Sedikitnya ada 200 definisi ketahanan pangan (Lihat: FAO 2003 dan Maxwell 1996) dan sedikitnya ada 450 indikator ketahanan pangan (Hoddinott 1999). Istilah ketahanan pangan (food security) sebagai sebuah konsep kebijakan baru pertama kali muncul pada tahun 1974, yakni ketika dilaksanakannya konferensi pangan dunia (Sage 2002). Maxwell (1996) mencoba menelusuri perubahan-perubahan definisi tentang ketahanan pangan sejak konferensi pangan dunia 1974 hingga pertengahan decade 90an; perubahan terjadi pada level global, nasional, skala rumah tangga dan individu; dari perspektif pangan sebagai kebutuhan dasar (food first perspective) hingga pada perspektif penghidupan (livelihood perspective) dan dari indikator-indikator objektif ke persepsi yang subjektif. (Lihat: Maxwell & Frankenberger 1992). Maxwell and Slater (2003) juga turut mengevaluasi definisi ketahanan pangan sepanjang waktu dan menemukan bahwa wacana (diskursus) mengenai ketahanan pangan berubah sedemikian cepatnya dari fokus pada ketersediaan-penyediaan (supply & availability) ke perspektif hak dan akses (entitlements). Sejak tahun 1980an awal, diskursus global ketahanan pangan didominasikan oleh hak atas pangan (food entitlements), resiko dan kerentanan (vulnerability). Buku The Poverty & Famines-nya Amartya Sen (1981) dianggap sebagai salah satu pelopor utama perubahan perspektif ketahanan pangan (Maxwell &Slater, 2003; Boudreau & Dilley, 2001).

Secara umum, situasi ketahanan pangan nasional pada periode tahun 2000 - 2005 menunjukkan kecenderungan yang semakin baik. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa indikator ketahanan pangan, antara lain: (1) produksi beberapa komoditas pangan penting cenderung meningkat; (2) pergerakan harga-harga pangan lebih stabil, baik secara umum maupun pada saat menjelang hari-hari besar nasional (Puasa, Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru); (3) pendapatan masyarakat meningkat diukur dari nilai upah (baik upah buruh tani maupun upah pekerja informal di sektor industri); (4) rata-rata nilai tukar petani meningkat; (5) kualitas konsumsi masyarakat meningkat; (6) peran serta masyarakat dan pemerintah daerah meningkat, yang ditunjukkan oleh semakin beragamnya kreativitas pemerintah daerah dalam menangani ketahanan pangan, serta meningkatnya partisipasi masyarakat yang ditunjukkan dengan meningkatnya tabungan kelompok; dan (7) proporsi penduduk miskin dan rawan pangan semakin menurun. Berbagai indikasi yang terukur tersebut menunjukkan bahwa berbagai upaya dan kebijakan ketahanan pangan yang dilakukan selama ini telah memberikan dampak yang positif.

Amartya Sen berhasil menggugat kesalahan paradigma kaum Maltusian yang kerap berargumentasi bahwa ketidak-ketahanan pangan dan kelaparan (famine) adalah soal produksi dan ketersediaan semata. Sedangkan dengan mengangkat berbagai kasus di India dan Afrika, Sen mampu menunjukan bahwa ketidak-tahanan pangan dan kelaparan justru kerap terjadi karena ketiadaan akses atas pangan (entitlements failures) bahkan ketika produksi pangan berlimpah, ibarat “tikus mati di lumbung padi”. Kasus busung lapar di Nusa Tenggara Barat adalah salah satu bukti. Sedikitnya ada empat element ketahanan pangan berkelanjutan (sustainable food security) di level keluarga yang diusulkan oleh Maxwell (1996), yakni: pertama, kecukupan pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat. Kedua, akses atas pangan, yang didefinisikan sebagai hak (entitlements) untuk berproduksi, membeli atau menukarkan (exchange) pangan ataupun menerima sebagai pemberian (transfer). Ketiga ketahanan yang didefinisikan sebagai keseimbangan antara kerentanan, resiko dan jaminan pengaman sosial. Keempat: fungsi waktu manakala ketahanan pangan dapat bersifat kronis, transisi dan/atau siklus.

Dari gambaran tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ketahanan pangan dapat tercapai bila empat komponen dasar dipenuhi oleh sebuah kelompok masyarakat atau daerah. Empat komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu:
1. kecukupan ketersediaan pangan;
2. stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun.
3. aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta
4. kualitas/keamanan pangan

Pada tatanan nasional, kemandirian pangan diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduk memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman, dan halal, didasarkan pada optimasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya domestik. Salah satu indikator yang dapat mengukur kemandirian pangan adalah besaran ketergantungan impor terhadap ketersediaan pangan nasional


Ketahanan Pangan dan Budaya Mentawai

Kepulauan Mentawai terdiri dari empat pulau besar dan berpenghuni yaitu siberut, sipora, pagai utara, dan pagai selatan. Luas keempat pulau ini sekitar 7.000 km2. Setelah Indonesia merdeka dan sistem pemerintahan nasional berlaku, wilayah kepulauan Mentawai ini masuk dalam Kabupaten Padang Pariaman yang dibagi dalam 4 kecamatan yaitu Kecamatan Siberut Utara, Kecamatan Siberut Selatan, Kecamatan Sipora, dan Kecamatan Pagai Utara Selatan.. Tahun 1999, Kabupaten Padang Pariaman dimekarkan dengan terbentuknya Kabupaten Kepulauan Mentawai berdasarkan UU No. 49 tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Kepulauan Mentawai yang diperbaharui dengan UU No. 9 tahun 2000. Pada awal pembentukannya, wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai hanya terdiri dari keempat kecamatan tersebut. Saat ini sudah dimekarkan menjadi 11 kecamatan.

Penduduk kabupaten ini memiliki kebudayaan tersendiri yang sangat berbeda dengan kebudayaan Minangkabau termasuk dari segi fisik. Kebudayaan masyarakat Mentawai sudah mendapat perhatian orang-orang luar termasuk dari luar Indonesia sejak abad ke-18. Ketertarikan mereka terutama dari segi fisik yang mirip dengan orang Kepulauan Hawaii, Tahiti dan Kepulauan Polynesia yang jauh terletak di sebelah timur. Kunjungan berupa wisata maupun penelitian oleh orang-orang luar (bukan mentawai) masih tetap dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa Kebudayaan Mentawai masih dianggap “eksotik” disamping adanya program-program pendampingan dalam pembangunan Mentawai. Salah satu contoh adalah yang dilakukan oleh Yayasan Citra Mandiri yang telah menghasilkan paling tidak 5 judul buku yaitu Uma (2007), Saumanganya (2004), Saureinu’ (2004), Salappa’ (2004), dan Mongan Poula (2004).

Komoditi Kabupaten Kepulauan Mentawai datang dari sektor perikanan, perkebunan, pertanian, dan industri. Di sektor perikanan, produksi perikanan tangkap memanfaatkan lahan seluas 105.400,4 ha dengan total produksi mencapai 211.821 ton di tahun 2006. Di sektor perkebunan, terdapat kelapa sawit, dengan total produksi mencapai 137.270 ton pada tahun 2006. Kepulauan Mentawai juga mendapat pemasukan dari sektor pertanian, di tahun 2006 dihasilkan jagung dengan total produksi 118.169 ton dan total produksi untuk buah-buahan mencapai 101.997 ton.Berbagai sektor industri yang terdapat di Kabupaten Kepulauan Mentawai antara lain: industri pengalengan ikan, industri ikan beku, industri pakan ternak jagung dan industri pengolahan buah. Industri ini didukung oleh tersedianya bahan baku di kota ini.

Sejak diberlakukannya otonomi daerah, orientasi pemerintah daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai dipahami sebagai wilayah dari orang Mentawai, dan ini tampaknya mencakup seluruh kepulauan Mentawai yang terdiri dari Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan. Secara mitologi dan juga batas wilayah orang Mentawai secara kebudayaan hanya mencakup Pulau Siberut saja yang ditandai dengan ti’ti sebagai batas kewilayahan, sedangkan Pulau-pulau lainnya adalah sebagai daerah tempat bermigrasinya orang Mentawai. Tetapi kemudian sebagai batas administrasi, seluruh wilayah kepulauan Mentawai ditetapkan sebagai sebuah Kabupaten dan ini mendorong suatu pengakuan yang datang kemudian dari orang-orang Mentawai yang sudah menyebar di seluruh kepulauan tersebut menjadi wilayah orang Mentawai dan harus mengacu pada kebudayaan Mentawai. Sedangkan orang-orang yang berasal dari sukubangsa selain Mentawai dianggap sebagai pendatang, baik yang sudah dianggap orang Mentawai (sioyake) maupun yang masih tetap dianggap sebagai pendatang (sasareu).

Berbicara tentang pangan bagi masyarakat Kabupaten Kepulauan Mentawai, harus dibedakan antara masyarakat yang berlatar belakang budaya Mentawai dengan yang bukan Mentawai. Demikian juga pada masyarakat yang berlatar belakang budaya Mentawai sendiri harus pula dibedakan antara yang berada di pedalaman maupun yang sudah berdiam di daerah pantai timur. Bagi warga yang bukan Mentawai sudah tentu berbeda pangan utama yang dikonsumsi dengan yang dikonsumsi oleh orang Mentawai secara umum. Pembahasan ini akan difokuskan pada pangan utama masyarakat Mentawai, kecendrungan perubahan, dan ketahanan pangan.

Makanan pokok Orang Mentawai pada awalnya diperoleh dari hasil berburu dan meramu. Mengambil hasil dari alam dengan sedikit sentuhan dalam pengolahan, maka masyarakat sudah dapat menikmati makanan. Beberapa makanan yang penting dalam kehidupan orang Mentawai adalah sagu (Metroxylon sagu), umbi-umbian (seperti keladi), dan buah-buah (seperti pisang). Protein hewani diperoleh dari hasil berburu babi hutan maupun babi yang sudah diternakkan. Dalam hal pengolahan dan pengelolaan sumber pangan tersebut juga melibatkan status gender yang berarti bahwa kaum perempuan mempunyai lahan dan jenis pekerjaan yang berbeda dengan pekerjaan laki-laki.

Beberapa tahun terakhir ini telah terjadi kecendrungan perubahan pola makan bagi orang Mentawai. Pangan lokal seperti sagu dan keladi bukan lagi makanan utama bagi sebagian orang Mentawai. Pangan ini digantikan oleh beras yang didatangkan dari tanah tepi (daratan Sumatra – Padang). Pada sebuah Focus Group Discussion di Padang tanggal 4 september 2008 lalu tergambar bahwa telah terjadi pergeseran pandangan di kalangan masyarakat Mentawai terhadap sagu baik pengolahan maupun pengkonsumsian terutama pada masyarakat Mentawai di Siberut. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan kerawanan pangan bagi masyarakat Mentawai khususnya di Seberut. Masyarakat sudah mengalihkan lahan pohon sagu mereka dengan tanaman perkebunan seperti kakao dan pemukiman penduduk. Tanaman perkebunan ini dipicu oleh nilai ekonomi yang cukup menjanjikan dengan memperoleh uang yang dapat dibelikan berbagai kebutuhan hidup termasuk salah satunya beras. Pembelian beras ini merupakan dampak dari program raskin (beras miskin) yang masih tetap berlangsung di Kepulauan Mentawai dan sosialisasi yang dilakukan berbagai pihak termasuk media massa yang mencitrakan bahwa makan nasi dianggap lebih bergengsi.

Ketergantungan masyarakat terhadap beras merupakan ancaman serius terhadap ketahanan pangan di Kabupaten Kepulauan Mentawai khususnya di Siberut. Beras tidak diproduksi di Siberut, melainkan didatangkan dari Padang. Sedangkan transportasi Padang – Kepulauan Mentawai tidak dapat dipastikan lancar karena tergantung cuaca. Sementara bila mencetak sawah baru tidak berhasil seperti yang terjadi pada tahun 1980-an. Sekali lagi ketergantungan beras merupakan ancaman kerawan pangan.

Apakah kita memiliki potensi sumber daya pangan nonberas yang memadai jika masyarakat misalnya beralih sebagian ke pangan non beras tersebut? Pertanyaan ini saya kira sangat gampang dijawab tapi sulit untuk dilaksanakan. Kenapa gampang? Kita lihat saja potensi Kepulauan Mentawai yang sudah diberkahi dengan ribuan batang sagu dan tanaman pangan lainnya termasuk pangan sumber hewani dan terbukti sudah ratusan tahun orang Mentawai dapat eksis di Kepulauan Mentawai dengan memanfaatkan hasil alamnya.

Dengan mengutip tulisan Frans R. Siahaan , ada beberapa alasan mengapa kita harus tetap mempertahankan sagu di Siberut dan tidak menggantinya dengan beras. Pertama, hanya sedikit lahan di Siberut yang sesuai untuk tanaman padi, yaitu sekitar 7%-10% dari luas total Siberut. Lahan ini umumnya lahan gambut yang terdapat pada satuan lahan (land unit) alluvial dan marin di pesisir timur Siberut. Itu pun tidak semua tanah pada kedua satuan lahan tersebut dapat dibuat persawahan. Pada tanah Hydraquents, Tropohemists, dan Troposamments pembuatan sawah sama sekali tidak direkomendasikan. Kalaupun pada kedua satuan lahan tersebut dibuka menjadi persawahan, maka harus mengeluarkan investasi yang cukup besar untuk pembiayaan masukan teknologi berupa pengaturan tata air, pengendalian erosi, pelumpuran dan banjir, peningkatkan kesuburan tanah, dan tindakan konservasi. Karena kedua satuan lahan ini memiliki sistem drainase yang buruk, kandungan unsur hara yang miskin, serta sangat rawan terhadap erosi, pelumpuran dan banjir yang berasal dari satuan lahan di atasnya. Dengan demikian investasi pembukaan sawah dan biaya perawatan yang harus dikeluarkan untuk budidaya padi tidak sebanding dengan produksi beras yang dihasilkan. Kita harus belajar dari kasus kegagalan mega proyek penuh ambisius yang dilakukan oleh Soeharto pada pembukaan lahan sejuta hektar di lahan gambut Kalimantan Tengah, karena persoalan keterbatasan daya dukung lahan (carrying capacity) dan pembiayaan.

Kedua, tanaman sagu, kebun campuran, bakau, dan semak belukar umumnya terdapat pada satuan lahan alluvial dan marin. Ekosistem pada kedua satuan lahan ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan ekosistem lainnya yang terdapat di Siberut. Perubahan ekosistem karena ketidakcermatan dalam pembukaan lahan sawah untuk tanaman monokultur padi akan mempengaruhi ekosistem lainnya, dan pada gilirannya akan merusak karakter hidro-orologis Siberut yang memang sangat rawan. Pada akhirnya kerusakan ini bukan hanya berdampak pada manusia, flora, fauna, dan bencana alam, tetapi juga akan turut menyusutkan luasan P. Siberut dalam jangka panjang.

Ketiga, Sagu merupakan makanan pokok yang merupakan bagian dari budaya masyarakat asli Siberut yang telah diwariskan sejak turun temurun. Tidak ada budaya menamam padi bagi masyarakat asli Siberut. Kalaupun ada yang mencoba menanam padi, itu karena proyek pemerintah dan pengaruh dari para pendatang, itu pun umumnya tidak berhasil. Seorang bapak dari Salappa’ yang sudah biasa ke Padang mengatakan bahwa rasanya belumlah makan kalau belum makan sagu. Sama seperti orang Jawa yang merasa belum makan kalau belum makan nasi. Membiasakan makan nasi bagi masyarakat Siberut hanya akan membuat masyarakat sangat tergantung pada beras. Padahal kalaupun sawah dibuka, maka hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan beras masyarakat Siberut saja pun tidak mencukupi karena keterbatasan luasan lahan dan daya dukung lahan, sehingga mau tidak mau beras harus diimpor dari luar. Padahal harga beras di Siberut sangat tinggi dan daya beli masyarakat masih sangat rendah. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi kemudian jika masyarakat telah terbiasa dengan beras, sementara untuk membeli beras tidak sanggup, maka ancaman kelaparan akan terbuka lebar.


Penutup

Berbicara tentang pangan dan ketahanan pangan tidak dapat dengan mudah diubah, tergantung pada selera dan trend yang berlaku. Namun bagi masyarakat Mentawai khususnya Siberut bila ketergantungan terhadap pangan dari luar daerahnya tetap berlangsung akan sangat mengancam ketahanan pangan mereka. Karena ketersediaan beras belum tentu dapat memenuhi pangan masyarakat karena tergantung aksebilitas masyarakat (termasuk daya beli) untuk memilikinya seperti criteria ketahanan pangan di atas.

Solusi yang mungkin dapat ditawarkan adalah mencoba mengembalikan citra pangan local kepada masyarakat. Bahwa pangan local sama baiknya atau bahkan lebih tinggi kadar gizinya dari pada pangan dari luar daerahnya. Pangan local seperti sagu dapat dimodifikasi pengolahannya sehingga tidak hanya sebatas dalam bentuk makanan sagu seperti yang biasa mereka makan. Diversifikasi pangan juga harus ditingkatkan dengan memanfaatkan, mengolah, dan mengkonsumsi sumber pangan lainnya yang mungkin sudah terlupakan. Dalam hal ini peranan pemerintah daerah sangat diharapkan untuk memahami dan menanamkan konsep pangan dan ketahanan pangan bagi masyarakat di Kepulauan Mentawai.

Proses perubahan kembali selera asal memang memerlukan proses yang panjang dan lama, tapi bila tidak dilakukan ancaman kerawan pangan di Mentawai bisa menjadi kenyataan.

Daftar Pustaka

Brotoisworo, Edy. “Beberapa Aspek Ekologi Manusia di Mentawai”. Dalam Gerard Persoon dan Reimar Schefold (ed). Pulau Siberut. 1985. Jakarta: Bhratara Aksara
Flach, M. “Kemungkinan Untuk Menambah Hasil Pohon Sagu” Dalam Gerard Persoon dan Reimar Schefold (ed). Pulau Siberut. 1985. Jakarta: Bhratara Aksara
Hernawati S, Tarida. 2004. Mogan Poula: Nuansa Kebudayaan Samar-Samar. Padang: YCM
-------------------,. 2004. Saureinu’: Sesuatu Yang Hilang. Padang: YCM
-------------------,. 2004. Salappa’: Antara Alam, Kehidupan, dan Jiwa. Padang: YCM
-------------------, 2004. Saumanganya’: Mau Ke Mana?. Padang: YCM
Hidayah, Zulyani. “Ketahanan Pangan Masyarakat Mentawai:Menuju Revitalisasi Ketahanan Pangan Lokal”. Makalah pada Seminar Kebudayaan Mentawai : Menyikapi Kebudayaan Mentawai Masa lalu, Kini dan Masa Depan, tanggal 2 – 3 Mei 2007, Rocky Hotel, Padang, Sumatera Barat.
Persoon, Gerard. “Pemimpin Lokal di Siberut: Suatu Kreasi yang Belum Sempurna”. Dalam Philip Quarles van Ulford. (ed). 1988. Kepemimpinan Lokal dan Implementasi Progam. Jakarta: Gramedia.
Rudito, Bambang. “Fungsi Upacara Bebeitei Uma Pada Orang Mentawai” Makalah pada Seminar Kebudayaan Mentawai : Menyikapi Kebudayaan Mentawai Masa lalu, Kini dan Masa Depan, tanggal 2 – 3 Mei 2007, Rocky Hotel, Padang, Sumatera Barat.
Saifuddin, Ahmad Fedyani. 2006. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Sajogyo (penyunting). 1982. Ekologi Pedesaan: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Rajawali Pers.
Schefold, Reimar. “Kebudayaan Tradisional Siberut”. Dalam Gerard Persoon dan Reimar Schefold (ed). Pulau Siberut. 1985. Jakarta: Bhratara Aksara
--------------------. 1991. Mainan Bagi Roh: Kebudayaan Mentawai.. Jakarta: Balai Pustaka.
Whitten, Anthony J. dan J. Whitten. “ Tanaman Sagu dan Pengolahannya di Pulau Siberut” Dalam Gerard Persoon dan Reimar Schefold (ed). Pulau Siberut. 1985. Jakarta: Bhratara Aksara
“Mengapa Harus Beras Dan Meminggirkan Sagu?” dalam franssiahaan.blogspot.com. Diunduh Tanggal 28 September 2008.
Jonatan Lassa, “Politik Ketahanan Pangan Indonesia” 1952-2005
Kebijakan Umum Ketahanan Pangan III. “Keragaman Ketahanan Pangan Nasional Tahun 2000–2005”

Tidak ada komentar: