Aritonang Sites - Selamat Datang...!

Selamat Datang...Kami hadir untuk sekedar bersilahturahmi dengan siapa saja, diskusi apa saja yang positif, dan saling berbagi dalam kebahagiaan!

13 Mei 2009

Kutai: Sistem Pemerintahan Tradisional Rejang

Kutai : Eksistensi Sistem Pemerintahan Tradisional di Era Otonomi Daerah
Rois Leonard Arios (roisarios@yahoo.co.id)
BPSNT Padang

Pendahuluan
Otonomi daerah yang digulirkan dengan keluarnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan keluarnya UU No. 32 tahun 2004 telah mengubah paradigma birokrat tentang sistem pemerintahan sentralistrik yang cendrung « Top – Down » sejak berlakunya UU No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Undang-undang baru ini memungkinkan setiap daerah untuk menggali dan menfaatkan potensi budaya daerah masing-masing termasuk dalam sistem pemerintahan. Hal ini ditegaskan dalam UU No. 32 tahun 2004 Bab I Pasal 2 ayat (9) bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebuah bangsa dan negara tidak terlepas dari sistem nilai budaya atau adat istiadat masing-masing pendukung kebudayaannya terutama bangsa Indonesia yang kaya akan suku bangsa dan budaya. Kontjaraningrat (1986:190) merumuskan bahwa nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Karena nilai-nilai budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat tadi.

Dengan adanya sistem nilai budaya, setiap warga dari suatu suku bangsa telah memiliki norma. Norma ini muncul dari hasil kesepakatan antarwarga yang disadari atau tidak disadari. Pada tingkat yang lebih kompleks dibentuk suatu lembaga adat dengan beberapa orang yang bertugas sebagai pengayom pelaksanaan adat tersebut baik yang bersifat permanen maupun tentatif. Lembaga adat yang terbentuk dalam suatu suku bangsa merupakan bagian dari organisasi sosial. Dalam konsep antopologi, organisasi sosial antara lain terdiri dari sistem kekerabatan dan organisasi politik. Haviland (1988:160-163) menggabarkan organisasi politik dari tingkat yang paling sederhana hingga yang paling kompleks. Disebutkan bahwa organisasi politik merupakan sarana untuk memelihara tertib sosial dan mengurangi kesimpangsiuran. Organisasi politik tersebut terbagi dalam empat kategori, yaitu: 1) kelompok tidak menetap (band), 2) suku (tribe), 3) masyarakat berpemimpin (chiefdom), dan negara. Band dan tribe dikelompokkan pada sistem politik yang tidak berpusat, sedangkan chiefdom dan negara dikelompokkan pada sistem politik yang berpusat. Khusus organisasi kesukuan mempersatukan sejumlah gerombolan atau unit sosial lain karena adanya faktor-faktor yang meliputi seluruh suku itu, seperti persatuan antarkelompok kekerabatan seperti klen yang mempersatukan orang-orang dari gerombolan atau komunitas, atau kelompok umur, atau asosiasi yang terpisah-pisah dan yang menembus garis kekerabatan dan batas-batas daerah. Keputusan kelompok biasanya diambil atas dasar mufakat, di mana orang yang paling berpengaruh biasanya memikul tanggung jawab yang lebih besar atas keputusannya dari pada orang-orang lain. Dalam banyak masyarakat kesukuan, unit organisasi dan pemegang kekuasaan adalah klen yaitu asosiasi orang-orang yang menganggap dirinya keturuan dari leluhur yang sama. Di dalam klen, para sesepuh/kepala bertanggung jawab atas pengaturan urusan para anggotanya dan mewakili klen dalam hubungan dengan klen lain. Sebagai kelompok, para sesepuh dari semua klen dapat merupakan sebuah dewan yang mengambil tindakan di dalam suku atau atas nama suku dalma hubungan dengan pihak luar.

Dengan penjelasan Haviland tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam sistem pemerintahan tradisional, umumnya lebih mengutamakan hubungan atau kedekatan pribadi (personalized relationship). Pemimpin melakukan kontak langsung dengan para warganya. Demikian pula dalam pengambilan keputusan adat dan pembuatan ketentuan adat lebih diutamakan kesepakatan bersama, yang dengan demikian para warga akan mematuhi ketentuan adat yang telah disepakati bersama. Penghormatan pemimpin didasarkan karisma serta kemampuan yang dimiliki. Kondisi digambarkan oleh Abegg (dalam Setyanto, 2001:78 – 79) dengan melihat kondisi di wilayah Bengkulu, bahwa hubungan antara kepala pribumi atau kepala adat dengan anak buahnya (rakyatnya) sangat akrab, penuh persaudaraan, saling menghormati, dan hubungan kemasyarakatannya diatur melalui lembaga adat yang telah berlaku secara turun temurun. Pelayanan terhadap kepala dilakuka oleh anak buah atas dasar kesetiaan dan suka rela. Kesetiaan yang dilakukan oleh anak buah terhadap kepalanya antara lain menyambut kedatangannya di dusun, menyediakan makanan, dan peralatan dalam perjalanan keliling atau dalam kesempatan pesta, menyebarkan undangan pesta perkawinannya, memenuhi undangannya, membatu mengolah ladangnya, membantu membangun rumahnya, serta membantu sejumlah pekerjaan kecil lainnya.

Sebagai sebuah lembaga adat tidak terlepas dari kepemimpinan seorang pemimpin karena kepemimpinan merupakan suatu proses interaksi antara pemimpin dengan anggota-anggota lain dalam kelompoknya. Dalam struktur sosial seorang pemimpin umumnya menduduki posisi yang menjadi titik penentu (local point) pembuat keputusan. Untuk melihat posisi pemimpin tradisional dalam kehidupan masyarakat, Max Weber (dalam Tatik Kartikasari dan Binsar Manulang, 1997: 3 – 4) membedakan atas kekuasaan tradisional yang tuntutan keabsahannya didasarkan suatu kepercayaan yang telah ada (estabished) pada kesucian tradisi yang amat kuno; kekuasaan yang rasional atau berdasarkan hukum (legal) yang didasarkan pada kepercayaan-kepercayaan terhadap peraturan-peraturan untuk mengeluarkan perintah-perintah; kekuasaan karismatik atau pribadi yang didapatkan dari pengabdian diri terhadap kesucian, kepahlawanan tertentu atau sifat yang patut dicontoh dari seseorang dan dari corak-corak tata tertib yang diperlihatkan olehnya.

Tidak sedikit sistem pemerintahan tradisional yang pernah atau masih bertahan di Indonesia. Umumnya kekuasaan diperoleh dengan pewarisan, adanya keyakinan yang dimantapkan oleh kesucian tradisi yang diterima, dan adanya hubungan darah baik secara affinal maupun consanguinal. Sebagai gambaran dapat dilihat pada suku bangsa Batak Toba. Masyarakat Batak Toba mengenal konsep bius sebagai prinsip teritorial dan hukum adat. Situmorang (2004:57) menggambarkan bahwa dalam sistem bius, prinsip territorial sangat diutamakan. Prinsip territorial membawahi hubungan darah, walaupun tidak melenyapkannya secara mutlak. Paham bius adalah sebuah ideologi territorial yang mencakup kesadaran patrilineal/kesadaran sedarah keturunan dari marga-marga konstituennya.

Di samping konsep bius tersebut, orang Batak Toba juga mengenal konsep huta sebagai lembaga adat dan kekuasaan. Dalam Situmorang (2004:486) disebutkan bahwa huta secara harafiah berarti “kota” atau “kuta”, yaitu pemukiman berupa benteng bertembok, selalu berbentuk bujur sangkar, rata-rata berukuran lima puluh kali tujuh puluh meter persegi. Huta adalah milik pendirinya dan secara turun temurun diperintah oleh keturunannya secara patrilineal sebagai tingkat pemerintahan bius yang terbawah.

Konsep-konsep tersebut di atas merupakan salah satu contoh aplikasi nilai-nilai budaya daerah dalam struktur pemerintahan tradisional di Indonesia sebelum berlakunya penyeragaman sistem pemerintahan daerah dan pemerintahan desa/kelurahan. Bagaimana halnya dengan Bengkulu? Umumnya masyarakat secara nasional maupun di daerah Bengkulu tahu dan menganggap bahwa sistem pemerintahan tradisional yang pernah berlaku di Bengkulu adalah sistem Marga dengan kepalanya disebut Pasirah. Secara umum pula hal ini bisa diterima dan dianggap benar, karena sistem marga sudah popular dan begitu mengakar di setiap daerah. Secara khusus, dengan tidak menyangkal keberadaan marga tersebut, tulisan ini mencoba mendiskusikan keberadaan kutai pada masyarakat Rejang pada masa lalu dan masa sekarang.


Sejarah Pembentukan Provinsi Bengkulu
Bila kita mencoba kembali melirik sejarah terbentuknya Provinsi Bengkulu, secara garis besar dapat dibagi dalam enam periode , yaitu:
1. Periode I, sebelum tahun 1685 daerah Bengkulu di bawah pengaruh atau mengadakan kontak dagang kesultanan Banten;
2. Periode II, tahun 1685 – 1824 daerah Bengkulu di bawah kekuasaan pemerintah Inggris sebagai daerah jajahan;
3. Periode III, tahun 1824 – 1942 daerah Bengkulu di bawah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda sebagai daerah jajahan kolonial Belanda;
4. Periode IV, tahun 1942 – 1945 daerah Bengkulu di bawah kekuasaan Jepang;
5. Periode V, tahun 1945 – 1968 daerah Bengkulu telah menjadi bagian wilayah Provinsi Sumatera Selatan;
6. Periode VI, tahun 1968 kerisedenan Bengkulu melepaskan diri dari wilayan Sumatera Selatan dan menjadi daerah Tk.I Bengkulu.

Pada tahun 1967 dengan berlakunya UU No. 9 tahun 1967 yang direalisasikan dengan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1968, maka sejak tanggal 18 November 1968 Keresidenan Bengkulu diresmikan menjadi Provinsi Bengkulu dengan ibukota Bengkulu. Sebelum menjadi ibukota provinsi, Bengkulu merupakan kota kecil di bawah pemerintahan Sumatera Selatan dengan luas 17,6 km2 sesuai dengan UU No. 6 tahun 1956. Selanjutnya kota kecil tersebut merubah menjadi Kota Praja yang meliputi 4 wilayah kedatukan dengan membawahi 28 kepemangkuan sesuai dengan UU No. 1 tahun 1957 .

Hingga tahun 1980, sistem pemerintahan terutama pada tingkat terendah masih menggunakan sistem pemerintahan tradisional (marga) dengan 4 wilayah kedatukan (marga). Dengan keluarnya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, maka Kota Praja Bengkulu berubah menjadi Kotamadya Bengkulu. Lima tahun kemudian keluar UU No. 5 tahun 1979 yang mengatur sistem pemerintahan desa dan kelurahan, yang dengan sendirinya sistem marga dan pemangku tidak berlaku lagi di Bengkulu diganti dengan sistem pemerintah desa atau kelurahan.

Sistem Pemerintahan Tradisional Bengkulu

Berbicara tentang sistem pemerintahan tradisional Bengkulu tidak terlepas dari eksistensi suku bangsa Rejang (Orang Rejang) di Bengkulu. Rejang merupakan suku bangsa yang terbesar dan dianggap paling awal mendiami wilayah Bengkulu, serta telah memiliki tulisan sendiri yang disebut dengan aksara Rencong atau aksara KaGaNga.. Mengacu pada Naskah Tembo Rejang Empat Petulai disebutkan:
Bangsa Redjang ini ialah satoe bangsa jang mendiami onderafdeeling Lebong, Redjang, Lais, sebahagian onderafdeeling Bengkoelen, onderafdeeling Tebing Tinggi, Rawas, dan sebahagian dari onderafdeeling Moesi Oeloe dan jang ± 150.000 djiwa banjaknya.

Menurut sejarahnya ketika daerah Lebong masih bernama Renah Sekalawi atau Pinang Belapis, Palembang masih bernama Selebar Daun, dan Bengkulu masih bernama Limau Manis atau Sungai Serut, suku bangsa Rejang masing-masing dipimpin oleh seorang Ajai yang berasal dari 4 petulai. Ajai inilah yang memimpin mereka dalam setiap kegiatan menyangkut kepentingan bersama, dalam mempertahankan diri terhadap gangguan dari luar, dalam menghindarkan diri dari bencana yang datang dari orang-orang halus, dan dalam menjamin berlakunya adat istiadat mereka (Sidik, 1980: 32).
Para ajai yang pernah memimpin tersebut adalah:
1. Ajai Bitang, yang memimpin di daerah Pelabai;
2. Ajai Begelam Mato, yang memimpin di daerahKutei Bolek Tebo;
3. Ajai Siang, yang memimpin di daerah Siang Lakat;
4. Ajai Tiea Keteko, yang memimpin di daerah Bandar Agung

Pada masa ajai inilah datang 4 orang biku dari kerajaan Majapahit ke Ranah Sekalawi. Mereka adalah Biku Sepanjang Jiwo, Biku Bembo, Biku Bejenggo, dan Biku Bermano. Keempat biku ini diterima dengan baik oleh para ajai dan masyarakat karena kearifan dan kesaktian mereka. Kemudian para biku diangkat oleh keempat ajai dengan persetujuan rakyat untuk menggantikan para ajai untuk memimpin mereka. Biku Sepanjang Jiwo menggantikan Ajai Bitang dan berkedudukan di Pelabai; Biku Bembo menggantikan Ajai Siang yang berkedudukan Sukanegeri dekat Tapus sekarang; Biku Bejenggo menggantikan Ajai Bagelam Mato yang berkedudukan di Batu Lebar dekat Anggung Rejang di Kesambe sekarang; dan Biku Bermano menggantikan Ajai Tiea Keteko yang berkedudukan di Kutei Rukam dekat Tes sekarang.

Pada perkembangan selanjutnya, masing-masing biku diberikan nama petulai yang diwariskan turun temurun secara patrilineal. Nama-nama tersebut adalah:
1. Petulai Biku Sepanjang Jiwo diberi nama Tubeui (dari kata berubeui-ubeui = berduyun-duyun);
2. Petulai Biku Bembo diberi nama Jurukalang (dari kata kalang = galang);
3. Petulai Bejenggo diberi nama Selupuei (dari kata berupeui-upeui = bertumpuk-tumpuk);
4. Petulai Bermano diberi nama Bermani.

Dengan telah diberikannya masing-masing petulai kepada keempat biku tersebut, maka setiap masyarakat dikelompokkan dalam setiap petulai berdasarkan hubungan darah dan dipimpin oleh masing-masing petulainya. Peristiwa ini juga ditandai dengan disepakatinya penggantian nama Renah Sekalawi menjadi Lebong yang menurut sejarah berasal dari peristiwa berkumpulnya keempat biku di satu tempat untuk menebang pohon Binuang Sakti yang dihuni oleh seekor kera. Ketika mereka berkumpul Biku Bermano berkata “pio bah kumu telebong” (disini kiranya saudara berkumpul). Sehingga Lebong diartikan sebagai tempat berkumpul. Menurut perkiraan A. Sidik (1980) peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1377 ketika Sriwijaya mulai runtuh.

Menurut beberapa informasi yang diperoleh baik lisan maupun tulisan, kesatuan masyarakat Rejang dikelompokkan dalam kutai . Sistem kutai ini masih berlaku hingga masuknya sistem Marga pada tahun 1861, ketika masuknya colonial Belanda yang memarjinalkan peranan kutai sebagai unit territorial maupun sebagai unit politik. Menurut Abdullah Sidik sistem marga mulai masuk ke Bengkulu pada tahun 1861 yang diterapkan oleh Asisten Residen Belanda, J. Walland yang dipindahkan dari Palembang. Sistem marga ini berasal dari Kesultanan Palembang yang merupakan hasil bentukan Sultan Cindeh Balang (1662 – 1706) .

Konsep marga ini diterapkan oleh Belanda untuk mengatur dusun-dusun yang begitu banyak di wilayah suku bangsa Rejang. Untuk pertama kalinya wilayah Lebong dibagi dalam 5 marga, yaitu: Marga Jurukalang, Marga Bermani, Marga Selupu, Marga Suku Semelako, dan Marga Aman. Namun berdasarkan keputusan Residen Bengkulu No. 69 tanggal 18 Februari 1911, Marga Bermani dan Marga Jurukalang disatukan menjadi marga Bermani Jurukalang. Sedangkan wilayah Rejang dibagi dalam 4 marga, yaitu marga merigi, marga selupu, marga bermani, dan marga jurukalang. Berbeda dengan di wilayah Lebong, di wilayah Rejang marga Bermani dipecah menjadi dua marga yaitu Marga Bermani Ulu, dan Bermani Ilir. Demikian juga dengan Marga Selupu dipecah menjadi dua marga yaitu Marga Selupu Rejang, dan Marga Selupu Baru. Sedangkan Marga Merigi juga dipecah menjadi dua marga yaitu Marga Merigi Kelobak, dan Marga Merigi Kelindang. Wilayah Lais dibagi dalam 5 marga, yaitu: Marga Merigi, Marga Bermani, Marga Selupu, Marga Jurukalang, dan Marga Semitul .

Dalam catatan sejarah, penduduk Bengkulu membentuk suatu komunitas yang merupakan konfederasi dari beberapa marga yang bersifat genealogis. Marga-marga dalam suatu komunitas tersebut membentuk suatu kerajaan masing-masing. Beberapa kerajaan yang pernah ada di Bengkulu adalah Kerajaan Sungai Lemau, Kerajaan Sungai Itam, dan Kerajaan Silebar (Setyanto, 2000:1) .

Dengan mengutip beberapa tulisan Setyanto (2001: 1-2) menyebutkan bahwa kepala komunitas yang membawahi konfederasi dari beberapa marga disebut kalipa atau chalipah, sedangkan kepala marganya disebut pasirah. Di bawah pasirah adalah pembarab yang berperan sebagai pembantu pasirah untuk mengatasi permasalahan dalam marganya. Setiap marga biasanya mempunyai beberapa dusun atau kampong. Masing-masing dusun dikepalai oleh seorang kepala dusun yang biasanya disebut depati atau proatin. Disamping sebutan para kepala adat, juga ada beberapa gelar yang dipakai antara lain bagindo, raja, depati, pangeran, dan lain sebagainya. Khusus gelar depati umumnya dipakai oleh kalipa, pasirah, maupun sebagai pembarab. Sementara di Muko-Muko kepala wilayah adalah sekaligus sebagai kepala adat dengan sebutan sultan, yang dibantu oleh beberapa menteri, pembarab, dan proatin.

Berkaitan dengan hal tersebut, Siddik menyebutkan bahwa di daerah Rejang dan Lebong, pembagian marga sejalan dengan pembagian petulai. Oleh karena itu petulai tidak memiliki kekuasaan dalam marga melainkan kutei. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum adat asli Rejang adalah Kutei dan bukan Marga . Dengan konsep yang diterapkan oleh Belanda tersebut, maka marga dipakai sebagai konsep kesatuan territorial pemerintahan di wilayah Rejang. Padahal bila dilihat struktur masyarakat Rejang asli, tidak mengenal istilah marga, melainkan kutei. Artinya dalam struktur yang berkuasa di Rejang dan Lebong bukanlah petulai, tetapi kuteui dengan penguasanya Tuwai Kuteui. Abdullah Sidik menegaskan bahwa jika pada mulanya kuteui adalah satu masyarakat Hukum Adat tunggal dan genealogis, dengan pemerintahan yang berdiri sendiri dan bersifat kekeluargaan di bawah pimpinan tuai kuteui, maka sekarang kuteui yang disebut dusun itu merupakan satu masyarakat hukum adat bawahan yang territorial di bawah kekuasaan seorang kepala marga yang bergelar pasirah, kepala dusun disebut proatin atau depati atau ginde, dan semuanya takluk kepada kekuasaan pasirah mereka masing-masing. Ginde di tempat atau di dusun pasirah disebut pembarap. Sebagai pemimpin kuteui dipilih dari penduduk asli kuteui tersebut, yaitu suku yang membuka perkampungan/dusun, dan diwariskan secara turun temurun .

Dalam perkembangan selanjutnya dengan telah semakin kuatnya konsep marga, maka suatu dusun tidak lagi dihuni oleh orang Rejang, tetapi juga dihuni oleh siapa saja yang mau menetap di daerah tersebut atas izin pasirah. Sehingga konsep kuteui yang hanya didiami oleh orang Rejang tidak berlaku lagi dan posisinya semakin rendah di bawah marga. Sehingga marga menjadi kesatuan territorial pemerintahan yang terdiri dari beberapa dusun. Seorang pasirah tidak lagi harus penduduk asli, dan tidak turun temurun melainkan hasil dari pemilihan masyarakat di marga tersebut.

Pada tahun 1961, ketika wilayah Bengkulu masih menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Selatan, Abdullah Sidik mencatat ada 25 marga di wilayah Bengkulu, yaitu : Marga Suku IX (di wilayah Lebong), marga Suku VIII (di wilayah Lebong), Marga Bermani Jurukalang ( di wilayah Lebong), Marga Selupu Lebong (diwilayah Lebong), Marga Bermani Ulu (di wilayah Lebong), Marga Selupu Rejang (di wilayah Rejang), marga Merigi (di wilayah Rejang), marga Bermani Ilir (di wilayah Rejang), marga Sindang Beliti (di wilayah Rejang), marga Suku Tengah Kepungut (di wilayah Rejang), marga Selupu Baru (di wilayah Pesisir), marga Selupu Lama (di wilayah Pesisir), marga Merigi Kelindang (di wilayah Pesisir), marga Jurukalang (di wilayah pesisir), marga Bang Haji (di wilayah Pesisir), marga Semitul (di wilayah Pesisir), marga Bermani Sungai Hitam (di wilayah Pesisir), marga Bermani Perbo (di wilayah Lais), marga Bermani Palik (di wilayah Lais), marga Air Besi (di wilayah Lais), marga Kerkap (di wilayah Lais), marga Lais (di wilayah Lais), marga Air Padang (di wilayah Lais), marga Bintunan (di wilayah Lais), marga Sebelat (di wilayah Lais)

Kutai Sebagai Unit Teritorial

Setelah masuknya sistem marga, konsep kutei semakin memudar dan diistilahkan dengan dusun serta merupakan bagian dari struktur marga. Padahal pada tingkat kutai segala norma, aktivitas masyarakat diatur sehingga peranan kutai sangat penting bagi masyarakat Rejang, seperti pelanggaran adat yang dikenakan denda kutai, dan pelaksanaan perkawinan diatur oleh kutai. Intinya pada tingkat kutai-lah segala aspek kehidupan masyarakat diatur termasuk dalam pengaturan pola pemukiman. Sidikmenyebutkan bahwa kutai berasal dari kata kuta yang berarti dusun yang berdiri sendiri yang genealogis dan tempat berdiamnya jurai-jurai, sedangkan petulainya adalah patrilineal eksogam. Di Bengkulu pada tahun 1859 masih dijumpai petulai-petulai Merigi dan Selupu. Sedangkan petulai Jurukalang masih dapat dijumpai hingga tahun 1916 .

Sebagai unit teritorial, kutai dapat diartikan sebagai sadei (dusun) yang merupakan sekumpulan masyarakat yang mendiami suatu daerah. Prinsip teritorial dalam kutai sangat penting dan memiliki ketentuan sangat ketat. Dalam kutai, ideologi teritorial mencakup kesadaran patrilineal atau kesadaran sedarah, dan seketurunan dari warga kutai (anak kutai). Artinya, yang menjadi warga kutai adalah keturunan langsung (hubungan darah) atau hubungan akibat perkawinan dengan keluarga mulo jejai (pembuka kutai).

Teritorial kutai sangat exclusif ditandai dengan pembuatan benteng di sekeliling pemukiman yang berfungsi sebagai batas kutai (gais pigai) dan pertahanan dari gangguan musuh ataupun binatang buas. Benteng dengan tinggi sekitar 2 meter ditanami bambu berduri (reduai). Di dalam kutai tersebut terdapat beberapa bagian dari pemukiman, yaitu balei hulu (balei ai) bangunan untuk penguasa sadei (dusun) dan tempat bersidangnya para elit; balei tengeak/donok (balai tengah) yang berfungsi sebagai tempat mengadakan perayaan-perayaan bujang gadis, menari, berpantun, maupun tempat kenduri; balei ilo (balai hilir) sebagai tempat alim pedito mengerjakan kepercayaan dan keyakinannya; unen yaitu tempat mandi, mengambil air minum, dan mencuci. Unen dibagi dua yaitu unen slawei dan unen smanei (tempat untuk laki-laki dan perempuan); Tuwoa yaitu bangunan yang dibuat di belakang rumah tempat menyimpan padi; Buteu Bejemoa (batu berjemur) yaitu batu yang dipakai para orang tua untuk berjemur diri di pagi atau sore hari; Datet (Natet) Libea yaitu halaman yang cukup lebar yang dipakai sebagai tempat latihan pencak silat atau kegiatan lainnya; koboa yaitu areal kuburan yang dibuat di luar benteng dan diseberang sungai agar arwah yang meninggal tidak mengganggu masyarakat; niyoa pinang (pohon pinang) yang ditanam di sekitar halaman rumah. Hal ini menggambarkan daerah itu telah mempunyai hukum adat lengkap dengan perangkat penguasanya seperti tuwai sukau, tuwai kutai,dan pdito; umeak; balei pujei. Beberapa kutai juga membuat dua sampai tiga benteng yang berjarak antara sekitar 100 m dan di tengahnya tinggal plimo sebagai penjaga kutai. Di bagian lain merupakan jalan keluar masuk kutai sekaligus jalan ke tempat pemandian.

Proses pembentukan kutai tidak terlepas dari pembentukan dusun (sadei) karena kutai merupakan bagian dari dusun itu sendiri. Sebelum terbentuk menjadi dusun harus melalui beberapa tahapan berikut.
1. Talang
Talang adalah suatu daerah yang letaknya jauh dari dusun, karena itu antara talang dan dusun itu karena jauh tempatnya dibuatlah satu tempat istirahat pontok tidak berdinding, di muka tempat duduk, biasanya di kening tebing yang dinamakan pudau. Talang tersebut terdiri dari beberapa pondok tempat menginap, sehingga nama talang yang diberikan sesuai dengan orang yang mengerjakannya, atau nama daerah, atau nama pematangnya. Contoh Talang Pematang, dan Talang Tik Belew. Bila tanah di talang tersebut cukup subur, maka akan semakin banyak pula orang yang akan membuat pondok sehingga ada kemungkinan berkembang menjadi sosokan .

2. Sosokan
Sosokan adalah satu daerah kecil yang baru terdapat beberapa rumah dan pondok, belum ada balai ulu, balai tengah, dan balai ilo juga kelengkapan lainnya belum ada, dan belum ada parit (benteng) untuk pertahanan. Sosokan belum tentu bisa menjadi dusun, karena harus melalui ramalan, dan perhitungan dari segi penyerangan oleh musuh. Bila memungkinkan dan segala aspek seperti yang telah diuraikan tentang pembentukan dusun (kutai) di atas, maka resmilah tempat tersebut menjadi dusun ditandai dengan ditanamnya pohon niyoa pinang (pinang), seperti dalam ungkapan: Biak nyoa pinang adat temtung gais pigai, adat niyen lembago niyen (adat di bawah pohon kelapa pinang, adat meniti sepanjang garis parit, adat sebenarnya adat, adat berlembaga) .

Warga kutai sangat ditentukan oleh hubungan darah dan hubungan perkawinan. Karena yang menjadi warga sebuah kutai adalah keturunan langsung dari pembuka kutai (mulo jijai) dan orang lain yang menjadi kerabat karena perkawinan. Hukum adat perkawinan suku bangsa Rejang pada awalnya menganut sistem patrilineal dan patrilokal yang dikenal dengan istilah kawin jujur dengan membayar uang leket. Artinya garis keturunan ditarik dari pihak laki-laki dan adat menetap setelah menikah di lingkungan kerabat laki-laki. Dengan prinsip ini, maka perempauan akan keluar dari kutai-nya dan masuk dalam kutai suaminya dengan segala hak dan kewajibannya.

Dalam hukum adat Rejang perkawinan yang dilarang adalah antara orang yang sepetulai, sesuku, parallel cousin, dan cross cousin. Setiap orang yang melanggar ketentuan ini akan didenda berupa uang (mas kutai) dan memotong seekor kambing untuk upacara kenduri “membasuh dusun” dari noda akibat pelanggaran tersebut. Dengan larangan endogami ini, maka perkawinan yang lazim terjadi adalah orang yang berada di kutai berbeda.

Pada perkembangan selanjutnya, pengaruh budaya Minangkabau mulai mempengaruhi adat jujur pada orang Rejang, yaitu dengan mulai berlakunya adat Kawin Semendo. Berlakunya adat Semendo berawal dari sebuah keluarga yang hanya memiliki satu orang anak dan kebetulan perempuan, bila dilakukan perkawinan jujur, maka hilanglah jurai keluarga tersebut, maka disepakati dengan membuat hukum adat baru yaitu kawin semendo tambik anak. Adat perkawinan jujur dan semendo tambik anak – menurut laporan pembesar Inggris – mulai tampak terutama pada orang Rejang di daerah Lais pada tahun 1823 . Kawin semendo tambik anak berkembang lagi menjadi tiga jenis yaitu
1. tidak beradat, pihak laki-laki tidak mampu atau hanya mampu membayar kurang dari setengah uang pelapik. Dalam hal ini tidak boleh menarik garis keturunan dari keluarga laki-laki dan harus tinggal di lingkungan kerabat perempuan;
2. kurang beradat, pihak laki-laki hanya mampu membayar setengah uang pelapik. Dalam hal ini hanya salah satu anak laki-laki atau perempuan yang boleh mengikuti garis keturunan laki-laki dan tinggal di lingkungan pihak kerabat laki-laki.
3. beradat, pihak laki-laki telah membayar secara penuh uang pelapik. Dalam hal ini keturunannya telah mengikuti prinsip patrilineal dan boleh menetap di lingkungan kerabat laki-laki, namun harus melalui persetujuan istri.

Adat perkawinan semendo beradat berkembang menjadi adat perkawinan semendo rajo-rajo, dimana istri – suami bebas memilih prinsip patrilokal, matrilokal, neolokal, atau unilokal. Sedangkan anak-anaknya boleh mengikuti prinsip patrilineal atau matrilineal. Hal ini pernah dicatat dalam Aturan Adat Kawin di wilayah Lais pada tanggal 18 oktober 1911 No. 412 ayat 7a dan 7b, bahwa di pasar berlaku hanya kawin semendo rajo-rajo atau juga disebut kawin semendo beradat, sedang di dalam marga berlaku kawin semendo rajo-rajo dan kawin semendo tak beradat .

Dengan prinsip perkawinan tersebut akan mempengaruhi status seseorang dalam kutai. Karena untuk dapat diangkat sebagai ketua suku, ketua kutai, atau raja haruslah keturunan langsung dari mulo jijai dan bukan pendatang ataupun menantu. Dalam hukum adat Rejang juga disebutkan bahwa dalam sebuah kutai terdiri dari empat buah suku yang berkaitan dengan filosofi Orang Rejang: pat petulai (empat petulai) ditambah satu raja. Hal ini berarti dalam sebuah kutai tidak boleh lebih atau kurang dari 4 suku yang ditarik secara patrilineal. Bila dalam satu kutai yang baru dibuka hanya terdiri dari 3 suku, maka salah satu harus membelah sehingga jadi 4. Demikian pula bila terdapat lebih dari 4 suku, maka suku lainnya harus melebur kedalam salah satu suku yang lebih berpengaruh.

Kutai Sebagai Unit Politik

Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa sebuah dusun (sadei) dianggap resmi berdiri apabila sudah terbentuk lembaga adat ditandai dengan ditanamnya kelapa pinang (nyioa pinang). Lembaga adat yang dimaksud adalah kutai dan merupakan sekaligus sebagai lembaga pemerintahan. Sebagai lembaga pemerintahan merupakan sebuah unit politik yang mengatur hubungan sesama warganya, dan hubungan dengan kutai lain.

Setiap dusun bersifat otonom yang dipimpin oleh tuwai kutai. Pada perkembangan selanjutnya para tuwai kutai memakai gelar depati. Tuwai Kutai Rukam Takhta Tunggal Terguling Sakti dari petulai Bermani memakai gelar Depati Pasak Bumi, tuwai kutai Suka Negeri Rio Setanggai Panjang dari petulai Jurukalang memakai gelar Depati Raja Besar, tuwai kutai Atas Tebing Ajai Malang dari petulai Selupu memakai gelar Depati Tiang Alam, tuwai kutai Karang Anyar Ki Pati dari pecahan petulai Tubeui (suku VIII) memakai gelar Depati Kemala Ratu, dan adiknya Ki Pandan tuwai kutai Bandar Agung dari pecahan petulai Tubeui (suku IX) memakai gelar Rajo Depati. Kelima depati ini membentuk satu federasi yang menentukan bahwa pemerintahan atas suku bangsa Rejang dilakukan bersama, sehingga dikenal dengan nama Pemerintahan Depati Tiang Empat Lima dengan Rajo Depatinya. Namun selanjutnya karena kesulitan kordinasi akhirnya para depati menjalankan pemerintahan kutai sendiri-sendiri.

Tuwai kutai dipilih secara intern oleh dan dari anggota keluarga keturunan patrilineal pembuka kutai (mulo jijai). Jabatan tersebut bersifat turun temurun dan menganut prinsip hak waris berada di tangan putra sulung (primogeniture) dengan memperhatikan syarat-syarat sebagai seorang pemimpin menurut adat Rejang. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. orang berasal; yaitu keturunan dari orang yan mendirikan kutai;
2. orang berwibawa; mempunyai jiwa kepemimpinan dan karisma;
3. orang berakal; yaitu orang yang bijaksana sehingga tidak terpengaruh oleh pikiran-pikiran orang lain;
4. orang berilmu; sehingga tidak mengikuti kata orang lain;
5. orang berharta; karena pemimpin harus dapat membantu warganya sehingga harus mempunyai harta, disamping itu juga agar pemimpin tidak tamak;
6. orang sabar; yaitu bertabiat baik, tidak kasar, dan tidak pendendam untuk mencegah sikap ketidakadilan atau penganiayaan terhadap warganya.

Secara sederhana struktur kutai sebagai unit politik terdiri dari Tuwai Kutai dan Tuwai sukau. Hal ini menggambarkan filosofi orang Rejang yang selalu mengacu pada angka 5 (pat petulai ditambah 1 raja). tuwai kutai merupakan jabatan tertinggi dalam kutai. Tuwai Kutai sebagai jabatan tertinggi di Kutai mengkordinir warganya melalui keempat tuwai sukau (ketua suku) karena dalam pelaksanaan sehari-hari, yang berhubungan langsung dengan masyarakat adalah para tuwai sukau masing-masing suku. Segala sesuatu aktivitas masyarakat yang menyangkut kepentingan orang banyak harus dilaporkan kepada Tuwai kutai melalui ketua suku. Ketua Kutai, Ketua Suku, dan Pdito (pengurus “agama”) merupakan elit kutai yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Pegawo atau istilah lain plimo merupakan pembantu sekaligus pengawal ketua kutai, sedangkan olingan adalah pesuruh ketua kutai. Kedua orang ini ditunjuk langsung oleh tuwai kutai dari orang-orang yang dapat dipercaya. Menurut adat Rejang hak tuwai kutai merupakan hak yang bersifat kekal yang berkaitan dengan fungsi tuwai kutai sebagai pengayom hak ulayat kutai dan pembawa nama kutai.

Tuwai sukau dipilih oleh para anggota sukunya berdasarkan kriteria senioritas, karisma, dan pengetahuan adat. Perlu diperhatikan senioritas dalam hal ini bukan mutlak dilihat dari usia, tetapi juga dari tingkatan generasi. Artinya bisa saja usia seseorang masih 20 tahun namun dari tingkatan generasi sudah cukup tinggi. Tugas tuwai kutai adalah bertanggungjawab terhadap keberadaan warga sukunya.

Sistem pemerintahan dijalankan secara kekeluargaan dan demokratis. Segala keputusan selalu diambil atas dasar musyawarah dengan para tuwai sukau (ketua suku). Dengan demikian tuwai kutai tidak berhak mengubah, mengurangi, atau menambah hukum adat yang sudah ada atau yang sudah berlaku tanpa persetujuan dengan para ketua suku. Ketua suku sendiri merupakan fasilitator aspirasi seluruh warga kutai kepada tuwai kutai. Setiap warga menyampaikan seluruh permasalahan termasuk dalam bidang perkawinan ataupun tindakan pelanggaran adat (kejahatan) kepada ketua suku yang bersangkutan untuk selanjutnya disampaikan kepada tuwai kutai. Tuwai kutai akan mengundang tuwai sukau lainnya untuk membicarakan laporan tersebut, dan bila itu pelanggaran adat, hukuman apa yang akan diberikan. Bila laporan tersebut mengenai rencana perkawinan maka akan dibicarakan tentang layak tidaknya pasangan tersebut dari segi sumbang kawin menurut adat dan meminta warga untuk bergotong royong membantu pelaksanaan pesta.

Eksistensi Kutai Saat Ini

Eksistensi kutai telah mengalami kemunduran terutama sejak diterapkan sistem marga di wilayah Bengkulu oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1861. Berbagai perubahan telah terjadi, dimana Belanda membagi-bagi wilayah suku bangsa Rejang dalam marga yang melingkupi beberapa dusun sehingga hak otonom kutai diambil alih oleh marga. Dengan demikian kutai tidak memiliki lingkungan tanah sendiri melainkan tanah marga. Akibatnya hak bersama dalam kutai berubah menjadi hak bersama beberapa kutai (dusun) dalam suatu marga.

Proses tersebut terus berlangsung seiring dengan berbagai perubahan sistem politik di Indonesia, bahkan dengan penyeragaman sistem pemerintah desa/kelurahan sejak tahun 1979 hingga 1999 menghilangkan eksistensi marga yang dianggap masih bagian dari budaya Rejang.

Bila kita lihat kondisi wilayah suku bangsa Rejang khususnya di Kabupaten Rejang Lebong (termasuk pemekarannya) sungguh sangat tidak memungkinkan untuk mengembalikan sistem kutai ke konsep asal mengingat struktur masyarakat dan pemerintahan saat ini sangat majemuk. Menyikapi hal ini pemerintah Kabupaten Rejang Lebong telah menerbitkan Surat Keputusan Bupati No. 58 tahun 2005 tanggal 12 Maret 2005 tentang Pelaksanaan Hukum Adat Rejang di Wilayah Kabupaten Rejang Lebong yang mengaktifkan kembali eksistensi kutai sebagai lembaga adat, dan Surat Keputusan Bupati No. 93 tahun 2005 tanggal 17 maret 2005 tentang Kumpulan Hukum Adat Bagi Masyarakat Adat dalam Wilayah Kabupaten Rejang Lebong (Kelpiak Ukum Adat Ngen Riyan Ca’o Beak Nyoa Pinang Lem Kabupaten Rejang Lebong).

Dalam kumpulan hukum adat tersebut telah memodifikasi hukum adat asli Rejang yang tidak memungkinkan lagi untuk dilaksanakan saat ini. Dikatakan bahwa yang dimaksud warga kutai (anok kutai) adalah setiap orang yang ada dalam suatu dusun/desa/seluruh masyarakat dalam satu desa. Hal ini berarti ketentuan tidak hanya berlaku pada orang Rejang tetapi termasuk juga yang bukan orang Rejang. Sedangkan secara teritorial, saat ini yang menjadi wilayah kutai adalah desa atau kelurahan sehingga yang menjadi raja sebagaimana struktur kutai dipegang oleh kepala desa atau lurah.

Sebagai ketentuan bahwa dalam satu kutai harus terdapat empat suku, maka desa atau kelurahan yang dianggap kutai harus terdiri dari 4 suku dengan ketentuan kalau kurang salah satu suku harus memecah, dan kalau lebih harus bergabung dengan suku lain. Sedangkan untuk para pendatang yang bukan orang Rejang, dimasukkan dalam satu kelompok suku yaitu suku tepek (suku orang pendatang). Sebagai contoh di Desa Kesambe terdapat suku Radjo Lilo, suku Djako, suku Anak Dalam, dan suku Tepek; di Desa Air Putih Baru terdapat suku Aliasar, suku Milon, suku Serungan, dan suku Bedu.

Ketentuan lainnya yang telah ditetapkan adalah pembentukan Jenang Kutai (hakim desa/kelurahan). Jenang kutai berasal dari masing-masing ketua suku di desa/kelurahan tersebut sehingga masing-masing desa/kelurahan terdiri dari 4 orang jenang kutai yang bertugas menyelesaikan setiap permasalahan hukum adat, pelanggaran hukum di desa/kelurahan. Artinya setiap pelanggaran adat termasuk yang dianggap tindak pidana terlebih dahulu harus diselesaikan secara hukum adatoleh jenang kutai dan apabila tidak dapat diselesaikan selanjutnya diserahkan ke kepolisian untuk ditindaklanjuti dengan hukum positif Indonesia. Pedoman yang dipakai oleh jenang kutai dalam mengadili perkara adalah Kumpulan Hukum Adat Bagi Masyarakat Adat dalam Wilayah Kabupaten Rejang Lebong (Kelpiak Ukum Adat Ngen Riyan Ca’o Beak Nyoa Pinang Lem Kabupaten Rejang Lebong) yang telah berkekuatan hukum.

Eksistensi kutai yang telah diuraikan disini merupakan sebagian kecil dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong dan hingga makalah ini ditulis masih dalam tahap penyiapan perangkat kutai dan belum berjalan sebagaimana diharapkan.

Penutup
Suku bangsa Rejang merupakan salah suku bangsa di Provinsi Bengkulu yang menarik untuk dipelajari baik dari segi sejarah maupun budaya. Tidak sedikit para pakar pada masa lalu dari luar negeri yang mencoba untuk menggali budaya orang Rejang karena dianggap sangat maju dalam mengatur tata kehidupan masyarakatnya baik dalam hubungan sesama orang rejang, dengan orang luar, dengan alam, dan dengan Tuhannya.

Salah satu bentuk pengaturan tersebut terlihat dalam bentuk sistem kutai yang berfungsi sebagai lembaga adat dan lembaga politik. Sistem kutai merupakan sistem pemerintahan yang sangat tua yang pernah ada di Bengkulu karena hingga saat ini belum diketahui sejak kapan mulai berlaku sistem tersebut. Walaupun sistem kutai secara nyata sudah tidak ada lagi, namun jiwa dan prilaku masyarakat Rejang masih dipengaruhi oleh hukum adat Rejang yang mengacu kepada kutai.

Usaha Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong untuk mengaktifkan kembali lembaga kutai dan perangkatnya merupakan usaha yang sangat positif. Disamping untuk memunculkan kembali identitas diri orang Rejang, juga sebagai tameng menghadapi pengaruh negatif budaya luar sehingga dikhawatirkan melupakan identitas budayanya sendiri. Hal ini sudah mulai tampak pada generasi muda yang tidak lagi bisa berbahasa Rejang asli. Di sisi lain juga dirasakan hukum positif Indonesia tidak selalu sejalan dengan kondisi budaya masyarakat Rejang sehingga dengan adanya lembaga adat tersebut dapat menjembatani kepentingan berbagai pihak.
(Pada Seminar Pemanfaatan Sejarah dan Budaya Bengkulu Dalam Rangka Pembinaan dan Pelestarian Sejarah dan Budaya Daerah. Diselenggarakan oleh BKSNT Padang dan Dinas Pariwisata Provinsi Bengkulu, di Bengkulu 27 – 28 Juli 2005.)


Kepustakaan


Aniwijaya, Lahmudin. 2004. “Kearifan Tradisional Lembaga Kutei di Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup”. Makalah pada kegiatan Sosialisasi Nilai-Nilai Budaya Daerah Kabupaten Rejang Lebong, yang diselenggarakan oleh BKSNT Padang di Curup 15 – 16 September 2004.
BMA Kabupaten Rejang Lebong. 2005. “Kelpiak Ukum Adat Ngen Riyan Ca’o Kutai Jang Kabupaten Rejang Lebong”. Belum diterbitkan.
Haviland, William A. 1988. Antropologi Jilid 2 Edisi Keempat. Jakarta: Erlangga.
Hoesein, Mohammad. 1932. Naskah Tembo Rejang Empat Petulai. Tanpa Penerbit.
Kadirman. 2004. Ireak Ca’o Kutei Jang. Jakarta: Balai Pustaka.
Kartikasari, Tatik. dan Binsar Manulang. 1997. Sistem Pemerintahan Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Depdikbud.
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Ramli, M. 1980/1981. Pola Pemukiman Penduduk Pedesaan Daerah Bengkulu. Jakarta: Depdikbud.
-------------------, 1980/1981. Sejarah Pendidikan Daerah Bengkulu. Jakarta: Depdikbud.
Sani, A. 1956. “Hukum Adat Rejang”. Tidak Diterbitkan.
Sani, A. 1983. "Jurai Adat Rejang "Tidak Diterbitkan.
Sarwono, Sarwit., dkk. 2001. Kisah Kejadian Manusia dan Semesta dari Masyarakat Rejang di Provinsi Bengkulu : Analisa Struktur dan Fungsi. Jakarta : Pusat Bahasa Depdiknas.
Setyanto, Agus. 2001. Elite Pribumi Bengkulu : Perspektif Sejarah Abad Ke-19. Jakarta : Balai Pustaka.
Sidik, Abdullah. 1980. Hukum Adat Rejang. Jakarta: Balai Pustaka.
Situmorang, Sitor. 2004. Toba Na Sae : Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII – XX. Jakarta: Komunitas Bambu.
Wijaya, Andi. 2000. “Rejang Style, Rumah Sedee (Dalam Rentang Waktu)”. Curup: LSPKD.

Tidak ada komentar: