Aritonang Sites - Selamat Datang...!

Selamat Datang...Kami hadir untuk sekedar bersilahturahmi dengan siapa saja, diskusi apa saja yang positif, dan saling berbagi dalam kebahagiaan!

13 Mei 2009

Interaksi Antarsuku Bangsa

Interaksi Antarsuku Bangsa di Kawasan Pelabuhan Pulau Baai Bengkulu

Rois Leonard Arios (roisarios@yahoo.co.id)
BPSNT Padang

Pendahuluan
Interaksi yang terus menerus antarsuku bangsa di suatu lokasi dapat berdampak positif maupun negatif. Dampak positif terlihat dari adanya kerja sama, dan saling pengertian. Sedangkan dampak negatif dapat kita lihat beberapa kasus yang terjadi di Ambon, Poso, Aceh, dan Papua. Kasus ini muncul akibat ketidakseimbangan pelayanan sosial, paradigma keagamaan yang disalah artikan, etnosentrisme yang berlebihan dari salah satu suku bangsa terhadap suku bangsa lain sehingga menimbulkan ‘pergesekan’ pada tingkat ideologi yang bermuara pada munculnya konflik.

Secara teoritis interaksi dapat diartikan sebagai suatu kesadaran akan adanya pihak lain yang mempengaruhi perasaan seseorang sehingga memberikan suatu kesan yang nantinya akan menentukan tindakan apa yang akan dilakukannya baik positif maupun negatif. Dikaitkan dengan interaksi antarsuku bangsa, kesan yang muncul dari individu sangat dipengaruhi oleh etnosentrisme dan streotip yang terdapat dalam alam pikiran individu tersebut. Dengan pandangan demikian akan menentukan tindakan apa yang akan dilakukan atau bagaimana bertingkah laku dengan suku bangsa lain.

Interaksi muncul apabila ada kontak sosial dan komunikasi yang akan memberikan reaksi terhadap pihak yang berinteraksi . Kontak sosial adalah berlangsungnya interaksi secara langsung antarindividu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok yang saling bertemu muka, dan secara fisik saling bersentuhan (kontak fisik). Sedangkan komunikasi dapat diartikan sebagai tindakan saling berbicara baik dengan tatap muka langsung, melalui sarana komunikasi seperti telepon, maupun melalui surat. Kontak sosial yang positif akan melahirkan kerja sama dan saling pengertian. Sedangkan kontak sosial yang negatif cendrung melahirkan pertentangan (konflik).

Dalam kaitannya dengan hubungan antaretnis dalam sebuah masyarakat multicultural, ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan yaitu pertama, kelompok etnis yang dominant (super ordinate-group), dan kedua kelompok yang tidak dominant (sub ordinate-group). Pengertian dominan sendiri sangatlah relative yang dapat dilihat dari sudut kuantitatif yaitu berdasarkan jumlah nominal anggota kelompok etnis. Disamping itu dapat juga dilihat dari sudut kualitatif yang didasarkan dominasi beberapa sector seperti politik, dan ekonomi walaupun jumlah anggota kelompok etnis minoritas. Bruner mengatakan bahwa ada tiga faktor kelompok etnis disebut berstatus dominan, yaitu faktor demografis, faktor politis, dan faktor budaya lokal. Sedangkan menurut Royce ada tiga faktor yang menentukan corak hubungan antarkelompok etnis dalam suatu masyarakat majemuk, yaitu kekuasaan (power), persepsi (perception), dan tujuan (purpose). Kekuasaan merupakan faktor utama dalam menentukan situasi hubungan antaretnis tersebut, sedangkan faktor-faktor lainnya ditentukan oleh faktor utama ini. Kelompok etnis yang memegang kekuasaan disebut juga sebagai dominant group atau kelompok yang banyak menentukan ‘aturan permainan’ dalam masyarakat majemuk. Tetapi kelompok ini sangat jarang merasa sebagai salah satu dari sekian kelompok etnis masyarakat di mana mereka berada.

Pemukiman merupakan sebuah bentuk masyarakat dimana setiap anggota masyarakatnya saling berhubungan dengan yang lain. Suatu interaksi sangat erat hubungannya dengan struktur sosial masyarakat itu sendiri. Bila struktur sosial masyarakat itu telah mantap, maka interaksi antara anggota masyarakatnya akan membentuk suatu kehidupan yang harmonis. Pada masyarakat desa dengan sistem kekerabatan yang telah berakar dan hubungan anggota masyarakatnya diatur oleh struktur sosialnya, maka kehidupan di desa sangat harmonis .

Kondisi dan Sejarah Pemukiman di Kawasan Pulau Baai
Pelabuhan Pulau Baai merupakan pelabuhan laut utama bagi Provinsi Bengkulu. Secara administrative pemerintahan, daerah ini termasuk dalam Kelurahan Kandang, Kecamatan Silebar, Kota Bengkulu. Berada di bagian selatan Kota Bengkulu dengan tipologi memanjang dari arah utara ke selatan. Secara astronomis Kecamatan Silebar berada pada posisi 102° - 103° BT, dan 3° - 19° LS dengan luas kecamatan 17,33 Km2 . Sebagai daerah maritim, Kelurahan Kandang dikelilingi oleh sungai Jenggalo dan Laut Samudra Indonesia di bagian barat. Dengan demikian daerah ini menyerupai sebuah pulau yang cukup besar. Hal ini pulalah yang menyebabkan kelurahan ini termasuk Kelurahan Padang Sarai disebut sebagai kawasan Pulau Baai. Nama Pulau Baai sendiri diberikan oleh orang Jenggalo sebagai penduduk asli di daerah tersebut yang berarti pulau induk. Kelurahan Kandang berbatasan dengan Kelurahan Pagar Dewa di sebelah utara, dengan Kelurahan Padang Sarai di sebelah selatan, dengan Kelurahan Sukaramai di sebelah timur, dan dengan samudra Indonesia di sebelah barat.

Curah hujan relative besar dengan rata-rat 3684 mm pertahun dimana hampir setiap bulannya turun hujan walaupun tidak merata. Khusus bulan april 2004 berdasarkan data pada stasiun Klimatologi Pulau Baai Bengkulu tercatat curah hujan 278,0 m3/jam, sedangkan untuk bulan mei 2004 yang baru berjalan 6 hari telah mencapai 202,0 m3/jam dengan suhu rata-rata 26°C - 27°C. Angka ini menggambarkan curah hujan di Kota Bengkulu naik sampai tiga kali lipat.

Kawasan pelabuhan ini dapat dicapai dengan menggunakan angkutan umum maupun pribadi dari berbagai tempat. Dengan ibukota kecamatan berjarak ± 6 km, dari ibukota Bengkulu ± 11 km. Bila menggunakan angkutan umum harus melalui terminal Panorama atau yang lebih dikenal dengan istilah Lingkar Timur. Angkutan ini cukup tersedia setiap hari mulai pukul 05.00 – 21.00 yang melayani trayek Terminal Panorama – Pulau Baai (oleh masyarakat setempat pelabuhan disebut dengan istilah lokal). Memasuki kawasan ini, setelah melewati areal perkantoran seperti kantor Administrator Pelabuhan, Pos Polisi, Pusat Karantina, Pangkalan TNI Angkatan Laut, dan lain-lain, kita akan menemui gapura dengan tulisan di kiri dan kanan gapura “Pelabuhan Samudra Pulau Baai Bengkulu”. Selepas gapura kita akan menemui deretan warung di sepanjang jalan menuju pelabuhan lokal. Sebelah kiri merupakan kawasan pemukiman RT 13, RT 15, RT 38, dan RT 39 dalam wilayah RW 03 hingga di pangkal jembatan, sedangkan sebelah kanan adalah PPI (Pusat Pelelangan Ikan) sebagai tempat pendaratan ikan tangkapan nelayan bagan. Selepas jembatan kita akan tiba di pelabuhan yang berjarak ± 600 m dari gapura. Di sebelah kiri jalan menuju pemukiman penduduk Kampung Bahari, sebelah kanan adalah pelabuhan, sedangkan bila jalan lurus terus akan tiba di Teluk Sepang, pemukiman penduduk yang relative masih terisolir karena transportasi terbatas.

Penduduk kawasan ini berasal dari berbagai latar belakang suku bangsa yaitu Bugis, Lahat , Madura, Minangkabau, Batak, Aceh, dan Cina. Sedangkan penduduk asli Bengkulu tidak ditemui di tempat ini. Pada umumnya pekerjaan penduduk adalah nelayan modern (umumnya Orang Bugis, dan Orang Batak sebagai nelayan pukat harimau) dan tradisional (umumnya Orang Lahat, Madura, dan sebagian Bugis), pedagang warung makan atau kelontong (umumnya orang Minangkabau), pedagang ikan, supir, pegawai negeri di kantor lurah. Dengan jumlah penduduk menurut data di Kantor Kelurahan Kandang maret 2003 sebesar 15.060 jiwa yang terdiri dari 7.417 jiwa laki-laki, dan 7.632 jiwa perempuan, ditambah 7 laki-laki dan 4 perempuan warga Negara asing.

Kecamatan Silebar awalnya merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Utara. Dengan adanya pengembangan wilayah kotamadya Bengkulu dari awalnya hanya seluas 17 km2 menjadi 144,52 km2 tahun 1986. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 46 tahun 1986, maka sebagian wilayah Kecamatan Talang Empat menjadi wilayah Kotamadya Bengkulu. Desa-desa di Kecamatan
Talang Empat yang terkena pemekaran dan menjadi wilayah Kotamadya Bengkulu ketika itu adalah Desa Tanjung Agung, Desa Tanjung Jaya, Desa Semarang, Desa Mentiring, dan Desa Surabaya. Seluruh desa ini dimasukkan dalam satu wilayah kecamatan baru yaitu Kecamatan Gading Cempaka. Sedangkan desa-desa lainnya di wilayah Kecamatan Talang Empat yang masuk ke wilayah Kotamadya Bengkulu, yaitu Desa Pagar Dewa, Desa Kandang, Desa Padang Sarai, Desa Pekan Sabtu, dan Desa Sukaramai, ditambah dengan satu desa dari Kecamatan Seluma Kabupaten Bengkulu Selatan yaitu Desa Bentungan, dimasukkan dalam satu kecamatan baru yaitu Kecamatan Selebar.

Sebelum bernama Kecamatan Selebar, wilayah ini merupakan sebuah kecamatan perwakilan dari Kecamatan Perwakilan Pagar Dewa dan masih bagian dari wilayah Kabupaten Bengkulu Utara. Pada bulan juli 1987 wilayah kecamatan ini menjadi kecamatan defenitif dengan nama Kecamatan Selebar dan masuk dalam wilayah Kotamadya Bengkulu (sekarang berbentuk Kota). Proses penetapan nama kecamatan menjadi Kecamatan Selebar merupakan hasil kesepakatan berbagai pihak. Nama Selebar diusulkan oleh para kepala desa kepada DPRD tingkat II Bengkulu untuk mendapat pengesahan. Dalam musyawarah DPRD tingkat II Bengkulu tahun 1987 diajukan dua calon nama kecamatan yaitu Muara Dua dan Selebar. Dengan pertimbangan fakta sejarah bahwa di wilayah Desa Kandang (sekarang Kelurahan Kandang) dan Pulau Baai dulunya pernah berdiri sebuah kerajaan yaitu Kerajaan Selebar yang menentang penjajah Belanda dan Inggris, maka disepakatilah nama Selebar menjadi nama kecamatan tersebut. Disamping itu Desa Kandang ketika masa pemerintahan Kerajaan Selebar juga menjadi markas Maskapai Dagang Belanda (VOC) pada tahun 1720.

Jauh sebelum Kecamatan Silebar defenitif, tahun 1971 kawasan Pulau Baai saat ini masih berbentuk hutan sekunder, sebagian besar masih rawa-rawa, penuh dengan pohon-pohon besar, binatang buas seperti babi hutan, beruang, macan, dan belum ada penduduknya. Secara administrative pemerintahan waktu itu, daerah ini merupakan wilayah marga Porwatin Dua Belas Kabupaten Bengkulu Utara dengan pusat pemerintahan di Dusun Kandang (sekarang Kelurahan Kandang). Ketika itu pemukiman penduduk hanya sebatas sekitar kantor lurah sekarang, jalan dari dan ke Kota Bengkulu masih aspal kasar serta angkutan umum sangat terbatas hanya hingga pukul 18.00. Terbukanya kawasan ini merupakan hasil rintisan rombongan Pak Laode yang berjumlah 21 orang pada tahun 1972. Pada tahun 1971, Pak Laode mendapat informasi dari Pak Amin Malinta (Kepala PMD Provinsi Bengkulu saat itu) bahwa ada daerah yang masih tertutup tanpa pemilik dan bagus untuk dijadikan sawah. Lalu Pak Laode mengumpulkan teman-temannya sesama Orang Bugis di Palembang dan Bengkulu, serta orang Bengkulu hingga berjumlah 21 orang untuk meninjau lokasi yang dimaksud serta menentukan batas-batas areal garapan. Pada tahun 1972 areal tersebut mulai digarap yaitu areal yang menjadi tempat pelabuhan berdiri sekarang ini. Awalnya areal ini dikenal dengan nama Teluk Belanak. Hingga tahun 1978 seluruh rumah masih berbentuk panggung dengan arsitektur khas daerah masing-masing.

Tahun 1977 pemerintah berencana memindahkan Pelabuhan Laut Tapak Paderi di Kelurahan Malebro ke Pulau Baai, lalu dilakukan pengukuran luas areal yang dibutuhkan sekitar 1.200 ha, sehingga para penggarap dipindahkan ke tempat lain yang tidak termasuk areal pelabuhan (daerah RT 13, 15, 38, dan 39, serta daerah Kampung Bahari sekarang) dengan ganti rugi Rp.50.000,- per hektar. Namun akibat tidak tuntasnya proses ganti rugi yang dilakukan pihak pelabuhan (Departemen Perhubungan) pada waktu itu sedangkan penduduk telah menyerahkan tanah garapannya untuk pelabuhak, mengakibatkan konflik yang berkepanjangan antara penduduk setempat dengan pihak pelabuhan hingga saat ini.

Streotip Etnik, Arena Interaksi, dan Potensi Konflik
Kawasan Pulau Baai merupakan pemukiman yang dibuka oleh para penggarap yang berasal dari luar Bengkulu. Kedatangan penduduk ini umumnya karena alasan ekonomi seperti pedagang, dan pencari kerja sebagai nelayan yang secara psikologis dipengaruhi oleh ikatan primordial dari para pendahulu mereka yang satu daerah asal.

Aristoteles pernah berkata bahwa manusia adalah zoon politikon, yaitu makhluk sosial yang hanya menyukai hidup bergolongan atau sedikitnya mencari teman untuk hidup bersama . Kondisi ini menimbulkan suatu interaksi antarindividu dalam golongan atau kelompok tersebut. Melalui interaksi tersebut menimbulkan penilai atau anggapan antara satu individu dengan individu lain maupun antarkelompok tentang sikap dan sifat individu maupun kelompok tersebut (streotip etnik). Dengan adanya streotip etnik tersebut menjadi pedoman bagi individu maupun kelompok dalam melakukan interaksi. Sehingga dapat dikatakan bahwa interaksi dapat menimbulkan adanya streotip etnik atau adanya streotip terhadap satu kelompok ataupun individu tertentu dapat menimbulkan terjadinya interaksi.

Secara teoritis ada dua macam streotip, yaitu yang bersifat positif dan negatif. Bersifat positif biasanya jarang menjadi permasalahan yang mengemuka, sedangkan streotip negatif terdiri dari streotip superego (the superego stereotype), dan streotip id (the id stereotype). Streotip superego melihat bahwa suatu kelompok mempunyai sifat-sifat pribadi tertentu, seperti berambisi, rajin, penuh usaha, cerdas, dan tidak jujur. Di pihak lain streotip id melihat bahwa suatu kelompok cenderung berada pada lapisan bawah masyarakat, seperti tidak berambisi, malas, dan lain-lain . Pada masyarakat di kawasan Pelabuhan Pulau Baai, suku bangsa Bugis dianggap sebagai suku bangsa yang dominant baik dari segi jumlah maupun dominasi di bidang politik tingkat RW (Rukun Warga) seperti pemilihan ketua RT maupun ketua RW, dominasi di bidang ekonomi seperti penguasaan beberapa sektor usaha nelayan tradisional maupun modern, dan penguasaan di bidang proverti. Oleh karena itu ada kecendrungan untuk lebih menghormati orang Bugis dan dianggap sebagai penguasa tanah di daerah tersebut. Hal ini juga dipengaruhi faktor psikologis bahwa orang Bugis merupakan pembuka lahan pertama. Orang Bugis memandang orang Batak sebagai suku bangsa yang disatu sisi sangat kasar seperti berbicara sangat keras, senang minum-minum, dan bermain gitar hingga larut malam, dan di sisi lain adalah orang yang sangat bersahabat seperti pekerja keras, setia kawan, dermawan, dan senang menolong siapa saja walaupun beda suku bangsa dan agama. Hal ini juga dirasakan suku bangsa lainnya. Sementara orang Batak memandang orang Bugis tidak terlalu istimewa kecuali sebagai penggarap pertama. Siapa saja dianggap sama dengan adanya perasaan sesama orang rantau wajib membantu dan menghormati satu sama lain.

Orang Madura memandang orang Bugis dan Orang Lahat sebagai suku bangsa yang memiliki ambisi yang tinggi terutama dalam hal jabatan politis seperti ketua RT, dan RW. Hal ini terlihat dari beberapa jabatan ketua RT dan RW di Kelurahan Kandang umumnya dijabat Orang Bugis dan Orang Lahat. Ada kebiasaan orang Bugis dan Orang Lahat yang dianggap Orang Madura kurang baik yaitu bila terjadi keributan antara anak-anak mereka dengan anak-anak etnis lain, para orang tua bukan membantu menyelesaikan masalah malah menambah keruh suasana. Menghadapi kondisi ini Orang Madura dan Orang Batak cendrung untuk berdiam diri tidak ikut campur. Sementara etnis lainnya memandang Orang Madura sebagai etnis yang tidak terlalu berambisi terhadap kondisi sosial politik yang terjadi di daerah tersebut, dan hanya terlalu sibuk bekerja menyelam mencari teripang (holothurioidea).

Arena interaksi dapat diartikan sebagai tempat ataupun ruang publik individu, kelompok, dan masyarakat saling berinteraksi. Arena interaksi cenderung memunculkan corak interaksi yang berbeda. Arena interaksi masyarakat di Kawasan Pelabuhan Pulau Baai dapat dibedakan atas arena formal dan informal. Dalam arena interaksi formal setiap individu menanggalkan simbol-simbol kesukubangsaannya seperti penggunaan bahasa Indonesia. Hal ini tercipta karena adanya peraturan protokoler yang mengatur pola interaksi antarindividu. Suasana formal ini dapat berlangsung di instansi pemerintah, sekolah, maupun pada acara-acara tertentu yang bersifat nasional. Sedangkan arena interaksi informal tidak diatur oleh tata aturan protokoler seperti lembaga-lembaga resmi. Di arena ini setiap individu bebas menunjukkan simbol-simbol kesuku bangsaannya baik disengaja maupun tidak disengaja. Tindakan sengaja muncul bila telah terjalin suasana akrab atau mempunyai latar belakang yang relatif sama. Sedangkan yang tidak disengaja muncul pada suasana yang kurang akrab dimana setiap individu memiliki latar belakang budaya dan sosial yang berbeda, namun simbol-simbol tersebut muncul sebagai dampak dari penggunaan simbol kesukubangsaan dalam kehidupan sehari-hari di dalam keluarga. Arena yang sering berlangsung interaksi baik anak-anak muda maupun orang tua adalah warung kopi. Di arena ini tidak ada lagi pembatasan etnisitas, saling berbagi pengalaman baik mengenai pekerjaan di laut atau hal lain, minum kopi, dan main domino. Orang Batak merupakan etnis yang paling sering dan paling banyak memanfaatkan warung sebagai tempat beristirahat sambil menunggu pekerjaan lain atau untuk sekedar berbagi pengalaman dengan sesama orang Batak maupun dengan etnis lain, bahkan ada yang main gitar dan bernyanyi hingga larut malam dan tidur di kursi atau meja warung. Disamping itu arena interaksi lainnya adalah PPI (Pusat Pelelangan Ikan) dan gudang-gudang ikan tempat pembeli melakukan transaksi. Dalam proses transaksi latar belakang budaya akan memberi pengaruh antara penjual dan pembeli. Tempat-tempat arena permainan bilyard juga menjadi arena interaksi khususnya bagi para pemuda dan tidak jarang di tempat ini menjadi sumber konflik antarpemain ataupun dengan pemilik tempat. Sementara kaum ibu-ibu dan remaja putri lebih sering menghabiskan waktu mereka dengan melakukan aktivitas rumah tangga seperti mencuci dan memasak termasuk mempersiapkan bekal suami berangkat melaut.

Pada tingkat RT kegiatan arisan setiap bulan dan pengajian majelis taklim merupakan arena interaksi bagi masyarakat yang dimanfaatkan untuk saling bertukar informasi tentang pengalaman sehari-hari. Secara khusus pada Orang Bugis khususnya dan masyarakat yang berasal dari Provinsi Sulawesi Selatan telah membentuk organisasi kerukunan yang disebut KKSS (Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan) yang melakukan pertemuan setiap bulan pada tanggal 10 secara bergiliran. Organisasi lainnya juga terdapat pada Orang Batak, Minangkabau, dan Madura, namun hanya pada orang Batak yang lebih aktif karena berkaitan dengan kekerabatan dan marga. Pertemuan-pertemuan seperti ini merupakan salah satu cara untuk tetap menguatkan ikatan primordial dan memperkuat ikatan dengan daerah asal.

Pribadi maupun kelompok yang menyadari adanya perbedaan-perbedaan misalnya dalam ciri-ciri badaniah, emosi, unsur-unsur kebudayaan, pola-pola prilaku dan seterusnya – dengan pihak lain. Ciri tersebut dapat mempertajam perbedaan yang ada hingga menjadi suatu pertentangan atau pertikaian (conflict). Konflik merupakan suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang fihak lawan yang disertai dengan ancaman dan atau kekerasan. Ada beberapa penyebab terjadinya konflik, yaitu: perbedaan antara individu-individu – perbedaan pendirian dan perasaan mungkin akan melahirkan bentrokan antara mereka; perbedaan kebudayaan – perbedaan kepribadian dari orang perorangan tergantung pula dari pola-pola kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan serta perkembangan kepribadian tersebut. Seseorang secara sadar maupun tidak sadar sedikit banyaknya akan terpengaruh oleh pola-pola pemikiran dan pola-pola pendirian dari kelompoknya. Selanjutnya keadaan tersebut dapat menyebabkan terjadinya pertentangan antara kelompok; perbedaan kepentingan. Perbedaan kepentingan antarindividu maupun kelompok merupakan sumber lain dari pertentangan. Wujud kepentingan dapat bermacam-macam ada kepentingan ekonomi, politik, dan lain-lain; perubahan sosial. Perubahan sosial yang berlangsung cepat untuk sementara waktu akan mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan perubahan sosial juga akan mengakibatkan terjadinya disorganisasi pada struktur sosial. Kondisi ini sangat jelas terlihat pada masyarakat di Pulau Baai, keanekaragaman budaya, dan kepentingan merupakan potensi konflik yang bisa muncul. Perbedaan kepentingan seperti arogansi pihak PT. Pelabuhan Indonesia II Cabang Bengkulu dalam menguasai lahan garapan penduduk, tidak jarang telah menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara pihak pelabuhan dengan masyarakat penggarap.

Di sisi lain konflik dengan pihak pelabuhan telah memunculkan perasaan yang oleh Soerjono Soekanto disebut perasaan komuniti (community sentiment) yaitu adanya seperasaan, sepenanggungan, dan saling memerlukan . Dengan perasaan komuniti ini telah memunculkan konsep kami dan mereka. Kami berarti seluruh penduduk di Kawasan Pelabuhan Pulau Baai tanpa membedakan suku bangsa, agama, dan asal-usul. Sedangkan mereka ditujukan kepada orang/kelompok yang bukan kelompoknya dan mengganggu kepentingan mereka, termasuk juga pihak pelabuhan.

Mengacu pada penyebab terjadinya konflik di atas, Kawasan Pelabuhan Pulau Baai merupakan pemukiman yang sangat rawan konflik, baik antarsuku bangsa maupun dengan pihak lain. Konflik intern dapat dikendalikan dengan adanya perasaan komuniti, toleransi antarsuku bangsa dan agama, dan adanya suatu sistem ekonomi yang saling menguntungkan dan saling membutuhkan. Penghargaan antara satu etnis dengan etnis lain yang terwujud dalam saling mengunjungi dalam kegiatan suka dan duka.

Penutup
Kawasan Pelabuhan Pulau Baai merupakan daerah yang sangat potensial bagi Pemerintah Kota Bengkulu khususnya dan Pemerintah Provinsi Bengkulu umumnya. Sebagai daerah pelabuhan merupakan pintu keluar masuk berbagai komuditas dan menciptakan berbagai lapangan kerja dan kesempatan berusah. Hal ini mengundang penduduk dari berbagai daerah dan latar belakang budaya untuk mencari nafkah sekaligus menetap di daerah ini. Pada akhirnya membentuk suatu pemukiman yang cukup besar yang terdiri dari beberapa RT.

Daerah ini dapat dijadikan contoh masyarakat yang masih terjalinnya interaksi positif antarpenduduk yang sebenarnya mengandung potensi konflik yang cukup besar. Sementara konflik dengan pihak pelabuhan justru memperkuat ikatan mereka. Dengan kondisi masyarakat seperti ini adanya pengelolaan potensi konflik dari instansi pengambil kebijakan agar potensi konflik tidak muncul. Pontensi konflik dapat dikendalikan dengan memberikan pelayanan yang sama dan kesempatan di bidang ekonomi bagi setiap penduduk tanpa membedakan latar belakang budaya dan agama. Disamping itu perlu pula penegasan status hukum areal pemukiman mereka yang hingga saat ini masih berstatus tanah garapan dan merupakan pemicu terjadinya konflik dengan pihak pelabuhan.
Kepustakaan

Arios, Rois Leonard, dan Ajisman. 2003. “Etos Kerja Masyarakat Nelayan di Kecamatan Silebar Kota Bengkulu Provinsi Bengkulu”. Laporan Penelitian BKSNT Padang

Bachtiar, M. Ono. 1989. “Studi Antropologi Budaya Masyarakat Nelayan di Kotamadya Bengkulu”. Laporan Penelitian Balai Penelitian Universitas Bengkulu

Darta, Effed. 1994. “Analisis Tinjauan Ekonomi Pembangunan Pelabuhan Pulau Baai Bengkulu”. Laporan Penelitian Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu

Sanusi. 1989. “Pemukiman Sebagai Salah Satu Sarana Komunikasi Antarsuku Bangsa dan Pembauran”, dalam Interaksi Antarsuku Bangsa Dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta: Depdikbud

Soekanto, Soerjono. 1993. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: RajaGrafindo Persada

Shadily, Hasan. 1989. Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Bina Aksara

Pelly, Usman. 1989. “Hubungan Antar Kelompok Etnis, Beberapa Kerangka Teoritis dalam Kasus Kota Medan”. Dalam Interaksi Antarsuku Bangsa Dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta: Depdikbud

__________ “Masalah Batas-Batas Bangsa”. Makalah pada Widyakarya Nasional Antropologi dan Pembangunan. Hotel Indonesia Jakarta 26 – 28 Agustus 1997

Pranowo, M. Bambang, dkk. 1988. Steriotip Etnik, Asimilasi, Integrasi Sosial. Jakarta: Pustaka Grafika Kita

Widyanto, Y. Sigit, dan Triana Wulandari. 2000. Strategi Menciptakan Pembauran Pada Masyarakat Multietnik di Perumnas Kanten Palembang. Jakarta: Depdiknas

Tidak ada komentar: