Aritonang Sites - Selamat Datang...!

Selamat Datang...Kami hadir untuk sekedar bersilahturahmi dengan siapa saja, diskusi apa saja yang positif, dan saling berbagi dalam kebahagiaan!

13 Mei 2009

Resensi Buku
Judul : Identitas Etnik Masyarakat Perbatasan: Kasus di Kecamatan Rao Kabupaten Pasaman.
Penulis : Rois Leonard Arios (roisarios@yahoo.co.id)
Penerbit : BKSNT Padang
Tahun : 2003

Keanekaragaman budaya suatu bangsa merupakan suatu keuntungan sekaligus ancaman. Dikatakan sebagai keuntungan karena budaya-budaya daerah merupakan kekayaan sebuah bangsa dalam membentuk suatu negara yang kuat dan utuh. Namun bila ditangani dengan baik, tidak adanya saling pengertian antar-suku bangsa, perlakuan tidak adil terhadap salah satu suku bangsa tertentu oleh salah seorang/kelompok dari etnis yang berbeda atau oleh penguasa, merupakan sumber utama terjadinya konflik antar-suku bangsa yang pada puncaknya akan melahirkan disintegrasi bangsa.

Secara umum dan alamiah, suku-suku bangsa khususnya di Indonesia memiliki batas-batas daerah kebudayaan yang tegas dengan bepatokan pada alam seperti dibatasi oleh sungai, gunung, hutan, dan lain-lain. Namun sebagai akibat perkembangan peradaban, batas-batas tersebut menjadi semu. Salah satu penyebabnya adalah pembentukan wilayah pemerintahan berdasarkan batas-batas politis tanpa melihat batas-batas budaya yang ada di dalamnya. Sehingga batas-batas daerah kebudayaan lebih dibatasi oleh batas-batas administratif pemerintahan. Sebagai contoh kebudayaan Minangkabau menurut tambo meliputi Provinsi Sumatera Barat, sebagian Jambi, Muko-Muko (Provinsi Bengkulu), sepanjang daerah aliran sungai Batanghari, Indragiri, Siak, Kampar, Rokan, sepanjang pesisir pantai barat Sumatera Utara dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, serta Negeri Sembilan Malaysia.

Ada dua kemungkinan yang terjadi dalam interaksi yaitu saling mempertahankan etnisitasnya atau saling memberi dan menerima unsur-unsur budaya daerah tempat/arena interaksi berlangsung (melting pot). Bila asumsi pertama terjadi, kondisi ini akan memungkinkan terjadinya konflik antar-suku bangsa, sedangkan bila asumsi kedua yang terjadi kemungkinan besar akan melahirkan sebuah variasi budaya baru atau bahkan menciptkan etnis baru sebagai gabungan dari unsur-unsur budaya yang berinteraksi.

Masyarakat perbatasan dapat diartikan sebagai masyarakat yang tinggal dan bersinggungan secara budaya di antara dua atau lebih daerah dengan kebudayaan yang berbeda sehingga memungkinkan terjadinya interaksi antarbudaya yang berbeda. Pada tingkat yang lebih jauh, persinggungan budaya ini dapat mengakibatkan terjadinya budaya baru sebagai hasil pembauran unsur-unsur kebudayaan masing-masing.

Budaya perbatasan akan memunculkan budaya umum lokal atau budaya pasar yang dapat dipakai sebagai acuan dalam menjalin hubungan baik dalam rangka memenuhi kebutuhan fisik maupun psikologis. Pada perkembangannya kebudayaan tersebut akan memunculkan berbagai ketegangan dan pertentangan antarkelompok dalam setiap kesatuan sosial yang disebabkan perbedaan dalam mengembangkan kebersamaan


Kecamatan Rao sebagai daerah perbatasan (marginal area) antara Provinsi Sumatra Barat dengan Provinsi Sumatra Utara dan Provinsi Riau, bersinggungan dengan budaya di masing-masing daerah perbatasan. Salah satunya adalah budaya Mandailing di wilayah Provinsi Sumatra Utara. Sarana transportasi yang lancar turut mendukung interaksi yang terus menerus bagi penduduk di kedua daerah sehingga memungkinkan terjadinya asimilasi. Salah satu contoh sarana pembauran budaya adalah melalui perkawinan campuran (amalgamasi) yaitu antara wanita Mandailing dengan pria Minangkabau atau sebaliknya. Pada kasus ini kedua belah pihak saling memberi dan menerima unsur-unsur budaya mereka yang tentu saja bertolak belakang. Seperti diketahui bahwa pada suku bangsa Mandailing garis keturunan (lineage) bersifat patrilineal bertemu dengan suku bangsa Minangkabau yang matrilineal.

Masyarakat Rao khususnya di Nagari Tarung-Tarung merupakan salah satu contoh pertemuan dua budaya yang berbeda namun tidak menimbulkan konflik. Perbedaan unsur budaya tersebut diakomodir dengan membuat kesepakatan antara pendukung kebudayaan yang berbeda tersebut. Kesepakatan yang diambil dilakukan dengan meminimalisir perbedaan budaya masing-masing. Orang Mandailing sebagai pendatang tetap mampu mempertahankan identitas budayanya. Walaupun orang Minangkabau hidup dalam lingkungan budaya Minangkabau, justru banyak menyerap unsur budaya Mandailing dan dimodifikasi dalam budaya minangkabau.

Perkawinan antara pria minangkabau dengan wanita mandailing akan menghasilkan seorang anak mewarisi suku (dalam budaya Batak Mandailing disebut marga) ibunya menurut adat minangkabau. Sehingga tidak sedikit ditemui di Kecamatan Rao seseorang yang memakai marga Nasution (atau lainnya) yang diperoleh dari ibunya (matrilineal). Sedangkan menurut adat Batak Mandailing, marga hanya dapat diturunkan melalui garis laki-laki (patrilineal). Sistem ini juga mempengaruhi dalam pewarisan yang masih menggunakan sistem pewarisan berdasarkan adat minangkabau. Secara adat, keluarga ini tidak akan mendapat warisan apapun dari kedua orang tua mereka baik secara adat minangkabau (matrilineal) maupun secara adat mandailing (patrilineal). Demikian juga dari segi pengakuan, menurut adat mandailing si anak dianggap keturunan minangkabau, sedangkan menurut adat minangkabau dianggap keturunan mandailing sehingga diberi suku sesuai dengan marga ibunya.

Hal yang berbeda akan terlihat pada perkawinan laki-laki mandailing dengan perempuan minangkabau. Dalam hal ini si anak akan diakui sebagai orang mandailing dan orang minangkabau karena sianak mendapat marga dari ayahnya dan suku dari ibunya. Demikian juga dari warisan akan mendapat dari pihak ayah dan dari pihak ibu (sako dan pusako).

Tidak ada komentar: